Anda sudah selesai membaca sebuah karya tentang studi agraria? Tuliskan kembali ringkasan bacaan Anda dan kirimkan ke : studiagraria@gmail.com. Kami akan memuatnya di situs ini. Dan, mari kita membicarakannya.

Jumat, 24 Juni 2011

Ceramah Agraria Henry Bernstein tentang Class Dynamics of Agrarian Change

Class Dynamics of Agrarian Change karya Henry Bernstein adalah buku wajib bagi kaum agrarista (pendukung reforma agraria) baik yang bergerak di dunia akademis maupun di lapangan. Menggunakan teori kapitalisme Marx, buku ini berpendapat bahwa dinamika kelas seharusnya menjadi starting point untuk setiap analisis tentang perubahan agraria.

Sebagai pengantar bagi ekonomi politik agraria, buku ini berisi penjelasan dan terapan dari konsep-konsep kunci, glosarium, dan pendekatan historis serta kerangka kerja untuk menganalisis perubahan agraria dalam kapitalisme. Pembaca buku ini tidak perlu punya pengetahuan tentang ekonomi politik, namun dengan membaca buku ini diharapkan mereka berminat untuk mempelajarinya lebih lanjut.

Berita mengenai buku ini pernah juga kami tampilkan di blog Studi Agraria pada 5 Maret 2010 lalu. Untuk membacanya kembali dan mendapatkan link paper Bersntein saat presentasi di Yale University, sila klik di sini.

Ceramah agraria Henry Bernstein berikut bisa menambah pemahaman isi buku Class Dynamics of Agrarian Change. Ceramah  ini disampaikan pada kegiatan David Morrison Lecture di Trent University, Kanada pada 19 Oktober 2010. 



Jika Anda belum membaca Class Dynamics of Agrarian Change, sila baca Introduction yang juga merupakan ringkasan dari buku di sini.  

Buku ini telah diterbitkan edisi bahasa Indonesia oleh penerbit Insist Press, dan telah mereka perbaiki dan publikasikan  edisi kedua, terjemahan sudah diperbaiki, dan apik secara tata letak dengan ilustrasi gambar sampul buku diganti. Kunjungilah https://insistpress.com/katalog/dinamika-kelas-dalam-perubahan-agraria-edisi-revisi/ 



Pemesanan bisa melalui Telepon (Mobile), SMS/ WA: +62 851 0259 4244; Telepon/Faks: +62 274 896403. atau E-mail: press@insist.or.id, insistpress.penerbit@yahoo.com.
Pembaca bisa juga datang langsung ke kantor INSISTPress: Jalan Raya Kaliurang Km.18, Dusun Sambirejo, Desa Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi DI Yogyakarta. 55582. Pembelian langsung di kantor INSISTPress berdiskon 20%.

Selasa, 21 Juni 2011

Ceramah Agraria Tania Li tentang Powers of Exclusion

Untuk memahami isi buku Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia, simak ceramah Profesor Tania Murray Li tentang karya agraria terbarunya yang dikerjakan bersama Derek Hall dan Philip Hirsch itu.

Ceramah ini disampaikan dalam sidang pleno pada 6 April 2011 lalu di Universitas Sussex, Inggris untuk menemukan apa saja perspektif konseptual yang bisa digunakan guna memahami dinamika kontemporer land grabbing. Sidang pleno ini adalah bagian dari International Conference on Global Land Grabbing pada 6 - 8 April 2011 yang diorganisir oleh Land Deals Politics Initiative (LDPI) bekerjasama dengan Journal of Peasant Studies dengan tuan rumah Future Agricultures Consortium, Institute of Development Studies, Universitas Sussex, Inggris.   

Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia


Judul: Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia
Penulis:  Derek Hall, Philip Hirsch dan Tania Murray Li
Penerbit: National University of Singapore (NUS) Press
Tahun:  2011
Tebal:  266 halaman

Penyumbang naskah: Yance Arizona dan Elisabet Tata

Debat soal tanah seringkali dihadirkan sebagai konflik antara pemanfaatan tanah yang berorientasi pasar melalui hak kepemilikan di satu sisi dengan kesetaraan akses, produksi tanaman subsisten, serta kepedulian terhadap tradisi di sisi lain. Tapi buku berjudul Powers of Exclusion  ini bicara lain.

Karya teranyar dari Derek Hall, Peter Hirsch dan Tania Murray Li itu menghindari perdebatan soal tanah seperti tersebut di muka. Ia menunjukkan bawa setiap pemanfaatan tanah yang produktif perlu upaya untuk menyingkirkan pengguna-pengguna potensial tanah lainnya. Upaya ini kemudian menjadi proyek-proyek untuk mengubah ikatan pertanahan berikut beragam dilema yang menyertainya.

Alih-alih mengontradiksikan  “penyingkiran” (exclusion) dengan “penyertaan” (inclusion), buku ini mengusulkan bahwa perhatian harus diberikan pada siapa yang tersingkirkan, bagaimana, mengapa, dan apa konsekuensi yang ditanggung. Inilah pendekatan baru yang ditawarkan untuk mengamati dinamika perkembangan agraria di masa kini.

Dari studi kasus yang diperoleh sejak tahun 1980-an di tujuh negara di Asia Tenggara (Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam), ditemukan adanya empat kekuatan untuk menyingkirkan (powers of exclusion) para pengguna potensial tanah. Mereka adalah  peraturan (regulation), pasar (market), legitimasi (legitimation), dan paksaan (force) – yang bersama-sama membentuk ikatan pertanahan dalam cara baru dan yang acapkali mengagetkan. 

Berikut penjelasan lebih jauh tentang ke empat kekuatan tersebut:

Peraturan (regulation) menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan orang tersingkir dari kepemilikan atau keuntungan untuk mendapat manfaat atas tanah. Peraturan yang dimaksud baik berupa peraturan formal maupun peraturan informal. Peraturan formal adalah peraturan apapun yang dibuat oleh lembaga formal yang merepresentasikan negara. Sedangkan peraturan informal adalah peraturan yang dibuat atau dikembangkan oleh otoritas di luar negara, misalkan hukum adat ataupun kebiasaan yang diterapkan masyarakat dalam mengatur pembagian dan penggunaan sumber daya alam.

Paksaan (force) tentu saja bisa menyingkirkan. Oleh karena itu, paksaan atau kekuatan terhadap petani akan membuat mereka tersingkir dari tanah yang selama ini menghidupinya. Kekerasaan bisa dilakukan oleh berbagai pihak yang berebut dalam konflik tanah. Tidak saja oleh militer tetapi juga dapat terjadi dalam bentuk penyingkiran melalui kekerasan antar-etnis.

Pasar (market) yang bekerja sebagai pengontrol kegiatan ekonomi yang dilakukan terhadap tanah dan manusia. Campur tangan pasar tidak hanya terbatas pada distribusi produk, melainkan juga pada kemampuannya untuk ikut menentukan bagaimana dan dimana produksi kebutuhan pasar akan dilakukan. Tekanan inilah yang menentukan siapa yang akan tersingkir dalam pertanian. Pasar berkerja dalam mengontrol harga tanah, komoditas dan juga kredit usaha pertanian.

Legitimasi (legitimation) berkaitan justifikasi atas nilai-nilai moral yang menjadi dasar tentang apa yang baik atau buruk, benar atau salah dalam hubungan petani dengan tanahnya. Legitimasi dalam praktiknya hadir dalam wujud penyingkiran atas nama pembangunan (developmentalism), keberadaban (civilization), kemodernan (modernity) dan juga paham lingkungan (environmentalism).

Secara sederhana, penggunaan kekuatan untuk menyingkirkan itu dapat dijelaskan dengan rumus 4 x 6. Mengapa demikian, karena mereka terjadi dalam enam proses penyingkiran.

Ke enam proses penyingkiran itu adalah: (1) regularisasi hak atas tanah, melalui program pemerintah tentang pendaftaran tanah, formalisasi dan perdamaian; (2) ekspansi ruang dan intensifikasi melalui konservasi hutan dengan menekan aktivitas pertanian: (3) new boom crop berupa ekspansi tanaman monokultur yang menyebabkan konversi lahan besar-besaran; (4) konversi tanah setelah penggunaan untuk pertanian; (5) proses-proses yang timbul dari formasi agraria di dalam desa yang melibatkan tali persaudaraan dan tetangga desa (intimate exclusions); (6) mobilisasi kelompok-kelompok untuk mempertahankan akses mereka terhadap tanah.

Nah, Anda ingin mendengarkan penjelasan langsung dari Tania Li mengenai buku ini? Sila nikmati tayangannya di rubrik Ceramah Agraria di sini.

Senin, 20 Juni 2011

Ceramah Agraria James Scott tentang "The Art of Not Being Governed"

Ini rubrik baru di blog Studi Agraria. Namanya "Ceramah Agraria." Seterusnya kami akan unggah ceramah-ceramah dari para intelektual di bidang studi agraria.

Untuk tampilan yang pertama, kami unggah ceramah James Scott di Cornell University pada 23 April 2009, menjelang diterbitkannya karya terbarunya: The Art of Not Being Governed. Ceramah ini merupakan salah satu dari kegiatan serial bernama "Frank H. Golay Memorial Lecture" di Cornell University. Saat itu James Scott membawakan papernya The Art of Not Being Governed: Hill Peoples and Valley Kingdoms in Mainland Southeast Asia.

Info mengenai buku The Art of Not Being Governed itu sendiri pernah kami tampilkan di sini. Sedangkan profil tentang James Scott bisa Anda simak di sini.

Selanjutnya, silakan simak ceramah James Scott yang tersaji dalam 4 bagian berikut:



Anda juga bisa mengunduh video ceramah James Scott berdurasi stu jam 17 menit tersebut secara utuh di situs Cornell University di sini.

Sedangkan Buku The Art of Not Being Governed bisa diunduh di sini.

Kamis, 16 Juni 2011

Adat dalam Politik di Indonesia

Judul: Adat dalam Politik di Indonesia
Penyunting: Jamie S. Davidson, David Henley, Sandra Moniaga
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV Jakarta
Tahun Terbit: 2010
Tebal: xxii+456

Penyumbang naskah: Yance Arizona*

Memudarnya kekuasaan negara yang sentralistik pasca Orde Baru memberikan peluang bagi masyarakat untuk mencari orde-orde lain yang bisa memberikan keadilan, ketertiban dan kedamaian bagi kehidupan mereka. Adat menjadi salah satu tempat berpulang masyarakat untuk mengorganisir dirinya atas dasar klaim-klaim tradisi masa lalu. Kembali kepada tradisi yang disebut juga tradisionalisme kemudian menjadi pengganti dari sentralisme yang gagal memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat.

Di tengah semakin menguatnya tradisionalisme dalam wujud gerakan indigenous peoples di dunia yang sejalan dengan menguatnya gerakan masyarakat adat di Indonesia, buku ini lahir untuk mempertanyakan sejumlah hal-hal mendasar dari kebangkitannya itu.

Sesuai dengan judul aslinya dalam bahasa Inggris “The revival of tradition in Indonesian politics: the deployment of adat from colonialism to indigenism” buku itu memang melakukan suatu pembentangan (deployment) fenomena adat kontemporer dengan menarik akarnya sampai pada era kolonialisme.

Setidaknya ada dua benang merah yang merangkai semua tulisan yang dibentangkan di dalam buku tersebut. Pertama, adalah penyelidikannya tentang faktor-faktor yang memungkinkan kebangkitan adat di Indonesia yang tidak pernah diprediksi sebelumnya. Kedua, adalah kemampuannya untuk mengungkap paradoks-paradoks yang inherent dalam kebangkitan adat.

Kebangkitan Adat

Jamie S. Davidson dan David Henley dalam pengantar buku tersebut menyebutkan kebangkitan adat tidak pernah diprediksi sebelumnya oleh para peneliti tentang Indonesia dan masih kurang mendapat perhatian ilmiah. Untuk itulah buku itu dipublikasikan dari hasil makalah yang pernah dipresentasikan dalam lokakarya "Kebangkitan adat pada masa transisi demokrasi di Indonesia" di Batam pada 2004 lalu. Faktor-faktor kebangkitan adat dan dimensi-dimensi yang melekat di dalamnya merupakan satu tujuan utama yang jawabannya dibentangkan di dalam buku yang ditulis oleh aktivis masyarakat adat dan pemerhati Indonesia dalam berbagai aspek ini.

Ada empat faktor utama kebangkitan adat di Indonesia.

Pertama, ia merupakan kontribusi dari perkembangan wacana dan dorongan dari organisasi-organisasi internasional. Gerakan masyarakat adat merupakan kelanjutan dari gerakan anti-imperialisme yang mencerminkan sesuatu yang baru dari "gerakan kiri" sebelumnya karena maksudnya mempertahankan keragaman budaya. Upaya untuk membangkitkan gerakan masyarakat adat, tribal peoples, indigenous peoples yang terkadang juga disebut masyarakat "dunia keempat" (fourth world peoples) ini sudah dimulai di Denmark pada 1968 oleh kelompok antropolog professional dengan membentuk The International Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA), kemudian World Council of Indigenous Peoples (WCIP) tahun 1975. Pada tataran instrument hukum internasional gerakan masyarakat adat berhasil mendorong lahirnya ILO Convention 169 concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries (1989), dan yang paling mutakhir adalah United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (2007).

Serangkaian perkembangan ini menunjukan bahwa kebangkitan adat adalah sesuatu yang nyata dan mendunia. Organisasi masyarakat adat seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang disebutkan di dalam buku ini terlibat menjadi bagian organisasi advokasi hak-hak masyarakat adat internasional seperti IWGIA dan AIPP (Asian Indigenous People Pact) yang tidak saja terlibat dalam kegiatan level internasional tetapi juga menjadi tuan rumah bagi para sarjana dan aktivis luar negeri yang membahas soal masyarakat adat. Jejaring antara tiga lapis ruang baik lokal, nasional dan internasional terbangun dalam ikatan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.

Kedua, faktor tekanan dan penindasan di bawah Orde Baru. Gerakan masyarakat adat yang bangkit di Indonesia beranjak dari satu asumsi kesadaran bersama bahwa mereka adalah korban dari program-program pembangunan selama Orde Baru berkuasa. Penindasan itu misalkan terjadi lewat UU Desa tahun 1979 di mana institusi adat "dihancurkan" dan diseragamkan menjadi desa. Program transmigrasi yang memindahkan tidak kurang dari lima puluh juta penduduk dari Jawa dan Madura ke wilayah-wilayah di pulau-pulau besar di Indonesia telah menimbulkan konflik horizontal antar transmigran dengan penduduk asli. Belum lagi pengambilalihan tanah-tanah adat oleh pemerintah untuk dikonversi menjadi konsesi penebangan hutan dan pertambangan, kebun kelapa sawit, dan hutan tanaman industri, serta taman-taman nasional. Di Bali, represi ini terjadi seiring dengan proyek "megapariwisata" yang menghadapkan langsung masyarakat dengan aktor-aktor investor global.

Represi ini pula yang mempertemukan kepentingan antara masyarakat adat dengan aktivis lingkungan dan keadilan sosial di Indonesia seperti Walhi dan YLBHI. Embrio sinergi gerakan kalangan ini bahkan sudah muncul pada masa puncak kejayaan Orde Baru lewat aksi-aksi penolakan perampasan tanah adat untuk kepentingan pertambangan dan penebangan hutan.

Ketiga, faktor keterbukaan pasca Orde Baru. Runtuhnya Orde Baru membuka ruang keterlibatan massa yang massif di Indonesia. Dengan mengutip Jose Ortega Y Gasset (1930), Satjipto Rahardjo pernah menyebut meluasnya peran masyarakat ini sebagai "fenomena massa" yang oleh Gasset diistilahkan dengan la rebelion de las masas (The revolt of the masses). Peran masyarakat itu mewujud dalam bentuknya yang optima, terkadang dalam bentuk kekerasan yang tidak lazim (Rahardjo 2000).

Peluang-peluang yang terbuka pada pasca Orde Baru inilah yang dimanfaatkan oleh aktivis masyarakat adat untuk mendirikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 1999 yang menjadi simbol perubahan radikal yang sedang terjadi. Dalam kongres pertamanya tahun 1999 menggema tuntutan "bila negara tidak mengakui kami, maka kami tidak akan mengakui negara". Tuntutan itu sebenarnya mencerminkan karakter khas dari gerakan masyarakat adat kontemporer yang ingin dihargai sebagai bagian dari negara, bukan malah bertujuan memisahkan diri (separation) dari negara.

Namun juga tidak dapat dipungkiri bahwa keterbukaan tersebut dalam beberapa kondisi malah mengarah pada konflik-konflik horizontal di dalam masyarakat atas nama adat. konflik etnis di Sambas, Sampit di Kalimantan, Poso di Sulawesi Tengah dan di Maluku Utara memperlihatkan fenomena tersebut. Selain itu, momentum reformasi juga dimanfaatkan oleh sultan-sultan untuk kembali menegaskan posisi politik dan otoritasnya mengalokasikan sumber daya dengan membentuk Foruk Komunikasi Keraton-Keraton Indonesia (FKKKI) sebagaimana dibahas oleh Van Klinken dalam buku tersebut (hal 165-86).

Keempat, warisan ideologis dari pemikir hukum adat pada masa kolonial. Warisan ideologis dari kolonial dalam kajian adat yang banyak disorot dalam buku tersebut adalah sumbangsih dari Cornelis Van Vollenhoven, professor di Universitas Leiden sejak tahun 1909 dan bapak dari Leiden School yang melahirkan konsep-konsep kunci dalam wacana adat sampai saat ini. Konsep-konsep tersebut seperti hukum adat (adatrecht), beschickingrecht yang dipadankan dengan hak ulayat dan juga masyarakat hukum adat (adatrechtgemeenschap) yang masih melekat kuat dalam diskursus adat di Indonesia. Kelanjutan dari warisan ideologis itu bahkan masih dijumpai dalam lingkungan akademik tentang materi pelajaran hukum adat dan juga pengembangan kebijakan terkini tentang masyarakat adat yang dilakukan oleh institusi negara.

Selain itu, salah satu konsep Vollenhoven yang bertahan adalah pandangan tentang adat yang esoterik, terbuka (inclusive) dan lentur. Dengan demikian konsep itu dapat digunakan untuk banyak keperluan, bahkan untuk berbagai proyek yang bersifat politis. Istilah adat faktanya dipakai oleh kelompok yang berbeda bahkan tiap orang untuk beragam tujuan yang berbeda. Pejabat pemerintah, elit daerah, kelompok solidaritas etnis, petani, buruh tani, pejuang lingkungan dan penduduk desa menggunakan idiom adat untuk menyuarakan kepentingan politiknya. Tania Li dalam buku ini menyebutkan orang menggunakan adat seringkali untuk mengklaim kemurnian dan keaslian demi kepentingan seseorang.

Paradoks Adat

Kelebihan lain dari buku ini adalah kemampuannya menyuguhkan paradoks-paradoks dalam isu adat kontemporer. Davidson dan Henley menyebutkan bahwa politik adat saat ini mengambil bentuk yang paradoksal sebagai konservatisme radikal di mana kelompok terpinggirkan, orang yang tidak berpunya melakukan tuntutan atas keadilan, bukan atas nama keterpinggiran atau ketidakpunyaan melainkan atas nama nenek moyang, komunitas dan lokalitas (hal 31).

Meskipun acapkali adat dijadikan sebagai argument untuk memperjuangkan keadilan, dalam kenyataannya malah adat juga dipakai untuk melawan perjuangan keadilan yang lain. Misalkan dengan mengutip Avonius (2004), Davidson dan Henley menyebutkan upaya untuk memperjuangkan emansipasi perempuan malah mendapat tantangan dari kalangan elit adat laki-laki di Lombok dan menganggap hal demikian sebagai sikap melawan adat. Hal ini mengindikasikan bahwa adat yang dipakai untuk mendorong demokratisasi pada level negara masih menyisakan problem-problem anti-demokrasi di dalam lokalitas keberlakuannya.

Karena sifatnya yang terbuka (inklusif), adat juga dipakai oleh elit-elit tradisional untuk meneguhkan posisi politik dan otoritasnya dalam penentuan alokasi sumber daya sebagaimana dibahas oleh Van Klinken yang tercermin dalam kebangkitan kembali sultan-sultan seantero negeri. Inklusivitas adat dimanfaatkan oleh elit dengan merangkul potensi-potensi politik dari orang luar (outsider) yang dijadikan sebagai bagian dari komunitas adat lewat pemberian gelar-gelar adat. Adat dapat dijadikan komiditas dalam transaksi politis para elit lokal.

Pada wujudnya yang lain, adat mempertegas ekslusivitasnya dengan kelompok-kelompok lain atas nama hak etnis yang akhirnya menimbulkan konflik-konflik horizontal yang mengerikan. Sejumlah konflik etnis menunjukkan bahwa adat dapat digunakan sebagai alat etnopolitis yang turut berkontribusi pada kerusuhan etnis di Sambas dan Sampit di Kalimantan, Poso di Sulawesi Tengah, dan di Maluku Utara.

Satu hal lagi yang dipertanyakan dalam buku ini adalah posisi adat yang istimewa karena dilihat sebagai sesuatu yang esoteris, mulia, suci, murni, baik dan muncul secara alamiah di Indonesia. Dikaitkan dengan pengelolaan sumber daya alam maka pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat adat diasosiasikan sebagai pengelolaan sumber daya alam secara lebih arif (ecological noble savage). Hal ini tidak diragukan lagi, tetapi memiliki sejumlah kerumitan ketika dihadapkan dengan proyek konservasi oleh negara sebagaimana digambarkan oleh Tania Li di Sulawesi Tengah.

Ketika penduduk memperoleh kepercayaan untuk memanfaatkan sebagian kawasan taman nasional menjadi lahan pertanian dan mereka memanfaatkannya untuk menanam tanaman kakao yang bernilai ekspor tinggi, maka dengan cepat mereka kehilangan kepercayaan ekologis sebagai pengelola sumber daya alam yang arif. Dengan kata lain, pelabelan masyarakat adat sebagai pengelola sumber daya alam yang arif, yang merupakan aliansi antara indigenism dengan environmentalism, malah menjadi hal yang menjebak dan menjadi beban yang harus dipikul secara tidak proporsional oleh masyarakat adat (hal 405).

Tantangan

Buku ini membentangkan pemahaman kritis tentang adat dalam politik kontemporer di Indonesia. Bagi para aktivis, peneliti dan LSM yang pro perjuangan masyarakat adat maka hendaknya buku itu menjadi bahan refleksi sekaligus tantangan-tantangan yang harus dijawab, khususnya tentang paradoks-paradoks adat. Sehingga bisa menjernihkan apa dan siapa yang sebenarnya sedang diperjuangkan serta apa dan siapa yang seharusnya tidak diperjuangkan.

Memang isu sosial dalam kadarnya yang sekecil apapun memiliki paradoks yang melekat di dalamnya, termasuk untuk isu adat. Lalu bagaimana mengatasi paradoks di dalam adat? Sejumlah gagasan sebenarnya pernah muncul misalkan Burn dalam buku tersebut mewacanakan kembali apa yang penah disampaikan oleh Barend ter Haar untuk melegalisasi adat dari kebiasaan menjadi hukum melalui peran hakim dalam memutus perkara di pengadilan sebagaimana karakter dalam sistem common law Anglo-Saxon (hal 78). Pada satu sisi gagasan ini menjadi jalan alternatif di tengah masih mandulnya pembaruan peraturan perundang-undangan yang bisa diimplementasikan secara baik untuk mengangkat martabat masyarakat adat. Pada sisi lain, pendayagunaan pengadilan dan asas preseden hukum memiliki tantangan tersendiri di tengah peradilan yang legalistik, positivistik dan rentan suap.

Lain pula dengan Sangaji di dalam buku tersebut yang menempatkan adat sebagai isu kelas, bukan pada isu etnisitas semata. Menurut Sangaji, gerakan masyarakat adat hendaknya menjadikan identitas etnik sebagai titik tolak, tetapi mengartikulasikannya tidak dengan semangat etnosentrik (hal 366). Dengan pendekatan yang terakhir ini, maka sultan-sultan dan elit-elit yang selama ini membajak adat untuk kepentingan pribadi hendaknya dikecualikan dari agenda untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Partisipasi yang luas dari masyarakat menurut van Klinken bisa menjadi cara untuk mengatasi persoalan feodalisme yang melekat pada kesultanan ini (hal 86).

Sedangkan Acciaioli dalam kesimpulan tulisannya melihat pergeseran orientasi dari gerakan masyarakat adat dari gerakan menuntut pengakuan ke gerakan yang berorientasi pada hak asasi manusia secara umum, demokratisasi, dan pelestarian sumber daya alam, yaitu dengan membangun orientasi global dalam rangka mencapai pengakuan adat lokal (hal 346). Akankah menggeser orientasi ke arah hak asasi manusia, demokratisasi dan pelestarian sumber daya alam bisa menjadikan adat dipakai menjadi argumentasi untuk menuntut keadilan bagi pihak yang selama ini paling mengalami ketidakadilan? Mari berkenduri di atas lapik yang membentang, membicarakan masa depan adat dalam politik di Indonesia.

*Yance Arizona adalah Manajer Program Hukum dan Masyarakat di Epistema Institute, Jakarta.
Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Jentera, Edisi 21 - Tahun VI - Januari-April 2011 (p.96-102)

Dari pengelola: 

Adat dalam Politik Indonesia ini adalah terjemahan dari buku berjudul: The Revival of Tradition in Indonesian Politics: The Deployment of Adat from Colonialism to Indigenism. Penyuntingnya: Jamie S. Davidson dan David Henley. Buku yang terbit pada 2007 ini merupakan bagian dari Routledge Contemporary Southeast Asia Series.

Versi bahasa Indonesia terbit atas inisiatif Sandra Moniaga, peneliti program doktoral pada Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden, yang menginginkan agar buku berbahasa Inggris yang membahas adat di Indonesia ini  bisa dinikmati oleh kalangan luas, termasuk pemerhati dan aktivis pembela hak-hak masyarakat adat  di Indonesia. Sandra sendiri mencurahkan energinya untuk memfasilitasi penerjemahan, termasuk menghubungi Hivos untuk dana penerbitan buku dan menyunting hasil terjemahannya. Ia juga yang menuliskan kata pengantar di sana.

Sejak September 2003, Sandra Moniaga melakukan penelitian dengan INDIRA (Indonesian-Netherlands studies of Decentralisation of the Indonesian Rechtsstaat and its impact on Agraria) Project. Penelitian doktoral Sandra yang berjudul  Between Adat Laws and State Laws: Finding Ways to Reconcile Land Tenure System Conflicts in Indonesia membahas mengenai konflik land-tenure antara masyarakat adat dan negara.

Kamis, 26 Mei 2011

Memahami Kemiskinan secara Relasional

Judul:Memahami Dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat
Penulis: Restu Achmaliadi, Moh. Shohibuddin, Angky Semperante, George Sitania, Kamardi, dan Nusukru
Penerbit: AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)
Tahun terbit: 2010
Tebal: 142 halaman

Penyumbang Naskah: Moh. Shohibuddin

A relational view, then, understands poverty as the effect of social relations … in terms of inequalities of power - David Mosse (2007)

Tanpa disadari, kita seringkali terjebak dalam satu cara pandang yang melihat masalah kemiskinan sebagai sebuah kondisi, bukannya konsekuensi. Cara pandang inilah yang digunakan pemerintah untuk menentukan jenjang kesejahteraan keluarga sehingga lahirlah kelompok-kelompok Keluarga Pra Sejahtera, Sejahtera I, Sejahtera II, Sejahtera III, dan Sejahtera III plus. Bersama dengan organisasi pembangunan internasional, pemerintah lantas membuat berbagai proyek pembangunan. Misinya: pengentasan kemiskinan untuk mencapai indikator makro tentang kesejahteraan dan pembangunan manusia seperti misalnya pendapatan perkapita, partisipasi pendidikan, dan akses layanan kesehatan.

Cara pandang seperti ini gagap memahami bahwa kondisi kemiskinan sebenarnya endapan dari proses historis yang dinamis, sering dalam kurun waktu yang panjang, dengan berbagai kontinuitas maupun patahannya. Ia juga gagal menangkap bahwa kondisi kemiskinan, baik yang dilihat dalam skala rumah tangga ataupun wilayah, sesungguhnya memiliki perjalanan sejarah dan dinamika yang berbeda-beda dalam hal proses pembentukan, durabilitas, dan reproduksinya.

Kemiskinan tidak bisa dientaskan tanpa pemahaman terhadap proses pembentukan dan mekanisme yang menciptakannya. Walhasil, kemiskinan di sana akan tetap ada dan berlanjut (bahkan tercipta kembali).

Dan selama kekuatan sosial dan mekanisme yang menciptakan dan kondisi melestarikan kemiskinan tidak kunjung diatasi, sebenarnya tidak ada jaminan apakah program pembangunan yang dijalankan pemerintah mampu membuat kondisi satu keluarga menjadi sejahtera dalam jangka waktu yang lama, ataukah kembali menjadi miskin seperti semula, atau bahkan jatuh lebih miskin lagi.

Di sinilah pentingnya perspektif relasional untuk melihat kemiskinan, yaitu dengan memandangnya sebagai “konsekuensi” dari relasi-relasi kuasa yang menimbulkan akibat dimiskinkannya kelompok-kelompok masyarakat tertentu.

Dengan demikian, persoalan mengapa orang menjadi miskin, atau mengapa kemiskinan tetap ada, terus dilestarikan dan bahkan dicipta ulang, dapat ditelusuri lebih jernih, mulai dari bagaimana proses-proses pembentukannya.

Andil Buku Ini

Buku ini menghimpun empat laporan hasil studi mengenai kemiskinan masyarakat adat di provinsi Aceh, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Studi ini dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk memotret kondisi kemiskinan kelompok masyarakat yang dijuluki “masyarakat adat” serta mengangkat persepsi lokal mengenai indikator kemiskinan dan kesejahteraan.

Secara ilustratif, laporan itu memberi kesaksian proses historis dan dinamika sosial-ekonomi yang menimbulkan kemiskinan pada berbagai komunitas adat di tanah air. Mereka menemukan bahwa wajah kemiskinan di tiap-tiap masyarakat adat ternyata berlainan dan terbentuk melalui proses sejarah yang berbeda-beda pula. Namun secara umum, campur tangan negara lah(melalui ragam kebijakan dan program pemerintah) yang dituding sebagai faktor paling dominan yang melahirkan perubahan besar dalam kehidupan masyarakat lokal.

Masing-masing laporan ini berdiri sendiri dan menyoroti aspek-aspek kemiskinan dan kesejahteraan yang berbeda pada komunitas tinelitinya. Ini disengaja untuk memperoleh gambaran kemiskinan yang beragam sekaligus mengangkat cara bagaimana kelompok masyarakat adat memaknai kemiskinan dan kesejahteraannya.

Konstruksi lokal semacam ini biasanya luput dari perspektif kemiskinan yang bercorak linier dari para perencana kebijakan maupun aparat pelaksana proyek pembangunan di daerah. Penelitian jenis ini diharapkan akan banyak memberikan kontribusi empiris yang mencerahkan.

Berdasarkan laporan studi tadi, buku ini mengangkat lima dimensi kemiskinan. Pertama, dimensi kemiskinan yang terkait dengan persoalan identitas lokal dan struktur sosial masyarakat yang khas. Inilah isu yang banyak disuarakan oleh AMAN dalam berbagai pernyataan dan publikasinya, yaitu pengakuan negara atas identitas dan cara hidup yang khusus dari masyarakat adat. Ketiadaan pengakuan formal maupun actual badan pemerintah dalam soal agama dan kepercayaan yang dianut, ataupun berbagai pelayanan publik pemerintah yang diskriminatif, telah menyebabkan terjadinya krisis identitas dan budaya yang mencerminkan dimensi kemiskinan batiniah.

Kedua, dimensi kemiskinan yang terkait dengan terbatasnya akses masyarakat adat terhadap pendidikan dan layanan kesehatan yang disediakan pemerintah karena berbagai faktor. Salah satunya, yang disoroti oleh laporan dari Jawa Tengah adalah bahwa pendidikan formal yang disediakan pemerintah tidak memberi tempat pada nilai-nilai dan ideal kehidupan yang dijunjung oleh komunitas lokal. Akibatnya, pendidikan formal justru dilihat sebagai ancaman atas identitas dan kehidupan komunitas ini. Faktor-faktor lain tidak secara khusus ditonjolkan dalam laporan-laporan studi ini, dan biasanya merupakan kondisi yang umum dihadapi masyarakat di daerah terpencil, misalnya sarana dan prasarana yang terbatas, tenaga pendidikan dan medis yang terbatas dan kurang berkualitas, dan lain-lain.

Dimensi ketiga dan keempat berkaitan erat dengan kemiskinan yang terkait dengan relasi-relasi agraria yang timpang, baik antara komunitas lokal dengan pihak-pihak dari luar (negara, korporasi, dan lain-lain) maupun di antara sesama warga komunitas itu sendiri. Relasi agraria yang merupakan dimensi kemiskinan ketiga berkenaan dengan persoalan tenurial security, yakni penguasaan atas sumber-sumber agraria setempat dan jaminan keamanannya. Laporan dari NTB dan NTT secara khusus menyoroti dimensi ini, yakni kasus penetapan kawasan hutan lindung dan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan yang memasukkan wilayah adat tanpa didahului oleh proses konsultasi dan persetujuan dari empunya, yakni masyarakat adat setempat.

Adapun relasi agraria yang merupakan dimensi kemiskinan keempat berkaitan dengan relasi-relasi produksi yang terkait dengan pemanfaatan dan pengusahaan sumber-sumber agraria setempat. Hal ini mencakup berbagai bentuk hubungan penyakapan (tenancy), perburuhan dan permodalan yang melibatkan sesama anggota komunitas sendiri maupun dengan pihak di luarnya. Aspek ini secara khusus disoroti oleh laporan studi dari Aceh yang mengangkat persoalan meluasnya praktik-praktik hubungan penyakapan dan perburuhan yang tidak adil di antara sesama warga komunitas sendiri.

Dimensi kemiskinan yang kelima terkait dengan isu keberlanjutan layanan alam. Isu ini mengemuka dari laporan penelitian di Aceh dan NTT yang menemukan terjadinya degradasi fungsi ekologis (khususnya di wilayah catchment area) baik sebagai akibat dari konflik dan bencana alam (kasus di Aceh) maupun akibat dilanggarnya konsep tata ruang tradisional mengenai tempat keramat oleh kebijakan penetapan areal HGU oleh pemerintah.

Krisis Agraria Sebagai Akar Kemiskinan

Kasus-kasus pencaplokan wilayah adat untuk dijadikan kawasan hutan dan perkebunan seperti dilaporkan oleh studi dari NTB dan NTT merupakan contoh kontemporer dari apa yang pernah Karl Marx sebut sebagai proses enclosure -- yang secara harfiah berarti pemagaran – yakni suatu proses pengaplingan tanah-tanah bersama menjadi tanah-tanah pribadi dengan cara menetapkan batas-batas fisik, legal maupun sosial yang tegas. Ini adalah, menggunakan kalimat terkenal dari Karl Marx dalam karya klasiknya Capital, “sejarah pemisahan produser dari alat produksinya”; “ketika sejumlah besar orang tiba-tiba dicerabut secara paksa dari caranya menjalankan hidup, dan terlempar menjadi proletariat bebas yang ‘melulu bergantung’ pada pasar tenaga kerja”.

Memang, bagi negara agraris seperti Indonesia, kepastian penguasaan atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya (land and resource tenure) sangatlah penting karena hal itu merupakan “masalah penghidupan dan kemakmuran suatu bangsa” -- meminjam judul buku karya Moch. Tauchid (1952). Oleh karena itu, jaminan tenurial security atau perlindungan atas kepastian dan keberlangsungan penguasaan rakyat atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya menjadi keharusan tersendiri. Amanat konstitusi kita secara tegas menyatakan keharusan menjadikan tanah dan kekayaan alam yang dikandungnya sebagai sumber bagi “sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 UUD 1945).

Masalah tenurial mencuat sebagai dimensi kemiskinan yang menonjol ketika terjadi dominasi dalam relasi-relasi agraria menyangkut klaim penguasaan atas sumber daya tertentu. Hal ini terjadi terutama karena aturan-aturan hukum yang dikeluarkan negara dalam menetapkan hak atas sebidang tanah dan sumber-sumber alam lainnya seringkali tidak mengadopsi atau bahkan bertolak belakang dengan praktik sehari-hari dan kebiasaan turun temurun yang berlaku dalam sebuah masyarakat. Di sinilah terjadi ketegangan antara penguasaan tanah, yang berdasarkan pada penetapan pemerintah (secara de jure) versus yang berlaku secara nyata (secara de facto).

Afiff (2005) menggambarkan tumpang tindih klaim semacam ini melalui gambar sebagai berikut.


Dalam kaitan ini, momen historis pembentukan kemiskinan dalam masyarakat adat sebenarnya bermula dari konflik tenurial semacam di atas, yaitu ketika dominasi negara dalam relasi-relasi agraria telah menyebabkan tercerabutnya hak-hak masyarakat lokal atas tanah dan sumberdaya alam lainnya di satu sisi, dan di sisi lain terakumulasinya penguasaan tanah dan kekayaan alam itu pada badan-badan usaha atau perorangan yang memiliki kekuatan modal besar (Fauzi 2002: 341).

Menurut Fauzi (in print), krisis agraria semacam inilah yang menjadi akar kemiskinan di pedesaan. Ia menyeruak seiring terjadinya ekspansi kapitalisme ke dunia pedesaan pra-kapitalis. Inilah proses transformasi besar (great transformation) yang secara drastis merombak relasi-relasi sosial dalam proses produksi, yang dimulai dengan relasi kepemilikan (property relations). Tanah dan kekayaan alam diputuskan dari relasi-relasi sosial pra-kapitalis dan dijadikan bagian dari modal dalam sirkuit cara produksi kapitalis. Hubungan petani dengan tanah dan kekayaan alam pun dipenggal secara brutal. Petani kini menjadi tenaga kerja bebas.

Dalam literatur Marxian, proses ini diistilahkan sebagai akumulasi primitif (primitive accumulation), yaitu ketika hubungan petani dengan tanah dan kekayaan alamnya diputuskan secara paksa, untuk selanjutnya tanah dan kekayaan itu menjadi modal dalam produksi kapitalis untuk pertama kalinya, sedangkan  si petani berubah menjadi tenaga kerja bebas. Hal yang penting digarisbawahi adalah bahwa proses akumulasi ini tidaklah berlangsung sekali jadi pada tahap awal perkembangan kapitalisme semata, namun merupakan proses yang terus berlangsung yang tak terpisahkan dari cara produksi kapitalis itu sendiri.

Dengan demikian, dalam kasus masyarakat adat, proses akumulasi primitif ini tidak hanya berlangsung pada masa awal kolonisasi negara-negara Eropa. Proses akumulasi ini, seperti ditunjukkan de Angelis (2004), tak lain adalah daya dari modal itu sendiri sebagai enclosing social forces atau kekuatan-kekuatan sosial yang menimbulkan proses pengkaplingan.

Proses ekspansi kapitalisme semacam ini melahirkan proses marjinalisasi dan terbentuknya kemiskinan. Tidak hanya pada masyarakat adat, namun juga pada masyarakat pedesaan secara umum. Seperti dikemukakan de Angelis (2004: 58), “… there is no enclosure of commons without at the same time the destruction and fragmentation of communities.” Dalam arti demikian, maka penetapan sepihak atas wilayah hidup rakyat oleh pemerintah untuk perusahaan kehutanan atau perkebunan juga dapat disebut sebagai aktualisasi dari akumulasi primitif ini. Demikian pula, proses-proses perubahan agraria yang dipicu oleh introduksi komoditi global juga melibatkan bentuk-bentuk baru akumulasi primitif melalui proses pasar, seperti akan dijelaskan di bawah nanti.


Ekspansi Kapitalisme Dari Bawah

Namun selain berlangsung “dari atas” berkat; campur-tangan ekstra ekonomi dari negara (baik negara kolonial maupun pasca kolonial), ekspansi kapitalisme sebenarnya juga bisa berlangsung “dari bawah”, yakni melalui hubungan-hubungan agraris di antara anggota masyarakat sendiri menyangkut perebutan akses dan kontrol atas tanah, modal dan tenaga kerja (cf. Byres, 1996). Seperti akan ditunjukkan di bawah, proses ekspansi kapitalisme dari bawah ini, tanpa ayal, juga telah berlangsung dengan masif yang dampaknya tidak kalah besarnya dibandingkan proses ekspansi kapitalisme yang berlangsung dari atas.

Yang menarik adalah bahwa proses semacam ini juga berlangsung bahkan di dalam konteks aksi reklaim tanah dari bawah (land reform by leverage) yang terorganisir. Banyak pemimpin dan aktivis gerakan sosial pedesaan yang amat sadar diri dalam memobilisasi perlawanan kolektif terhadap ekspansi kapitalisme dari atas tidak mempermasalahkan proses-proses ekspansi kapitalisme dari bawah yang berlangsung. Padahal yang terakhir ini juga mengakibatkan hilangnya akses kelompok rakyat atas tanah dan kekayaan alam dan menciptakan kelompok yang paling miskin di pedesaan.

Secara singkat, proses akumulasi yang berlangsung dari bawah di antara masyarakat sendiri ini pada dasarnya terjadi melalui apa yang disebut sebagai diferensiasi agraria. White (1998: 20) mendefinisikan proses diferensiasi agraria ini sebagai: “… suatu perubahan yang kumulatif dan permanen dalam berbagai cara di mana kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat desa—dan beberapa di luarnya—mendapatkan akses kepada hasil-hasil dari jerih payah tenaga kerjanya sendiri ataupun orang lain, menurut perbedaan penguasaan mereka atas sumber-sumber produksi, dan seringkali … menurut ketimpangan yang kian meningkat dalam hal akses atas tanah”.

Berdasarkan definisi White di atas, menjadi jelas bahwa perbedaan akses sebagian penduduk desa atas tanah dan sumber-sumber daya produktif lainnya telah melahirkan adanya perbedaan kekuasaan di antara mereka di dalam mengekstraksi surplus produksi dan mengakumulasi kekayaan. Hal ini pada gilirannya akan menciptakan pengelompokan kelas-kelas sosial-ekonomi yang makin menajam di pedesaan.

Demikianlah, melalui proses diferensiasi agraria ini masyarakat desa yang semula relatif homogen berubah menjadi semakin terdifferensiasi ke dalam kelas-kelas sosial ekonomi.

Apa yang disinggung dalam laporan buku ini mengenai berkembangnya sistem gadai dan sewa tanah di Aceh yang amat mencekik adalah kisah kecil mengenai proses diferensiasi ini. Demikian pula, perbedaan sikap di antara warga Sedulur Sikep di Jawa Tengah dalam menyikapi bantuan dan program pemerintah juga merupakan penanda dari perubahan relasi-relasi agraria yang lebih besar yang sedang berlangsung di komunitas itu, dan tidak bisa dijelaskan melulu sebagai cerminan dari pergeseran moral dan identitas di antara mereka (lihat Hefner 1999).

Sayangnya, proses perubahan agraria di pedesaan yang masif akibat berlangsungnya kapitalisme dari bawah ini juga tidak banyak diulas dalam laporan-laporan yang termuat di buku ini. Padahal proses itulah, selain campur-tangan ekstra ekonomi dari badan-badan negara, yang juga menjelaskan mengapa terjadi perubahan penghidupan yang amat drastis di pedesaan, khususnya dalam hal penguasaan tanah dan hubungan produksi serta kesempatan kerja dan pendapatan.

Di banyak tempat, proses diferensiasi ini didorong oleh komersialisasi sistem pertanian yang kian meningkat, baik sebagai dampak intensifikasi pertanian pangan yang padat modal (melalui pelaksanaan Revolusi Hijau) ataupun introduksi komoditi ekspor (cash crop). Penelitian Survey Agro Ekonomi (SAE) pada dekade 1970-1980-an menyediakan banyak bukti proses perubahan agraria yang berlangsung pasca pelaksanaan Revolusi Hijau di desa-desa pertanian padi sawah.

Sementara studi Tania Li (2002) di dataran tinggi Sulawesi Tengah menyajikan temuan menarik mengenai bagaimana proses komersialisasi pertanian terjadi akibat ekspansi komoditas kakao yang mengalami booming pasca krismon 1997.

Dari perbandingan kedua kasus di atas dapat terlihat dengan jelas proses dan mekanisme perubahan agraria yang terjadi seiring berlangsungnya capitalism from below, dan pengaruhnya pada pembentukan kemiskinan dan kesenjangan di tengah penduduk pedesaan. Memang, pada tataran empiris, proses-proses transformasi kehidupan, sumber nafkah dan basis sumber daya masyarakat pedesaan selalu dibentuk dan didorong oleh kedua kekuatan ini sekaligus (kapitalisme dari atas dan dari bawah). Oleh karena itu, perhatian terhadap keduanya, terutama mekanisme-mekanisme yang menciptakan akumulasi di satu sisi dan pemiskinan di sisi lain, harus dilakukan secara berimbang. Hal ini menggarisbawahi pentingnya pemahaman yang komprehensif mengenai proses-proses agraria yang berlangsung di lapangan dan kekuatan-kekuatan pengarahnya dalam kedua tipe perkembangan kapitalisme tersebut.

Dari Pemahaman Relasional ke Perjuangan Agraria

Berkaitan dengan urgensi di atas, maka menjadi tantangan tersendiri bagi gerakan rakyat pedesaan untuk mampu memahami krisis agraria pada masyarakat adat sehingga akar, proses, mekanisme dan tampilan dari kemiskinan relasional yang berlangsung pada berbagai komunitas adat dapat ditemukenali dan direspon secara lebih tepat. Tantangan serupa dalam konteks berbeda pernah dikemukakan oleh Tania Li (2001) yang menyatakan bahwa hanya melalui pemahaman relasional seperti itu maka pola-pola dan sebab-sebab kemiskinan dan ketimpangan agraria dapat dijelaskan . Dari pemahaman demikian inilah dimungkinkan adanya respon-respon yang lebih politis dan struktural pada berbagai level, termasuk dalam konteks strategi gerakan sosial.

Adalah penting untuk belajar dari pengalaman gerakan-gerakan petani yang terlibat dalam berbagai aksi reklaim tanah atau land reform by leverage.

Sebagai contoh, riset Sajogyo Institute (SAINS) bersama Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) pada 2009 menemukan bahwa para pelaku dan pendukung gerakan reklaim tanah di dataran tinggi Jawa Barat gagal memahami struktur ekonomi komoditi hortikultur yang dicirikan oleh pasar output yang monopsonistik dan pasar input yang monopolistik sebagai struktur ketidakadilan agraria yang harus ditentang. Bahkan patronase yang tidak adil antara bandar-petani kecil juga berkembang luas di antara para petani pelaku reklaim ini sendiri, sedemikian rupa sehingga proses akumulasi kekayaan dan diferensiasi agraria juga terlihat mencolok yang sesungguhnya mengingkari semangat keadilan agraria yang mereka perjuangkan.

Atas dasar itu, maka pemahaman atas krisis agraria, dan perjuangan merombaknya, harus menjadi bagian dari strategi dasar organisasi gerakan sosial seperti AMAN dalam menjawab problem kemiskinan pada masyarakat pedesaan, termasuk pada kelompok yang dijuluki “masyarakat adat”.

Penulis adalah peneliti pada Sajogyo Institute (SAINS) Bogor, dan anggota Tim Pengajar mata kuliah “Kajian Agraria” pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB.

Daftar Pustaka
Afiff, Suraya (2005) “Tinjauan atas Konsep ‘Tenure Security’, dengan Beberapa Rujukan pada Kasus-Kasus di Indonesia.” Jurnal Wacana, Edisi 20, Tahun VI: 225-247.

Byres, Terence J. (1996) Capitalism from Above and Capitalism from Below: an Essay in Comparative Political Economy. New York: St. Martin's Press.De Angelis, Massimo (1999) “Marx’s Theory of Primitive Accumulation: A Suggested Reinterpretation.” Working Paper No. 29, Department of Economics, University of East Anglia London,http://homepages.uel.ac.uk/M.DeAngelis/PRIMACCA.htm, diakses pada tanggal 10 Oktober 2009.

De Angelis, Massimo (2004) “Separating the Doing and the Deed: Capital and the Continuous Character of Enclosures.” Historical Materialism 12(2): 57–87.

Fauzi, Noer (2002), “Konflik Tenurial: yang Diciptakan Tapi Tak Hendak Diselesaikan” dalam Anu Lounela dan R. Yando Zakaria (eds), Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung. Yogyakarta: Insist Press.

Fauzi, Noer (in press) “Desentralisasi dan Community Driven Development dalam Konteks Pembangunan Kapitalis: Suatu Kajian Teoritis.” Akan dimuat dalam Majalah Prisma.

Hefner, Robert W (1999) Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Yogyakarta: LKiS.

Li, Tania M. (2001) “Agrarian Differentiation and the Limits of Natural Resource Management in Upland Southeast Asia.” IDS Bulletin, 32(4): 88-94.

Li, Tania M. (2002) “Local Histories, Global Markets: Cocoa and Class in Upland Sulawesi.” Development and Change 33(3): 415-437.

Mosse, Adam (2007) “Power and the Durability of Poverty: a Critical Exploration of the Links between Culture, Marginality and Chronic Poverty.” Working Paper 107, Chronic Poverty Research Centre.

Shohibuddin, Moh. dan Endriatmo Soetarto (2009) “Krisis Agraria Sebagai Akar Kemiskinan: Menuju Pandangan Relasional Mengenai Kemiskinan”. Dimuat dalam Buku Peringatan 70 Tahun Prof. Djoko Suryo. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

White, Ben (1989) “Problems in the Empirical Analysis of Agrarian Differentiation” in G. Hart, A. Turton, B. White (eds) Agrarian Transformation: Local Processes and the State in Southeast Asia.Berkeley and Los Angeles: University of California Press.

Jumat, 25 Februari 2011

Pertanian dan Pangan: Tinjauan Kebijakan, Produksi dan Riset

Judul Buku: Pertanian dan Pangan: Tinjauan Kebijakan, Produksi dan Riset
Editor: Amanda Katili
Penerbit: Yayasan Omar Taraki Niode dengan dukungan Food Review Indonesia dan SEAFAST Center-IPB
Tahun terbit: Februari 2011
Tebal: xi + 324 hal.


Penyumbang naskah: Elisabet Tata

Ini adalah buku ke lima yang diterbitkan oleh Yayasan Omar Taraki Niode (YOTN), sebuah yayasan yang salah satu misinya adalah menerbitkan buku-buku yang menunjang pendidikan pertanian dan pangan.

Buku berjudul Pertanian dan Pangan: Tinjauan Kebijakan, Produksi dan Riset ini baru diluncurkan 18 Februari lalu di SEAFAST (Southeast Asian Food and Agricultural Science) Center LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat) -IPB (Institut Pertanian Bogor), Bogor. Acara peluncurannya bernuansa Gorontalo, sebuah provinsi yang terletak di Sulawesi bagian utara, lengkap dengan tarian dan iringan gendang khas Gorontalo pula.

Maklum saja, lahirnya buku ini digagas oleh YOTN dan 14 putera daerah Gorontalo yang tengah menempuh pendidikan di IPB. Ke-14 orang itu berprofesi sebagai pendidik dan peneliti di berbagai lembaga baik akademis, swasta, maupun LSM.

Lantas, apa yang menarik dari buku ini selain kesamaan asal penulis?

Menurut Purwiyatno Hariyadi dalam kata Pengantar, pembangunan ketahanan pangan nasional memerlukan sumbangan pemikiran yang terus menerus. Dalam rangka itulah kiranya buku ini menjadi penting.

Secara garis besar buku ini terbagi menjadi tiga bagian utama, yaitu: Kebijakan Sumber Daya Manusia, Produksi dan Teknologi Pertanian serta Ilmu dan Teknologi Pangan.

Dari ke 14 penulis, hanya dua yang secara khusus mengambil lokasi penelitian di daerah Gorontalo. Yang pertama adalah Hasim yang mengulas tentang pengelolaan Danau Limboto sebagai satu-satunya sumber pangan perikanan darat di Gorontalo yang perlu dijaga kelestariannya. Dalam tulisannya Hasim memaparkan beberapa usulannya untuk mencegah degradasi ekosistem Danau Limboto terus berlanjut.

Kedua, Rahman Dako yang menulis tentang upaya kerjasama parapihak dalam pengelolaan sumber daya pesisir Teluk Tomini. Ini adalah satu-satunya teluk di dunia yang terletak tepat di garis khatulistiwa. Ia milik tiga provinsi yaitu provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Gorontalo. Teluk ini punya potensi alam dan ekonomi yang luar biasa. Di antaranya ia mampu menghasilkan $ 2,3 milyar per tahun dan merupakan lokasi perkembang biakan tuna, terutama yellowfin tuna, terbesar di dunia. Dalam tulisannya Dako menyayangkan belum terbentuknya sistem pengelolaan terpadu antar parapihak di sana.

Sementara penulis lainnya membahas isu yang bisa saja terjadi di berbagai wilayah di Indonesia tak terkecuali di Gorontalo. Lukman M Baga dan Utari Evy Cahyani misalnya, mengulas tentang pengembangan agribisnis gula di Indonesia. Mereka menulis bahwa saat ini produksi gula juga dikembangkan di luar pulau Jawa, seperti Provinsi Lampung dan Provinsi Gorontalo. Baga dan Cahyani menganalisis daya saing yang agribisnis gula serta strategi yang diperlukan guna mencapai swasembada gula di Indonesia.

Ada pula Nancy Kiay dan Sirnawati Duhuto yang membahas tentang pengolahan jagung. Ini adalah produk pertanian yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Di Gorontalo, selain mudah didapat, harga jagung murah. Sayang pengolahannya belum efisien sehingga tidak memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat.

Yang menarik adalah adanya penulis yang mengambil tema pengolahan limbah. Mereka adalah Suwardini Nanong dan Nancy Kiay yang mengulas tentang pemanfaatan limbah kulit pisang menjadi etanol serta Nikmawatisusanti Yusuf yang menulis soal pengolahan limbah perikanan menjadi produk baru yang bernilai ekonomis namun tetap terjaga keamanannya. Yusuf mengingatkan agar pengolahan hasil samping memperhatikan standard mutu bahan baku yang aman bagi kesehatan konsumen, sanitasi dan higienis bahan, tempat, dan teknik yang digunakan.

Pada bagian penutup, Omar Taraki Niode (alm) menulis soal bagaimana para manajer restoran Asia dan Meksiko di California Utara berjuang untuk dapat menyajikan makanan sehat bagi pelanggan-pelanggan mereka. Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di jurnal ilmiah Food Control pada Januari 2011 lalu.

Buku yang baru saja diluncurkan ini layak mendapat apresiasi. Amanda Katili, editor buku yang juga adalah Ketua Yayasan Omar Taraki Niode, bilang buku ini ada untuk menambah khazanah bacaan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sementara Purwiyatno Hariyadi, Kepala SEAFAST Centre-LPPM IPB, berharap agar buku ini mampu memicu lahirnya pemikiran-pemikiran sejenis demi terwujudnya ketahanan pangan yang mandiri.

Bagaimanapun juga, hadirnya buku ini telah membuka jalan bagi suatu agenda riset besar untuk menunjukkan dinamika situasi agraria dan pembangunan pertanian dengan pendekatan kewilayahan, sesuatu yang sangat dimungkinkan dengan keragaman wilayah di kepulauan Indonesia. Adakah yang sedang merintis jalan kesana?*

Catatan Pengelola:
Yayasan Omar Taraki Niode berdiri pada 2009 di Jakarta untuk mengenang Omar Taraki Niode MSc (1984-2009). Yayasan ini punya visi sebagai organisasi yang turut berperan dalam meningkatkan kualitas sarana pendidikan serta jumlah sumber daya manusia Indonesia yang handal dalam bidang pangan dan pertanian. Kegiatannya meliputi pemberian beasiswa, penyediaan sarana pendidikan dan akses informasi, serta mendorong terbentuknya jejaring kerja antar para pemangku kepentingan di bidang pangan dan pertanian. Beberapa yang sudah terealisir di antaranya adalah penerbitan buku, pemberian beasiswa dan travel award, penyelenggaraan seminar dan lokakarya, serta pengembangan Perpustakaan Omar Taraki Niode di Universitas Gorontalo. Omar Taraki Niode (alm.) adalah alumnus College of Agriculture and Environmental Sciences, University of California Davis di Amerika Serikat. Ia memperoleh gelar MSc. di bidang Ilmu Pengetahuan dan Pangan pada 2008.

Minggu, 06 Februari 2011

Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Terjadi Ahistoris dan Ahumanis

Judul Buku: Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan sumberdaya dan perlawanan di Jawa
Penulis : Nancy Lee Peluso
Penerjemah : Landung Simatupang
Editor :  Noer Fauzi
Penerbit: Konphalindo dengan dukungan Ford Foundation
Tahun: 2006
Tebal: Xxvii + 414 hlm

Penyumbang naskah: Tina E.T.V. Napitulu

Buku karya Peluso yang berjudul Hutan Kaya, Rakyat Melarat ini menceritakan tentang perlawanan rakyat petani di Jawa Tengah yang hidup di wilayah desa hutan, yakni desa-desa yang berada di dalam hutan produksi yang diklaim oleh negara ataupun yang berada di dekat hutan tersebut. 

Ketika membaca buku ini, ada dua kata yang segera muncul untuk menggambarkan pengelolaan hutan dan dampaknya. Pertama, ahistoris dan yang kedua ahumanis (tidak humanis).
 
Ahistoris karena dari kisah yang diangkat Peluso, sangat terlihat bahwa pemerintah ‘lupa’ bahwa jauh-jauh hari sebelum dinas didirikan, sudah ada masyarakat yang tinggal di wilayah hutan yang ia klaim sebagai miliknya. Dengan kata lain hutan sesungguhnya bukanlah ruang kosong yang bisa dialokasikan begitu saja untuk sebuah kepentingan.
 
Di banyak kasus, disebutkan oleh Peluso, negara seringkali mengingkari legitimasi sistem hak kepemilikan yang ada sebelumnya atas lahan dan sumberdaya alam lain berbasis tanah, sehingga negara dengan semena-mena menetapkan hubungan-hubungan baru dengan sarana-sarana produksi tersebut. Negara juga mengabaikan asal-mula penataan penduduk berdasarkan ruang dan konteksnya, misalnya dengan melihat bahwa peledakan menduduk sebagai penyebab rusaknya hutan tanpa mau mengerti apa yang memengaruhi pengguna lahan untuk mempunyai banyak anak ataupun menebang pohon.
 
Menjadi ahistoris juga, karena perhutani sebagai organisasi yang dibentuk untuk menyejahterakan rakyat melalui pengelolaan sumber daya hutan tidak belajar dari masa lalu. 

Bentuk-bentuk pengelolaan hutannya tidak berbeda dengan masa penjajahan, yang melihat hutan sebagai sesuatu yang netral dari manusia. Lebih menarik lagi karena sekilas Peluso menceritakan bagaimana konsep hutan yang scientific, yang netral dari manusia itu muncul. Semuanya bermula dari kepentingan kaum feodal di Eropa untuk menjaga kepentingan wilayah buruannya.
 
Pengelolaan hutan scientific ini menihilkan manusia. Hutan ada untuk hutan saja. Cerita Peluso tentang Kasran seorang rimbawan yang pernah dikepung masyarakat di tahun 1984 dengan sangat baik menggambarkan keadaan tersebut. “Sikap mental masyarakat harus dibenahi supaya sesuai dengan kebutuhan hutan. Kami harus mendidik mereka. Masalahnya bukan hutan. Masalahnya ialah bahwa orang-orang lapar tanah…saya harus katakan bahwa kami ini (perhutani) bukan organisasi kesejahteraan sosial. Kami ini perusahaan dan bidang usaha kami adalah konservasi. Di sisi lain, adalah tugas seluruh bangsa untuk merawat hutan.” 

Dikatakan pula Kasran terus menerus bercerita bahwa penduduk desa tidak mau mengerti ‘arti dan fungsi hutan’. Hutan harus bersih dari manusia. Ini berarti ahumanis.
Untuk mengupayakan hutan yang bersih dari manusia ini, lalu beragam cara yang lebih tidak manusiawi dilakukan. Mulai dari penggunaan kata-kata yang berkonotoasi negatif sehingga memanipulasi opini publik seperti penduduk desa hutan ‘menduduki’ (tanah negara); ‘mencuri’ (kayu milik negara); ‘menyabot’ reboisasi dan sebagainya.
 
Masyarakat diposisikan sebagai kriminal dan penjahat. Akibat dari tindakan ini, menurut Peluso, negara menjadi tidak mampu membedakan antara ‘pencolengan’ hutan atau ‘kejahatan’ hutan sebagai bentuk protes (bagian strategi petani untuk bertahan hidup) dengan pencurian hasil hutan yang semata demi kejahatan itu sendiri atau demi keuntungan pribadi.
 
Masyarakat yang berusaha bertahan hidup dengan melakukan ‘pencurian’ ini pun dimanfaatkan oleh pasar dan terjebak di dalam lingkaran pasar itu. 

Saya jadi ingat kisah seorang teman yang pernah beberapa waktu hidup dengan para ‘pembalak’ kayu di hutan Jambi. Para ‘pembalak’ ini awalnya adalah transmigran yang tertipu, mereka datang dari Jawa tetapi ketika sampai di Sumatera, tanah yang dijanjikan ternyata tidak ada. Karena butuh uang untuk melanjutkan hidup keluarganya, mereka menerima ajakan seorang cukong untuk menebang kayu di hutan. Kayu yang mereka dapat lalu dijual kepada si cukong.
 
Namun sialnya, si cukong rupanya berkawan dengan jagawana. Oleh si cukong, mereka dipaksa untuk tetap menebang pohon dan menjual hasilnya hanya kepada si cukong tersebut atau jika tidak, si cukong akan melaporkan mereka kepada jagawana karena telah menebang pohon di hutan. Maka terus-terusanlah orang-orang ini memotong kayu dan bersembunyi dari kejaran jagawana yang sesungguhnya tahu apa yang mereka lakukan.
 
Para ‘pembalak’ kayu ini beranak pinak di hutan, tidur di bawah pohon-pohon besar yang diceritakan sangat rimbun bahkan matahari pun tidak dapat masuk. Anak-anak mereka liar saja. Untuk menghindari jagawana, mereka hidup berpindah-pindah. Teman saya suatu saat ditegur agar tidak merokok di malam hari, karena jagawana akan melihat cahayanya bahkan dari jarak kiloan meter.
 
Cara lain yang ditempuh untuk membersihkan hutan dari manusia adalah dengan cara-cara kekerasan, paramiliter, jagawana yang bersenjata api. Peluso bercerita, sebenarnya ada kontradiksi di dalam diri penjaga-penjaga hutan ini. Mereka tidak ingin bertindak kejam seperti penjaga-pejaga hutan di masa penjajahan, namun apa daya, seringkali yang menjadi faktor keberhasilan mereka adalah, seberapa banyak pohon yang dapat berdiri di wilayahnya. Mereka terlatih untuk menjaga pohon dan bukan untuk mendistribusikan kesejahteraan dari hasil hutan kepada masyarakat di sekitar.
 
Begitu banyak kasus tentang kekerasan yang terjadi. Misalnya di wilayah taman nasional – meski ini bukan wilayah perhutani, namun merupakan salah satu wujud dari hutan scientific – terhadap masyarakat yang hidup di dalam atau di sekeliling taman tersebut. Misalnya, kasus dua petani di Taman Nasional Ujung Kulon yang ditembaklumpuhkan oleh jagawana lantaran membawa dahan kayu, yang menurut mereka sebenarnya sudah jatuh. Kedua orang ini lalu diadili dan dikenakan penjara selama satu bulan, padahal tidak ada satupun saksi yang bisa memberatkan mereka dengan melihat mereka menebang pohon itu. Tembak dan penjara selain merupakan bentuk pendekatan yang tidak manusiawi, juga tidak menyelesaikan masalah.
 
Peluso juga bercerita bahwa para mantri hutan juga ‘terjebak’ secara kultural, ketika masyarakat agraris melihat sebagai patron baru, akan tetapi mereka tidak punya kemampuan penuh untuk memenuhi harapan warga akibat pengelolaan yang birokratis. Persaingan sektoral juga mewarnai kerumitan pengelolaan hutan, pertanian atau kehutanan. Padahal rakyat di pinggiran hutan melihatnya sebagai satu kesatuan untuk keberlangsungan hidup.
 
Membaca cerita Peluso, sebenarnya yang muncul adalah gugatan terhadap negara. Untuk siapa sebenarnya negara ini ada? Representasi siapakah dia? 

Pada awalnya saya ingat kepada hak asasi manusia, bahwa negara berkewajiban untuk menghormati dan melindungi serta memenuhi hak asasi manusia (termasuk didalamnya adalah petani). Namun jika negara berada pada posisi berhadap-hadapan dengan warga negaranya sendiri, tentu tidak tepat jika mengharapkan mereka mengakui kewajiban tersebut. Peluso sendiri menawarkan perubahan perimbangan kekuasaan di desa sebagai jawaban, tetapi tentunya menurut dia, ini mengharuskan pembalikan seluruh alur dan menentang tema serta struktur pembangunan di Indonesia.

Catatan Pengelola: tulisan ini diambil dari rubrik Informasi/Data Berita Bumi di sini. Berita Bumi adalah portal berita untuk lingkungan dan pembangunan berkelanjutan yang berisi berbagai informasi tentang Rekayasa Genetik dan Keamanan Hayati, Pertanian Organik, Sumber Daya Alam, Kehutanan, Keanekaragaman Hayati, Bencana Alam dan Lingkungan, Lingkungan dan Perubahan Iklim.

Sekilas tentang buku: 
Buku yang berjudul Hutan Kaya, Rakyat Melarat ini menguraikan sejarah kebijakan kehutanan negara yang dirancang untuk mengendalikan dan mengawasi penggunaan kawasan hutan, jenis pohon tertentu, tenaga kerja dan ideologi di Jawa serta tanggapan penduduk desa hutan terhadap pengendalian yang diterapkan.

Di tengah penerapan desentralisasi, Perhutani melanjutkan posisi sejarahnya sebagai “tuan tanah negara” yang kaya dengan hubungan yang rumit dengan masyarakat setempat.

Buku yang ditulis pada tahun 1992 ini merupakan sebuah studi mengenai ekologi politik, sebagai refleksi dari lingkungan agraria yang kompleks, beragam serta indah.

Betapapun penuh dengan politik yang rumit, argumen dan narasi sejarah dalam buku ini masih relevan hingga kini.

Jumat, 28 Januari 2011

LAND REFORM LOKAL A LA NGANDAGAN: Inovasi Sistem Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964

Penyumbang naskah: Ahmad Nashih Luthfi

Penulis: Moh. Shohibuddin dan Ahmad Nashih Luthfi
Editor: Oloan Sitorus
Tahun terbit: Desember 2010
Penerbit: STPN dan Sajogyo Institute
Tebal: 186 hlm



Buku ini merupakan hasil studi “revisit” atas kasus inisiatif land reform lokal di desa Ngandagan, sebuah desa di Jawa Tengah, yang terjadi   pada tahun 1947-1964. Penulis mendiskusikan profil land reform inisiatif lokal tersebut dan mencoba mendalami proses diferensiasi agraria yang terjadi sebagai konteks krisis agraria yang berlangsung. Pelaksanaan land reform di Ngandagan membawa dampak secara sosial-ekonomi yang cukup signifikan terhadap struktur sosio-agraria setempat, serta konfigurasi politik dan keagamaan.

Pelaksanaan land reform inisiatif lokal yang terjadi di Ngandagan dijalankan dengan cara melakukan perubahan sistem kepemilikan, peruntukan, dan pemanfaatan tanah serta perubahan relasi ketenagakerjaan.

Kebijakan land reform itu mengharuskan semua pemilik tanah kulian menyisihkan 90 ubin dari setiap unit tanah kulian yang dikuasainya. Hasil penyisihan ini kemudian dialokasikan untuk sawah buruhan yang dikelola langsung oleh desa untuk diatur pembagiannya di antara warga desa yang tidak memiliki tanah.

Ukuran standar baru unit sawah buruhan ditetapkan seluas 45 ubin, yakni separoh dari ukuran sebelumnya  (90 ubin), sehingga jumlah penerima potensial dari kebijakan redistribusi tanah bisa diperluas. Inilah ukuran batas minimum versi lokal Ngandagan.

Pelaksanaan itu juga dipadukan dengan kebijakan perluasan tanah pertanian (ekstensifikasi) dengan memanfaatkan lahan kering berstatus abseente seluas 11 hektar yang ada di ujung desa. Dihasilkan pula sistem baru berupa skema pembayaran hutang hari kerja di lahan kering yang bermakna sebagai pertukaran tenaga kerja.

Kebijakan desa Ngandagan itu secara sadar diarahkan untuk meruntuhkan basis feodalisme agraris di desa, yakni pola hubungan patronase yang dibangun oleh petani kuli baku dengan buruh kuli-nya. Redistribusi tanah dilakukan tidak seperti pada masa tanam paksa, yakni dalam rangka penyediaan tanah dan mobilisasi tenaga untuk produksi tanaman ekspor, namun sebaliknya secara sadar diarahkan untuk mengoreksi ketimpangan penguasaan tanah. Hal demikian tidak dapat berlangsung tanpa kepemimpinan kuat seorang lurah bernama Soemotirto yang dinilai legendaris.

Selain land reform, juga ditekankan kembali norma hukum adat yang melarang pelepasan tanah, baik melalui penjualan, penyewaan maupun penggadaiannya kepada orang lain. Semua bentuk transaksi tanah ini dilarang keras baik terhadap penerima sawah buruhan yang memang hanya memiliki hak garap maupun terhadap petani kuli baku sendiri selaku pemilik tanah.

Kebijakan tersebut mampu mencegah kehilangan tanahnya secuil demi secuil (peacemeal dispossession), suatu kondisi yang pernah dialami warga Ngandagan sebelum pelaksanaan land reform. Inovasi baru dalam hubungan produksi diciptakan dalam suatu mekanisme tukar menukar tenaga kerja di antara warga dalam mengerjakan berbagai tahap produksi pertanian. Mekanisme ini disebut sebagai grojogan. Dengan sistem ini semua warga tanpa terkecuali, termasuk pamong desa, akan bekerja di lahan pertanian milik tetangganya. Kultur feodalisme di pedesaan yang barbasis pada penguasaan tanah diruntuhkan melalui mekanisme semacam ini.

Kebijakan agraria desa Ngandagan bukannya tanpa halangan. Ketika Soemotirto melakukan kebijakan konsolidasi tanah pada tahun 1963, yakni melakukan penataan permukiman warganya, maka muncul pertentangan. Ia diperkarakan ke pengadilan kabupaten dengan tuduhan pengambilan tanah tanpa seizin pemiliknya. Posisinya lemah, sebab berbeda dengan penataan terhadap tanah sawah dan lahan kering, terhadap penataan tanah pekarangan dan rumah ini ia tidak memiliki legitimasi kultural dan pembenar dari hukum adat.

Relasi asosiatif politik warga Ngandagan pada Partai Komunis Indonesia dalam pemilu 1955, sebenarnya lebih didahului karena keberhasilan pelaksanaan land reform 1947 dan orientasi pemimpinnya, yakni lurah Soemotrito, daripada sebaliknya. Sampai dengan awal tahun 1960-an, Ngandagan dikenal sebagai “desa RRT di kandang banteng”, artinya PKI di tengah-tengah pengikut PNI. Akan tetapi dengan adanya proses peradilan itu, maka konflik politik di Ngandagan yang semula hanya menyangkut soal dukungan atau penolakan atas redistribusi tanah pekulen dan melibatkan antar elit di lingkup desa, kemudian berkembang menjadi bagian dari kontestasi ideologi di daerah (kabupaten) yang melibatkan unsur politik kepartaian yang bahkan berakibat pada konversi agama.

Meskipun diperkarakannya Soemotrito berakibat pada berakhirnya kekuasaan dia sebagai lurah, sebuah politik perlawanan masih ia lakukan sebelum lengser. Ia memerintahkan warganya yang menjadi pengikut PKI untuk pindah ke partai lain. Sebagian besar warga mengikuti ke mana arah angin berhembus dan lantas memutuskan memilih PNI. Namun Soemotirto sendiri, bersama para pengikutnya, menyatakan sikap anti-PNI mereka dengan memilih Partai Katolik, meskipun dengan risiko menjadi kelompok minoritas agama. Konversi agama ini terjadi sekitar setahun sebelum peristiwa “G 30 S”, dan hal demikian berbeda dengan kondisi di tempat lain yang prosesnya justru terjadi setelah meletusnya peristiwa tersebut.

Berbagai perombakan sistem tenurial dan ketenagakerjaan itulah yang  memberi gambaran sosialisme ala Ngandagan”, suatu “tafsir-dalam-praktik” mengenai cita-cita keadilan sosial di bidang agraria. Inovasi “sosialisme” berbasis adat itu terpangkas prosesnya pada tahun 1963 di level lokal, disusul dengan peristiwa 1965 di level nasional yang menghempaskan Ngandagan dan desa-desa lain secara umum di Indonesia, menuju ke arah yang berbeda.

Kebijakan sosialisme ala Ngandagan adalah hasil dari kombinasi antara revitalisasi dan reinterpretasi hukum adat dalam rangka mewujudkan sistem penguasaan tanah dan hubungan agraria yang lebih adil. Sejarah desa Ngandagan menunjukkan bahwa land reform dilaksanakan dalam kerangka hukum adat serta adanya tafsir dan praktik land reform yang lebih sesuai dengan tuntutan dan kondisi lokal yang berhasil diwujudkan oleh masyarakat desa sendiri.

Jika saja inisiatif progresif semacam itu mendapatkan apresiasi dan dukungan politik semestinya, dan bukan justru diseragamkan, maka betapa banyak alur gelombang emansipasi dari bawah yang dapat diharapkan akan berkembang secara “alamiah”, dan yang pada gilirannya akan turut memperkaya proses formasi sosial dan perkembangan politik bangsa Indonesia secara keseluruhan. [ ]

Komentar tentang buku: 
Sebagai hasil dari suatu “studi ulang” atas sebuah desa yang 63 tahun lalu telah melakukan land reform lokal, buku ini bukan saja memaknai peristiwa itu dalam konteks kekinian dan mewacanakan berbagai perubahan sosial ekonomi dan politik seiring dengan proses perubahan zaman selama sekian tahun itu, tetapi bahkan sekaligus juga mencerminkan usaha kedua penulisnya untuk “berimajinasi sosiologis” dengan merakitkan gejaka lokal tersebut dengan konsep gagasan besar “Sosialisme Indonesia”. Karenanya, buku ini perlu dibaca para generasi muda, peminat sejarah, pengkaji masalah adat, pemerhati, aktifis dan pengambil kebijakan penanganan masalah kemiskinan dan reforma agraria, dan para peminat ilmu sosial secara umum. (Gunawan Wiradi, 2011)

Catatan: Launching buku ini akan dilakukan pada pertengahan Februari 2011

Jumat, 21 Januari 2011

Melampaui Reformasi Agraria


Penyumbang naskah: Francis Wahono, BEc (Hons), Ph.D.

Judul buku : Pemikiran Agraria Bulaksumur: Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun, dan Mubyarto. 
Karya: Ahmad Nashih Luthfi, Amien Tohari dan Tarli Nugroho
Editor: Endriatmo Soetarto
Tahun: 2010
Penerbit: STPN Press & Sains Press Bogor
Tebal: 325 halaman

Pemilihan ahli yang dikaji, sudah mewakili sifat interdisipliner reforma agraria: sejarah (Sartono), kependudukan (Masri) dan ekonomi (Mubyarto). Bulaksumur menandai sentra pemikiran yang tidak harus mewakili UGM, dan selalu sejalan dengan UGM, tetapi jelas tempatnya di Bulaksumur. Penulis berasal dari kalangan intelektual muda yang concern. Seragam sistem pe-outline-nya, bergaya bercerita, enak dibaca, lengkap informasinya (termasuk riwayat hidup dan perjuangan ilmiahnya). Dari sisi ini, buku ini sangat bagus ditulis dan ditampilkan, dan tentunya digarap. Ini nampaknya arahan dan tangan dari editornya.

Kebetulan, atau tidak kebetulan (saya tidak tahu), pereview buku ini kenal secara pribadi dan sekaligus pengagum tokoh-tokoh yang diekspose pemikirannya dalam buku. Mereka terhubungkan dalam lingkaran diskusi dan berkawanan intelektual YAE (Yayasan Agro Ekonomika). YAE adalah gerakan orang-orang “kalah” dengan arus pemerintah yang mencaplok Perhepi (perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia) yang pada awal 1980an masih sangat galak mengkritik kebijakan pemerintah yang salah, maupun mengungkap fakta kemiskinan yang dicoba ditutupi. 

Maka, tepatlah kiranya bila Editor telah memilih judul “pemikiran agraria (maksudnya ALIRAN) Bulaksumur”, yang sekarang masih ada sisa-sisa “laskar pajang”nya: a.l. Susetiawan, Maksum, dan Revrisond. Mereka, sebagaimana pendahulu, juga menjadi atau tepatnya dijadikan “kelompok kritis” di Perguruan Tinggi mereka, dan masyarakat luas. 

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Yang mungkin lepas dari para petinggi PT tersebut adalah bahwa mereka itu cicit dari Prof Iso dan Prof Teko, dua dari profesor pendiri PT tersebut. Lewat Sartono, pengaruh ilmiawan cerdas berpihak dan jaman itu “kiri” prof Wertheim sampai pula ke mereka. Di sisi lain, mereka bergaul akrab dengan D.H. Penny, ilmiawan Australia dari perguruan tinggi Cornell University, yang sangat mendalam faham Jawa dan Sumatera Utara. Tepat editor memberi judul “pemikiran”, karena mereka ini yang membangun komunitas pemikiran, aliran, yang berpihak pada wong cilik. Sejarah a la Sartono bukan sejarah istana-ningrat, tapi sejarah rakyat, pemberontakan di Banten. Seminal paper dan buku Masri, adalah tentang kemiskinan Sriharjo, rakyat kecil. Disertasi Mubyarto tentang politik ekonomi beras, petani kecil, konsumen rakyat. Melestarikan secara menarasikan kembali pemikiran Sartono, Masri dan Mubyarto sama halnya dengan menjaga roh perjuangan keintelektualan pro rakyat kecil, yang hari-hari ini dinegasikan, dipinggirkan, dianggap tiada, disakiti oleh elit Indonesia.

Merdeka dan berdaulat adalah kata-kata juang khas orang tertindas, wong cilik, rakyat kecil. Itulah yang dilantang suarakan oleh Reforma Agraria. Petani gurem, apalagi buruh tani, agar sejahtera, keluarga (dengan jumlah 7) harus mendapatkan tanah subur sawah seukuran 2 hektar. Bila tanah kering, ukurannya dilipat duakan. Itu pula rumus yang dipakai sampai kini oleh transmigrasi, 2 hektar tanah di luar Jawa. Tetapi prakteknya yang 2 hektar itu tidak subur, pun termasuk untuk rumah, pun kadang tak siap ditanami, masih semak belukar atau sisa pohon belum bersih. 

Meskipun negara ini telah memproklamasikan kemerdekaannya, tetapi tanah dan air belum dipunyai rata seukuran 2 hektar tanah subur, ya sama saja dengan bohong. Reforma agraria adalah kewajiban Negara untuk memastikan tiap orang berlandaskan sarana kehidupan yang cukup, yakni tanah dan air. Dan itu tak dapat diserahkan kepada investor, karena mereka adalah yang paling rakus untuk mendapatkan tanah dan air agar usaha mereka yang skala besar (lipat ratusan ribu dari ukuran 2 hektar) dapat berjalan. 

Adalah sebuah ketololan, memprogram usaha/industri skala besar untuk sedikit orang di tengah wong cilik butuh tanah “hanya” 2 hektar agar hidup sejahtera dengan keluarganya. Mestinya Usaha kecil dan menengah, bukan besar dan besar sekali. Maka soal reforma agraria alibinya selalu: kurang tanah, atau rentang konflik sosial dan phisik. Benar tanah terbatas, tetapi tidak seimbang atau sangat jomplang pembagiannya. Bukan saja investor swasta, investor pakai topeng negara (PTP dan BUMN) juga, dijadikan pesaing wong cilik, atau potential petani cilik. Walaupun industrialisasi gaya pabrik telah mencuri anak-anak wong cilik dari desa, namun tetap kunci mengurai kemiskinan dan tiada pekerjaan untuk rakyat adalah reforma agraria yang menyangkut tanah, air dan keanekaragaman hayati. Tapi kunci itu hanya di bibirkan saja, mengapa? Karena dari pemerintah yang satu ke yang lain, kendati sudah didukung mayoritas rakyat, selalu berhitung untuk jangka pendek: mempertahankan kekuasaan, yang mudah ya dengan konglomerat. 

Mengapa Bolivia dengan Ivo Moralesnya untuk perdesaan, bisa, Lula da Silva dari Brazilia untuk urban, bisa; presiden dan parlemen kita tidak? Karena tak berani? Karena tak niat? Karena tidak pernah bersekolah dan berkomunitas intelektual aliran Pemikiran Agraria Bulaksumur. Mestinya buku ini dan buku sekeprihatinan seperti yang ditulis Gunawan Wiradi, dicetak jutaan dan disebar ajarkan lewat Universitas, minimal juruan pertanian, ekonomi, sosiologi, sejarah, anthropologi, teknologi, bahkan sastra dan kedokteran, hukum dan politik. 

Dalam 10 tahun saya yakin, ada kemajuan dengan pelaksanaan reforma agraria. Artinya, tentang Reforma Agraria, kita harus bergerak untuk melampuai-nya, yakni lewat pendidikan tidak tanggung-tanggung. Karena kita hanya dapat berharap pada generasi muda, generasi ini sudah begitu terkontaminasi dan parah moral dan tabiat tindakannya: rakus harta dan kedudukan tiada tara. Sulit dipertobatkannya, kecuali ditunggu pikun dan matinya, seraya mempersiapkan generasi yang sesedikit mungkin bebas kontaminasi.

Selain itu, “melampuai” reforma agraria, is harus selalu dimasukkan dalam kanvas konteks luas tetapi mengena pada hati masyarakat khususnya petani dan calon petani, juga pengusaha kecil menengah. Itu dengan cantik dan komprehensif dilakukan oleh Mochammad Tauchid dengan buku tebal “Masalah Agraria” yang juga telah diterbitkan ulang oleh STPN Press. Dalam hal ini, STPN sungguh serius dalam mengadakan pendidikan calon-calon  petugas administrasi pertanahan. Sayang urusan Reforma Agraria seolah hanya diserahkan pada Badan Pertanahan Nasional. Padahal harusnya dikelola sebagai politik mainstream dari negara, dengan seluruh aparatnya. 

Sebagaimana digali dan dijelaskan panjang lebar oleh Tauchid, Reforma Agraria (yang dicita-citakan, itu karena bukunya menjadi semacam teks akademik untuk UUPA 1960) menjadi tumpuhan kehidupan rakyat Indonesia merdeka maupun kemakmurannya. Tanpa itu, percuma semua usaha pengentasan kemiskinan. Karena akar kemiskinan justru karena yang kerja di sektor pertanian, masyarakat hidup dari hutan, nelayan di pesisir, pekebun di gunung-gunung, pemelihara ternak dan perikanan di desa-desa, tidak mendapatkan akses tanah yang cukup untuk dijadikan sarana kerja merealisasikan potensinya dan menjadi gantungan hidup keluarga. Ceritanya, lantas mereka dan anak-anak rakyat jelata terpaksa terlempar ke kota maupun jadi TKI/TKW (batur) di negeri orang, dengan paket kemungkinan besar diterlantar dan tersia-sia.

Rencana dan kebijakan serta praktek pembangunan tidak pernah didesain serius dan sungguh-sungguh untuk ke sana.

Ada satu catatan yang mengusik saya, yakni mencari benang merah, alur penghubung antara satu pemikiran tokoh dengan yang lainnya. Maksudnya, bagaimana secara coherent informasi mengenai kepemikiran 3 tokoh Bulaksumur itu dapat disusun sebagai sebuah teori besar. Teori mana dapat menjadi landasan menaruh, memberi arah, membuat relevan bagi reforma agraria. Itulah nampaknya PR (pekerjaan rumah) yang harus dikerjakan paska penerbitan buku itu. Yang satu dari disiplin sejarah, yang lain dari disiplin anthropologi demografi, yang lainnya lagi dari disiplin ekonomi. Selanjutnya perriview hendak mencoba membikin kerangka logis dari ke-3 pemikir.

Dari sudut sejarah. Pada mulanya adalah kerakusan penjajah, sebagaimana nasehat Karl Marx, yang kira-kira begini rumus sederhananya: kuasailah sarana produksi, maka kamu kuasai manusianya. Orang salah duga bahwa tujuan kapitalisme termasuk kolonialisme adalah menguasai harta semakin banyak. Salah. Tujuan kapitalisme adalah menguasai manusianya, in the end of the game. Bahwa harus menguasai harta, itu hanya sebagai sarana ke tujuan akhir. Sartono menangkap ini sangat baik dan jeli. Sejarah mainstream (tentu dari Barat) adalah sejarah elite, raja-raja, para tuan tanah, para industriawan, para pedagang, para birokrat dan cendekia. Yang punya dan menulis sejarah adalah lapisan atas ini. Manusia  sadar sejarah, sadar eksistensinya dan arah hidupnya, wajar menguasai manusia tak bersejarah. Karena tak bersejarah, maka juga tak punya legitimasi menguasai harta, termasuk dunia ini. Sejak dosa Adam dan Hawa, manusia mau menguasai yang lain, bahkan Gusti Allah. 

Jalan kapitalisme adalah jalan serakah, bahkan sesama manusia dikuasainyia. Insting membudakkan yang lain selalu di sana. Setelah Adam, sejarah saling menguasai berlangsung terus: Ismail dan Ishak, Esau dan Jacob, Ruben dkk vs Yusup, akhirnya Palestina dan Israel. Itulah kalau sejarah adalah sejarah istana, sejarah raja, sejarah yang menang. Sartono faham dasar pemikiran dan sekaligus keyakinan itu, dia pernah menjadi biarawan katholik, bruder. Maka, sebagai murid Wertheim, yang amat fasih tulisan-tulisan Marxian, faham akan culas Kapitalisme, ia menulis sejarah dari sisi orang yang kalah, orang kecil, serajah rakyat yang terpinggirkan. 

The history should be turn upside down, begitu motto pensejarah populis atau Marxian di Eropa kala Sartono menulis disertasi dan berkutat dengan tekun di perpustakaan.  Kendati jadi cendekiawan, akhirnya, kaliber dunia, namun darah anak desa yang dari bawah kariernya sebagai guru tetap dibawanya dan menjiwai cara pandang dan isi cerita sejarahnya. Kata pepatah: ia tidak lupa akan akarnya. Galibnya, justru karena menulis tentang pemberontakan (perang), sejarah Sartono adalah proposal damai.

Kesadaran mendalam tentang perang dan akibatnya yang mengorbankan wong cilik, menjadi pemacu mengusulkan penyelesaian tata damai. Jawa, tanah air Jawa, adalah dari segi macam tanaman saja, sudah menjadi barang perebutan antara tanaman pangan (khususnya padi dan polowija) dengan tanaman ekspor (khususnya gula dan indigo). Berebut dalam satu petak petani kecil, antara padi dan gula. Airnya pun diperebutkan. 

Dualisme sosial, kata Boeke, adalah akar dari dualisme ekonomi dan teknologi. Kendati yang menampak di permukaan adalah persaingan antara padi dan gula, yang ada di aras bawah, subaltern, adalah persaingan antara kelas (hubungan sosial manusia) yang kalah dan menang. Wong cilik yang digerogoti terus dan Wong gede (kaum kolonial lewat birokrasi raja dan kapitan cina). 

Membalikkan tata, struktur, kapitalis feodal, dilakukan yang paling tepat, melalui pembagian merata atas the means of production, tanah dan air atau lebih luas sumber-sumber agraria. Penyelesaian penindasan, ketidak adilan dan perang, diganti dengan penyelesaian damai: tanah air dan sumber agraria lain di-sama-ratakan hingga cukup untuk hidup keluarga petani dengan anggota tujuh orang (UUPA 1960). 

Jadi, dalam buku kompilasi 3 tokoh Bulaksumur ini, karya-karya pemikiran Sartono menyediakan filosofi kesejarahan reforma agraria. Reforma agraria yang hendaknya terjadi harus dilandasi filosofi kesejarahan a la Sartono. Ketakutan sementara orang bahwa reforma agraria hanya akan menimbulkan konflik sosial, tidak berdasar. Justru sebaliknya, bila negara dan bangsa ini hendak damai, dengan sistem demokrasi substansial kerakyatan (amanat UUD 1945), pada masa-masa mendatang: reforma agraria dengan semangat UUPA 1960 dan UUD 1945 harus dijalankan. Kalau tidak negara akan selalu goyah, bangsa akan selalu terancam ketidakcukupan pangan dan pekerjaan.

Bagaimana dengan sudut anthropologi demografi (lebih cocok untuk Masri, bukan “grafi” , tapi “logi”, bukan angka kuantitas tapi kualitas ternalar), Masri memasukkan roh anthropologi, ilmu manusia, ke dalam discursus demografi yang cenderung kering tampilan angka-angka, cenderung mereduksi manusia dan anaknya, perempuan dan rumah tangganya ke dalam barang dapat dihitung dan tanpa sentuhan rasa hormat. 

Ilmu manusia itulah yang membuat Keluarga Berencana tidak sekedar bertujuan mengurangi jumlah mulut manusia vis a vis ketersediaan pangan; melain berparadigma meningkatkan harkat manusia, hingga performa mulut berkurang hanya sebagai akibat, bila itu pun harus, dari keluarnya orang dari jerat kemiskinan dan jurang kebodohan. 

Bila Masri bertutur tentang Keluarga Berencana, pertama-tama ia berbicara mengenai manusia. Manusia yang miskin dan harus dibuat cukup dengan sarana-sarana akses tanah air dan akses pasar serta modal dan pendidikan pengetahuan serta teknologi. Politik KB harus menjadi politik memanusiakan manusia. Maka tampilah Sriharjo yang diikuti juga tidak hanya dengan kemiskinan tetapi peranan pekarangan, di mana sumber hayati tersembunyi banyak kali dilupakan. Itu tentu mengingatkan kita pada penelitian Ochse and Terra di Kutawinangun tahun 1927 tentang peran pekarangan dan tetumbuhannya dalam menjamin kecukupan gizi keluarga.

Bagaimana dengan sudut ekonomi, itulah bagian dari Mubyarto. Mubyarto, sama seperti gurunya Sartono dan sobatnya Masri, bermula dari pendekatan ekonomi a la EF. Schumacher, “as if people mattered”. Baginya itu ekonomi Pancasila, ekonomi bermoral dan berkeadilan. Bahwa dia mulai dari beras tak lain karena pembimbing dan pengalaman anak desanya, orang kekurangan beras. Tetapi bagi petani produksi pangan termasuk beras adalah juga pekerjaan selain pendapatan, keadilan selain pengentasan kemiskinan. Maka dia sangat mengagumi JH. Boeke, yang melihat ekonomi Indonesia, bukan sekedar ditentukan oleh faktor bisnis, tetapi juga sosial. 

Dualisme Sosial, itu kata Boeke. Itu yang menjadi akar adanya dualisme modal, dualisme daerah, dualisme teknologi dlsb. Agenda jelas Mubyarto adalah menciptakan peluang kerja. Baik itu bertani dengan tanah dan air yang cukup maupun mengentasan kemiskinan dengan model kantong daerah miskin adalah untuk menciptakan peluang kerja. Hanya dengan bekerja, penambahan income itu berharkat manusia. Untuk kerja pula reforma agraria harus terjadi, meskipun pada bagian ini dia tidak begitu progresif, mungkin melihat fakta “agak sulit pada jaman Orde Baru”.

Ketiga penulis, secara pribadi, meninggalkan Pekerjaan Rumah atau tepatnya agenda bagi penulis review ini. Prof Sartono mengusulkan saya untuk mencari tahu lebih jauh “phenomenon lurah beras dari Klaten”, ketika sepintas mengomentari disertasi saya. Prof. Masri mendukung saya untuk mendampingi teman-teman Dayak mendirikan Institute Dayakologi dan Credit Union Modern, ketika bersama-sama dalam Konferensi Ekonomi Kerakyatan di Kalimantan Barat dua puluh tahun lalu. Prof Mubyarto berpesan kepada saya “kalau hendak mempelajari JH Boeke, jangan tanggung-tanggung, total” ketika saya mohon restu untuk memulai disertasi saya yang dibimbing oleh guru saya Kenneth D. Thomas dan Sajogyo.

Maka terimakasihku pada para inisiator dan membuat buku cantik ini, yang telah lebih memudahkan saya di masa mendatang melaksanakan agenda dari para senior kami ini. 

Proficiat, selamat membaca dan mencamkan.

Catatan Pengelola: 
*Francis Wahono adalah Direktur Yacitra (Yayasan Cindelaras Paritrana), sebuah LSM lokal di Yogyakarta dan Dosen Program MM Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa, Yogyakarta
*Tulisan ini pernah didiskusikan dalam acara Peluncuran dan Diskusi Buku dalam rangka HUT UUPA di STPN Yogyakarta 16 Desember 2010 lalu.