Anda sudah selesai membaca sebuah karya tentang studi agraria? Tuliskan kembali ringkasan bacaan Anda dan kirimkan ke : studiagraria@gmail.com. Kami akan memuatnya di situs ini. Dan, mari kita membicarakannya.

Senin, 30 Maret 2020

Jalan Keempat: Pro-Poor Land Reform

Noer Fauzi Rachman



Saturnino M. Borras Jr., and Terry McKinley, 2006, “The Unresolved Land Reform Debate: Beyond State-Led and Market-Led Model”, dalam Policy Research Brief No. 2 November 2006, International Poverty Center (IPC) - United Nation Development Programme (UNDP), https://ipcig.org/pub/IPCPolicyResearchBrief2.pdf (akses terakhir pada 30 maret 2020).

Pelaksanaan land reform di berbagai negara biasanya digolongkan berdasarkan cara bagaimana land reform itu dijalankan, yakni dibedakan menjadi tiga tipe ideal, yakni: State-Led Land Reform, Market-Led Land Reform, dan Peasant-Led Land Reform. Namun, dengan sangat menarik, setelah menyelidiki secara empiris praktek-praktek ketiga model itu, Borras dan Mckinley (2006) mengemukakan jalan keempat yang merupakan suatu upaya mewujudkan Pro-Poor Land Reform yang realistis, dengan 4 (empat) pilar pokok, yakni:
(i)             Pengorganisasian rakyat miskin pedesaan yang otonom; Organisasi ini dibentuk dari kebutuhan dan perjuangan rakyat miskin sendiri, jatuh-bangun menempa dan membangun kepemimpinannya yang mandiri. Mereka harus lah otonom dari kekuatan negara dan pengusaha tanah luas dan mewakili kepentingan strategi dan program buruh tani, petani gurem, masyarakat adat maupun kaum miskin dan perempuan pedesaan serta mampu memenuhi kebutuhan praktis mereka.
(ii)          Koalisi politik yang luas dan pro-land reform; Koalisi ini harus kuat, misalnya, untuk menolak berkompromi dengan faksi-faksi politik yang mewakili kepentingan penguasa tanah luas, pengusaha-pengusaha besar industri agrobisnis yang berorientasi ekspor, dan memegang teguh kepentingan strategis dari buruh tani, petani gurem, masyarakat adat maupun kaum miskin dan perempuan pedesaan.
(iii)         Investasi publik, kredit pemerintah dan asistensi teknis yang besar; Koalisi di atas harus lah sampai pada keberhasilan mengalokasikan anggaran  negara dalam jumlah yang substansial. Hal inilah yang akan mampu menciptakan kondisi-kondisi perbaikan produktivitas dan kualitas lingkungan yang menjamin keberlangsungan nilai guna dari tanah yang diredistribusikan.
(iv)         Intervensi mikroekonomi maupun wilayah untuk meningkatkan produktivitas dan perbaikan lingkungan itu tidak akan berhasil berkelanjutan tanpa pilar yang keempat, yakni strategi pembangunan pro-poor yang berorientasi pertumbuhan (pro-poor Growth-oriented Development Strategy). Pilar keempat ini memang berhadapan dengan arus besar globalisasi neoliberal, sehingga mau tidak mau elit negara harus berfungsi menjalankan kewajibannya untuk menyediakan berbagai fasilitas yang memproteksi orang miskin pedesaan dari ancaman neoliberal enclosure.
 4 (Empat) macam jalan land reform berdasarkan aktor utama penggeraknya
Market-Led Land Reform
-     Pertimbangan utamanya adalah pencapaian efisiensi/produktivitas secara ekonomis;
-     Mengurangi peran negara;
-     Petani yang seharusnya menjadi ‘supir’ dalam Reforma Agraria, sesungguhnya berada di bawah perintah pelaku-pelaku pasar;
-     Nyatanya, ‘terpusat pada pasar’ artinya ‘terpusat pada tuan tanah/pedagang/ Perusahaan asing (TNC)’.
State-Led Land Reform
-     Pertimbangan utamanya biasanya berhubungan dengan mengamankan/menjaga legitimasi politik, meskipun agenda-agenda pembangunan juga penting;
-     Komitmen politik yang sangat kuat’ sangat dibutuhkan untuk mewujudkan agenda land reform, plus perbaikan akses lainnya;
-     Biasanya memperlakukan petani sebagai pelaku yang dibutuhkan secara administratif;
-     Partisipasi pelaku-pelaku pasar sangat rendah, kecuali mereka yang terpilih karena lebih memiliki pengaruh dalam kebijakan pemerintah dan elite pejabatnya.
Peasant-Led Land Reform
-     Asumsi utamanya adalah bahwa ‘negara terlalu terbelenggu oleh kepentingan elit (elite capture)’, sementara kekuatan pasar juga = kepentingan elit;
-     Dengan demikian, satu-satunya cara untuk mencapai land reform  yang pro kaum miskin adalah jika petani dan organisasi mereka secara mandiri mengambil insiatif untuk menerapkannya. 
Pro-Poor 
Land Reform
-     Asumsi utama: tidak meromantisasi ‘kemahakuasaan’ petani dan organisasi mereka; dan juga tidak meromantisasi sifat budiman negara;
-     Mendasarkan pada keterkaitan masalah keadilan, produktivitas dan kerusakan lingkungan hidup; serta keberkaitan antara perspektif-perspektif yang mampu menjelaskan masalah tersebut;
-     Menganalisa negara, gerakan-gerakan petani dan kekuatan pasar bukan sebagai kelompok-kelompok yang terpisah-pisah, namun sebagai pelaku-pelaku yang terhubung satu sama lain melalui cara bagaimana tanah dan kekayaan alam diperebutkan secara politis dan ekonomis;
-     Memiliki tiga ciri kunci: ‘berpusat pada petani’, ‘didorong oleh negara’, dan ‘meningkatkan produktivitas secara ekonomis, keadilan sosial, dan pemulihan lingkungan’.

Bandung, 31 Maret 2008

Selasa, 24 Maret 2020


Noer Fauzi Rachman


Petani, Berlanjut-hidup dalam Kemelut


Penulis                           :  Jan Douwe van der Ploegh
Judul Buku                    :  Petani dan Seni Bertani, Maklumat Chayanovian
Judul Asli                       :  Peasants and The Art of Farming:  A Chayanovian Manifesto
Penerjemah                  :  Ciptaning Larastiti
Penyunting Ahli            :  Ben White dan Laksmi A. Savitri
Perjawahan Isi              :  Damar N. Sosodoro
Ilustrasi Sampul            :  Andi Bhatara dan 
                                           Giovanni Dessy Austriningrum
Penerbit                        :   Insist Press, bekerjasama dengan Inter-Cruch Organization for 
                                           Development Cooperation (ICCO), Institute of Social Studies, dan 
                                           Initiatives in Critical Agrarian Studies (ICAS)
Jumlah Halaman          :   226 + xxiv halaman


           Sejarawan penulis seri buku sejarah dunia modern, Eric Hobsbawm dalam bukunya the Age of Extremes: A History of the World, 1914-1991 menuliskan observasi penting mengenai apa yang disebutnya sebagai the death of peasantry (saya terjemahkan menjadi: lenyapnya kaum petani) sebagai gejala perubahan sosial pembeda dengan yang masa lampau dan yang berlangsung paling dramatis dan berakibat luas dari abad ke-20 lalu (Hobsbawm 1994:289, 415). Seabad sebelumnya, Karl Marx penulis buku paling terkenal Das Kapital. Kritik der politischen Ökonomie (edisi bahasa Inggerisnya terbit 1867) telah terlebih dahulu menunjukkan bahwa pembentukan modal untuk per-usaha-an kapitalis pada pertama kalinya dimulai dengan pemutusan paksa hubungan kepemilikan para petani dengan tanahnya (Marx 1867: 874).
Di permulaan abad ke-21 ini, kita menyaksikan proses pelenyapan kaum tani petani itu terus berlangsung akibat ekspansi sirkuit produksi komoditas global secara kapitalis, dan segala sesuatu operasinya pada tingkat hulu,  perluasan bekerjanya korporasi dan mekanisme pasar dalam pengadaan sarana produksi pertanian, dan pemerintah bekerja secara bias kota atau urban bias, istilah dari Michael Lipton (1977). Konsentrasi penguasaan tanah-tanah oleh perusahaan-perusahaan dan warga kota, konversi tanah pertanian menjadi non-pertanian, dan migrasi merupakan kenyataan yang menyertai modifikasi penurunan minat bertani para anak-anak petani, termasuk melalui sekolah. Lebih dari sekedar meninggalkan pertanian, sekolah mendorong anak-anak muridnya bermotivasi untuk tidak lagi berkenan hidup di desa, dan pindah menjadi warga kota-kota, atau setidaknya berkebudayaan kota walau tinggal di desa.
Kita menyaksikan bagaimana gerakan-gerakan pasar (utamanya melalui komodifikasi tenaga kerja, uang dan alam, seperti dianalisis Karl Polanyi, dalam karyanya The Great Transformation, the Political and Economic Origin of Our Time 1944) telah melahirkan perlawanan masyarakat, termasuk berupa kesadaran kritis yang bangkit dan bermuara protes-protes kaum petani. Selain itu, terdapat kecenderungan pembentukan kembali petani dalam pertanian keluarga (re-peasantization) di Asia dan Amerika Latin, dan juga yang menarik, adalah di Eropa dan Amerika Utara. seiring proses industrialisasi pertanian yang mengkonsentrasikan usaha pertanian dalam skala raksasa, intensifikasi, spesialisasi dan artificial-isasi dan disaktivasi pertanian, yang berakibat pada akhirnya  pengurangan hingga penghapusan kegiatan-kegiatan pertanian tertentu. 
Teka-teki ini menjadi masalah yang penting sebagai pertanyaan penggerak penelitian: apa yang membuat petani dalam pertanian-pertanian keluarga ini tetap terus bisa melanjutkan hidup, dan menolak mati bahkan membentuk gerakan tandingan, termasuk dengan memperbanyak diri, dalam konteks semakin membesar dan kuatnya kekuatan utama yang bisa mematikan mereka. 
Di tengah konteks demikian lah, Jan Douwe van der Ploeg menerbitkan karyanya Peasants and The Art of Farming, A Chayanovian Manifesto  (2013), dan diterjemahkan menjadi Petani dan Seni Bertani, Maklumat Chayanovian (Yogyakarta: Insist Press 2019). Karya ini sebaiknya dibaca beriringan dengan The New Peasantries: Struggles for Autonomy and Sustainability in an Era of Empire and Globalization.  Keduanya menegaskan pentingnya kita merujuk ke karya-karya klasik dari Alexander Chayanov, terutama The Theory of Peasant Economy (1966/1925, Chayanov telah mengembangkan pendekatan, teori dan metodologi untuk analisa mengenai karakteristik ekonomi petani, yang akan tetap relevan dimanapun dan kapanpun kita berhadapan dengan bentuk-bentuk produksi keluarga petani. Para penganut dan pengembang pemikiran Chayanovian di Indonesia antara lain, Julius Herman BoekeGerard Juliaan Vink, Kaslan Tohir, Sajogyo, S.M.P. Tjondronegoro, Gunawan Wiradi, Amri Marzali, hingga Francis Wahono.   
Siapakah sekarang yang membaca buku Chayanov, dan menggunakan pendekatan Chayanovian untuk memahami keberlanjutan hidup dari suatu sistem agraria  pertanian keluarga? Buku Petani dan Seni Bertani ini menguraian secara ringkas dan padat teori ekonomi pertanian keluarga dari Chayanov, dan bagaimana relevansinya di saat ini.  Chayanov benar-benar berhasil menunjukkan bahwa usaha pertanian rakyat (peasant farm) hadir dan berlanjut hidup dalam suatu ekonomi yang didominasi oleh hubungan-hubungan sosial kapitalistik. Keberlanjutan hidupnya bergantung pada andilnya sebagai suatu bentuk produksi barang dagangan yang khusus dalam sistem perekonomi kapitalis. Dalam dominant-subordinate relations itulah perlu diselidiki secara khusus bagaimana petani dan cara produksi pertanian rakyat dapat berlanjut hidup, bahkan terpelihara secara struktural.
Hidup menjadi bagian yang penting sistem kapitalisme bukanlah sesuatu yang menyenangkan bagi petani. Sebagian petani berjuang untuk melanjutkan hidup pertanian rakyat dalam menghadapi ancaman nyata dari cara produksi kapitalis yang meluaskan diri dengan cara melenyapkan cara produksi pra-kapitalis dalam logika creative destruction sebagaimana dijelaskan oleh David Harvey dalam artikelnya “Neoliberalism and Creative Destruction” (2003). Sebagian petani yang lain mengikuti jalur mengubah pertanian rakyatnya menjadi pertanian komersial, seperti yang dipromosikan besar-besara oleh  pemerintah, yang memiliki kekhususan wewenang baik sebagai pembuat peraturan, pengambil dan penentu alokasi anggaran negara, dan kekuatan birokrasinya, hingga perusahaan-perusahaan negara.
Pertanian keluarga sendiri tentu bukanlah unit produksi kapitalis. Dalam unit kerja pertanian keluarga, para petani yang bekerja bukanlah tenaga kerja upahan. Pertanian rakyat bekerja dalam cara yang benar-benar berbeda dengan cara bagaimana perusahaan kapitalis dikelola, yang berdasar hubungan kerja sosial modal-tenaga kerja. Perhatikanlah, misalnya sebagai petty commodity producer, jual beli barang nya secara umum berada dalam kisaran harga yang jauh lebih murah dibanding harga yang barang yang diproduksi dan diedarkan perusahaan kapitalis yang badan-badan usahanya mempergunakan modal dari hutang bank. Resiko harga jual murah ini ditanggung secara keseluruhan.  Struktur internal yang khusus dari pertanian keluarga inilah yang bisa membuat mereka bekerja ketika perusahaan kapitalis tidak bisa. Baik dengan menjual dengan harga murah itu, memperpanjang jam kerja anggota keluarga, mengambil bahan mentah secara gratis dari layanan alam, dan sebagainnya. Dalam kalimat Chayanov (1966: 89), “The peasant farm continues to produce where capitalist farms stop,” dan  mereka memiliki keunggulan bisa terus hidup dalam posisi berkompetisi-tapi- tersubordinasi.
Buku Petani dan Seni Bertani, Maklumat Chayanovian ini pertama terbit dari versi bahasa Inggris tahun 2013, dan merupakan buku kedua dalam seri “Kajian Petani dan Perubahan Agraria”. Buku pertamanya, Henry Bernstein, Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria juga telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Insist Press 2015. Tiap-tiap buku dalam seri ini ini, seperti dijelaskan dalam pengantar seri buku ini, bermaksud menjawab pertanyaan terkini meliputi apa saja isu dan perdebatan terkini dalam suatu topik, bagaimana posisi tersebut muncul dan berkembang dari waktu ke waktu, bagaimana kecenderungan yang mungkin terjadi, apa saja rujukan kunci, dan last but not least, mengapa penting bagi para pekerja ornop, aktivis gerakan, pekerja pembangunan dan lembaga donor, mahasiswa, akademisi , peneliti dan dan ahli-ahli pembuat kebijakan perlu melibatkan diri secara kritis dengan topik-topik ini. 
 Buku yang ringkas dan padat (226 halaman), ini bagus untuk pemula yang mulai belajar suatu pemikiran agraria. Para pembaca yang sudah mahfum dengan pemikiran agraria  akan segera mengetahui bahwa buku ini adalah buku yang penting dan serius, namun enak dan ringan dibacanya. Buku ini layak menjadi pegangan para pemikir, pemimpin dan penggerak rakyat yang bekerja langsung secara konkrit untuk kemudian menemukan cara-cara baru yang mumpuni mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan itu. Juga untuk mereka mereka yang rajin berkampanye tentang hak-hak petani, kedaulatan pangan, dan reforma agrarian, serta para pelajar dan dosen di perguruan tinggi.  Saya sampaikan selamat dan terima kasih pada Redaksi Kajian Petani dan Perubahan Agraria dan Insist Press telah menghasilkan karya yang penting ini, dengan sajian yang apik dan berkualitas bagus. 
Terima kasih untuk kerja kordinator penerbitan dan editorial yang cakap dari Penerbit Insist Press. Pilihan huruf, mutu tata letak, perwajahan isi dan ilustrasi sampul buku ini membuat pembaca merasa nyaman. Glosarium di akhir buku dan anjuran bacaan dalam Daftar Pustaka pun sangat membantu. Kita menantikan penerbit ini mengeluarkan buku-buku selanjutnya dari seri Kajian Petani dan Perubahan Agraria ini.
Apakah buku berisikan “ide besar dalam buku kecil” seperti buku ini dapat dibuat untuk kajian pemikiran-pemikiran agraria (di) Indonesia? Prakarsa seperti itu penting agar pada gilirannya bisa dibuatkan peta perjalanan pemikiran agraria Indonesia, dan para pelaku studi agraria yang semakin membanyak ini pun dapat meletakkan sumbangan studi yang dilakukannya sebagai kelanjutan dari para pendahulunya. Karya Ben White (2005) “Between Apologia and Critical Discourse, Agrarian Transitions and Scholarly Engagement in Indonesia”, sesungguhnya merupakan rangsangan, yang perlu dilanjutkan. Status pengetahuan dari studi-studi agraria Indonesia perlu ditingkatkan dengan menghadirkan pemikiran para tokohnya, dan diletakkan dalam hubungan satu sama lain.
Siapakah yang terpanggil dan mumpuni mengerjakannya?