Anda sudah selesai membaca sebuah karya tentang studi agraria? Tuliskan kembali ringkasan bacaan Anda dan kirimkan ke : studiagraria@gmail.com. Kami akan memuatnya di situs ini. Dan, mari kita membicarakannya.

Rabu, 02 Juni 2010

James C. Scott dan Karya Agraria-nya

Penyumbang Naskah: Ronny Agustinus

Apakah James C. Scott masih menarik bagi ranah pemikiran sosial di Indonesia? Dua bukunya, yakni Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts (1992) dan Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed (1998) tidak diterjemahkan.  sementara dua buku klasiknya, yakni Moral Ekonomi Petani: Pergerakan dan Subsistensi di Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1981) dan Senjatanya Orang-Orang yang Kalah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000) tidak diterbitkan ulang. Padahal pemikiran Scott sangat relevan, terutama menyangkut pergolakan kekuasaan di pedesaan, perubahan agraria, dan nasib petani.

Jurnal Wacana terbitan INSIST adalah salah satu yang berupaya menyebarkan pemikiran James Scott. Dalam edisi 10 tahun III 2002, ia memuat terjemahan dari makalah James Scott, (1995) “State simplifications: Some applications to Southeast Asia”, yang disampaikan dalam kuliah umum The Wertheim Lecture 1995 di Centre for Asian Studies Amsterdam.

Buku terbaru James Scott, The Art of Not Being Governed yang diterbitkan tahun 2009 sekali lagi menunjukkan kalibernya sebagai pembentuk kecenderungan dalam studi-studi agraria di Asia Tenggara.

Jika mencermati karya-karya James Scott dari awal hingga yang terbaru, sebenarnya kita bisa menarik benang merah perkembangan pemikirannya.

Dalam Moral Ekonomi Petani: Pergerakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, Scott mengemukakan pertama kali teorinya tentang bagaimana “etika subsistensi” (etika untuk bertahan hidup dalam kondisi minimal) melandasi segala perilaku kaum tani dalam hubungan sosial mereka di pedesaan, termasuk pembangkangan mereka terhadap inovasi yang datang dari penguasa mereka.

Itulah yang disebut sebagai “moral ekonomi”, yang membimbing mereka sebagai warga desa dalam mengelola kelanjutan kehidupan kolektif dan hubungan sosial resiprokal saat menghadapi tekanan-tekanan struktural dari hubungan kekuasaan baru yang mencengkam. Tekanan struktural dari pasar kapitalistik, pengorganisasian negara kolonial dan paskakolonial, dan proses modernisasi di Asia Tenggara mengacaukan “moral ekonomi” itu dan menyebabkan kaum tani berontak.

Mahakarya kedua Scott, Senjatanya Orang-Orang yang Kalah, membawa topik di atas selangkah lebih jauh. Scott mendokumentasikan penelitian bertahun-tahunnya tentang perlawanan keseharian kaum tani yang tak tercatat sejarah. Buku Perlawanan Kaum Tani mengusung tema serupa. Namun demikian, buku ini bukan terjemahan langsung dari buku Scott, melainkan terjemahan kumpulan artikel Scott yang disunting oleh Prof. Sajogyo. Nah, Senjatanya Orang-Orang yang Kalah menjelaskan posisi dan perilaku politik kaum tani.

Sejak jaman kolonial, protes dan perlawanan kaum tani dipandang bukan sebagai gerakan terorganisir, melainkan sekedar pelampiasan kemarahan secara destruktif dan membabi buta akibat eksploitasi yang kelewatan, misalnya pajak yang teramat tinggi. Namun pada kehidupan sehari-hari, kaum tani nampak pasrah, nrimo dan tergantung pada alam. Tidak nampak revolusioner sama sekali.

Penelitian Scott atas petani Asia Tenggara mematahkan mitos ini. Ia membuktikan bahwa apa yang disebut sebagai ‘kepasrahan kaum tani’ bukanlah benar-benar kepasrahan, melainkan aksi-aksi perlawanan anonim dalam diam yang berlangsung saban harinya, yang bahkan telah menjadi suatu subkultur. Dari Scott lah kita mendapat analisa yang jenius tentang apa yang disebutnya ‘bentuk-bentuk perjuangan kelas gaya Brechtian’ (Brechtian modes of resistance), yakni "senjata-senjata biasa yang dimiliki kelompok-kelompok yang relatif tanpa kekuatan: menghambat, berpura-pura, pura-pura menurut, mencopet, pura-pura tidak tahu, memfitnah, pembakaran, sabotase, dan sebagainya" (Perlawanan Kaum Tani, halaman 271).

Istilah "Brechtian" berasal dari Bertold Brech, seorang seniman cum aktivis gerakan kiri di Jerman. Dalam Kumpulan Cerita tentang Tuan Keuner karya Bertold Brech, ada satu cerita mini yang sangat terkenal yakni ketika Tuan Keuner diperlakukan sewenang-wenang bak jongos di rumahnya sendiri oleh seorang tentara fasis. Tuan Keuner tidak melawan. Ia layani apa saja permintaan si tentara. Karena terbiasa dilayani sebagai majikan selama bertahun-tahun, si tentara akhirnya menjadi pemalas lalu mati. Dan saat itulah Tuan Keuner yang dianiaya berteriak “merdeka!”

Pesan Scott jelas: hanya karena perlawanan kaum tani ini tak kasat mata, tak tercatat dalam sejarah, bukan berarti mereka tidak punya kesadaran kritis dan tidak melawan. Saya kutip dari buku Perlawanan Kaum Tani, halaman 314-315: "Banyak dari bentuk perlawanan yang telah kita pelajari itu mungkin aksi-aksi ‘perorangan’, tetapi itu tidak berarti bahwa aksi itu tidak terkoordinasi.

Di sini, sebuah konsep koordinasi yang berasal dari rakitan formal dan birokratis tidak banyak membantu untuk memahami aksi-aksi yang dilakukan dalam komunitas-komunitas dengan jaringan-jaringan informasi yang padat dan subkultur-subkultur perlawanan yang kaya, dan historis dalam, terhadap tuntutan-tuntutan dari luar […:] subkultur pedesaan membantu membenarkan kepura-puraan, perburuan tanpa izin, pencurian, penghindaran pajak, penghindaran wajib militer dan sebagainya […:] Tidak ada organisasi formal yang dibuat karena tidak ada satu pun yang diperlukan; namun, suatu bentuk koordinasi telah dicapai yang mengisyaratkan kepada kita bahwa apa yang sedang terjadi itu bukan sekedar aksi perorangan."

James C. Scott bukan cuma cendekiawan brilian, namun juga penulis ulung. Seperti buku-bukunya yang lain, The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia ditulis dengan sangat jernih (sampai-sampai memperoleh penghargaan PROSE Award in Goverment and Politics - sebuah penghargaan yang diberikan para penerbit Amerika setiap tahunnya kepada para profesional dan intelektual atas karya mereka yang diterbitkan dalam bentuk buku, jurnal, dan media elektronik)

Scott sendiri sadar akan kelihaiannya ini. Di halaman xi ia tulis, “Saya sering dituding keliru, tapi jarang dibilang tidak jelas atau tidak mudah dipahami. Buku ini juga begitu.”

Keunikan Scott lainnya, sehari-harinya selain meriset dan mengajar ia memelihara domba! Mengapa domba? Dalam sebuah wawancara ia utarakan filosofikasinya untuk kegiatannya ini: “Domba sering dipakai sebagai metafor untuk kebloonan dan kepatuhan. Tapi orang yang pernah melihat domba liar beraksi akan tahu bahwa domba itu sebenarnya individualistik. Kita telah beternak domba selama 8.000 tahun dan memilih yang patuh. Kita yang menjadikan mereka begitu!”

Dengan kata lain, masyarakat yang direkayasa oleh skema-skema pembangunan hanya akan menghasilkan manusia-manusia pasif yang tak sejalan dengan tujuan pembangunan itu sendiri. Masyarakat yang berhasil hanyalah masyarakat yang bebas untuk menentukan cara meraih keberhasilannya sendiri, bukan yang direkayasa dari atas.

Ya, barang siapa masih menganggap domba itu makhluk bloon, coba saja tonton Shaun the Sheep. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar