Anda sudah selesai membaca sebuah karya tentang studi agraria? Tuliskan kembali ringkasan bacaan Anda dan kirimkan ke : studiagraria@gmail.com. Kami akan memuatnya di situs ini. Dan, mari kita membicarakannya.

Rabu, 17 Maret 2010

La Via Campesina: Globalization and the Power of Peasant

Karya: Annette Aurélie Desmarais
Penerbit: Pluto Press, London, 2007
Tebal: 238

Penyumbang Naskah: Elisabet Tata

Buku ini merupakan studi pertama mengenai perjalanan La Via Campesina, sebuah gerakan transnasional kaum tani dalam menghadapi globalisasi ekonomi. Kaum tani yang dimaksud di sini didefinisikan sebagai produsen pertanian dalam skala menengah dan kecil, buruh tani yang tak memiliki tanah, perempuan pedesaan, masyarakat adat, kaum muda desa dan pekerja pertanian lainnya.

Dipelopori oleh gerakan kaum tani di Amerika Tengah, Selatan dan Utara, serta kelompok petani di Eropa, La Via Campesina dibentuk secara formal pada tahun 1993. Kini gerakan ini beranggotakan 149 kelompok petani yang tersebar di 56 negara di berbagai benua Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika.

La Via Campesina memiliki tujuan utama yakni membangun solidaritas dan kesatuan antar organisasi petani kecil untuk mempromosikan keseimbangan gender dan keadilan sosial dalam hubungan ekonomi yang adil, ketersediaan lahan, air, benih dan sumber daya alam lainnya; kedaulatan pangan; produksi pertanian yang berkelanjutan yang berpijak pada produser skala menengah dan kecil.

Dalam bukunya, Desmarais menjelaskan bagaimana kaum tani berusaha untuk bisa terus bertahan hidup di era ekonomi pertanian global yang bercirikan perdagangan liberal dan munculnya perusahaan transnasional yang melakukan komodifikasi terhadap lahan, benih dan buruh.

Desmarais menyatakan bahwa inti dari perjuangan La Via Campesina adalah “kedaulatan pangan” – hak masyarakat untuk mendefinisikan kebijakan pertanian dan pangan. Artikulasi dan mobilisasi konsep ini menegaskan munculnya konflik akibat adanya dua cara pandang dunia yang berbeda. Di satu sisi, melihat dunia sebagai a corporate driven (disetir oleh perusahaan swasta raksasa), suatu perspektif neoliberal yang melihat pertanian sebagai salah satu sektor ekonomi yang lain, semata-mata sebagai suatu barang dagangan (komoditi). Pandangan lain melihat dunia sebagai “sebuah model pembangunan pedesaan yang diyakini lebih manusiawi karena berlandaskan pada penemuan kembali etika pembangunan yang berangkat dari budaya produktif dan pekerjaan produktif keluarga petani”.

Buku ini terdiri dari tujuh bab. Bab pertama, berisi ringkasan kemunculan La Via Campesina di awal 1990an dan bagaimana gerakan ini menempatkan diri dalam konteks aktivitas masyarakat sipil yang lebih luas dengan isu reforma agraria dan politik pedesaan. Bab dua, menerangkan tentang praktik-praktik modernisasi pertanian, termasuk dominasi agribisnis masa kini terhadap tahap-tahap penting dan sumberdaya siklus produksi. Hasil dari praktik-praktik semacam ini adalah petani tersingkirkan dari perannya sebagai penjaga tanah.

Bab tiga, menggambarkan kemunculan La Via Campesina sendiri secara nyata. Bukan proses yang mudah, karena kaum tani yang adalah kaum marjinal harus menghadapi tantangan yang tak mudah ketika harus berbicara atas nama mereka sendiri. Bab empat, memfokuskan pada WTO dan menggarisbawahi kritik-kritik La Via Campesina secara detil dan mengidentifikasi bagaimana perbedaan-perbedaan ini berhadapan dengan agenda kaum reformis yang berasal dari organisasi petani yang lebih konservatif.

Bab lima, merefleksikan adanya upaya saling memengaruhi antara global dan lokal, yang sebagaimana ditunjukkan oleh Desmarais, menghasilkan dinamika yang menakjubkan. Sejalan dengan kekuasaan atas kebijakan pertanian yang ditransfer dari negara ke tingkat global, maka organisasi petani harus pula aktif di tingkat global. Dan pada saat yang bersamaan, aktivitas global memiliki efek berupa pola konsolidasi organisasi dan komunikasi di tingkat lokal.

Bab enam, memfokuskan pada “strategi gerakan untuk menjawab persoalan ketidaksetaraan gender dan perbedaan daerah” dengan mempertimbangkan adanya perbedaan tradisi dalam organisasi sosial di antara, misalnya Amerika Latin – yang sangat aktif – dan Asia – yang kurang aktif . Kondisi ini menjadi dasar bagi La Via Campesina untuk menciptakan struktur partisipatoris yang khas.

Bab tujuh, menggambarkan pengalaman La Via Campesina yang berisi perjalanan petani dalam merespon globalisasi, hubungan antara pertanian dan pembangunan, dan gerakan sosial lintas negara secara umum.

Jika ingin memahami lebih lanjut dan mengetahui situasi organisasi La Via Campesina terkini, silakan berkunjung ke situsnya di sini.

La Via Campesina memiliki kantor sekretariat yang terbagi seturut wilayah administratif organisasi. Kantor Sekretariat Serikat Petani Indonesia di Jakarta terpilih sebagai kantor sekretariat untuk wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur. Sekretariat ini mengurus 12 anggota yang terdiri dari organisasi-organisasi para petani di berbagai negara di Asia Tenggara dan Asia Timur. Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia adalah juga Koordinator Umum La Via Campesina. Dan karenanya kantor sekretariat di Jakarta ini sekaligus juga adalah kantor sekretariat internasional La Via Campesina.

Saat ini Serikat Petani Indonesia tengah mengerjakan penerjemahan dan akan menerbitkan buku La Via Campesina ini dalam bahasa Indonesia.

Tentang Penulis

Profesor Doktor Annette AurĂ©lie Desmarais sebenarnya adalah seorang petani biasa di Kanada. Perkenalannya dengan La Via Campesina terjadi ketika ia – sebagai koordinator Oxfam - sedang mengerjakan suatu proyek yang terkait dengan organisasi-organisasi mitra Oxfam, salah satunya adalah La Via Campesina. Desmarais kemudian bergabung dengan La Via Campesina dan menjadi asisten teknis. Keterlibatannya secara langsung dan intensif dalam gerakan membuatnya mampu menuliskan kajian tentang perjalanan gerakan La Via Campesina dengan sangat detil. Desmarais juga melakukan wawancara dengan para tokoh La Via Campesina yang tersebar di empat benua. Kini selain mengajar Kajian Keadilan Justice Studies di Universitas Regina Kanada, Desmarais juga adalah anggota Dewan Penasehat Internasional untuk Journal of Peasant Studies. Di Jurnal yang sama pula Desmarais pernah meraih Eric Wolf Prize.

Senin, 15 Maret 2010

Akses Gratis ke Jurnal Development and Change


Ingin mendapatkan semua isi Jurnal Development and Change? Ini saat yang terbaik.

Berikut ini adalah hasil copy and paste dari laman Jurnal Development and Change:

Free Trial Access to all Content - Celebrating Development and Change at 40!
To celebrate 40 years of Development and Change, we are offering free access to all content back to Volume 1, 1970. Over its 40 year period, Development and Change has become one of the leading international journals in the field of development studies and social change, including contributions from leading authors across the social sciences. Discover a history of unconventional and challenging articles, devoted to the complete spectrum of development issues including The Forum issue, an unmissable annual resource for the student, teacher and practitioner of development

Start your free trial today! - Browse the classic article highlights selected by the editorial board below. We hope you enjoy your free trial, discovering your own list of classic articles!

The 2009 Forum Issue - Free Online
The Forum issue is an unmissable annual resource for the student, teacher and practitioner of development. This exciting annual issue has been made free access to celebrate Development and Change at 40! With a different guest editor each year, The Forum has a different character to the regular issues of Development and Change. In a number of self-contained sections, it provides an annual review of the state of the art of certain aspects of development studies, including:

• Focus: thematic review articles on major topics in the literature
• Debate: cutting edge contributions on a specific topic or issue
• Reflections: interviews with key figures in the world of development
• Legacies: a look back at the role played in development studies by influential individuals
• Assessments: incisive reviews of major international agency reports such as the World Development Report and the Human Development Report

Browse the issue contents here.

Rabu, 10 Maret 2010

Lucia da Corta, "The Political Economy of Agrarian Change: Dinosaur or Phoenix?"


Lucia da Corta, The Political Economy of Agrarian Change: Dinosaur or Phoenix?" dalam The Comparative Political Economy of Development, Africa and South Asia, Edited by Barbara Harris - White and Judith Heyer. London, Routledge, 2010, hal. 18-46

Penyumbang Naskah: Noer Fauzi Rachman

Karya da Corta ini adalah naskah yang mudah dipahami. Ia mampu membedah secara kritis pendekatan studi-studi kemiskinan kronis (chronic poverty) yang populer baik dalam dunia akademik maupun di lembaga-lembaga pembangunan internasional selama hampir dua dekade belakangan ini.

Naskah ini pada awalnya terbit sebagai salah satu serial kertas kerja yang diterbitkan oleh Oxford Department of International (ODID), Oxford University pada November 2008. Publik mengenal serial kertas kerja ini sebagai QEH (Queen Elizabeth House) Working Paper Series merujuk pada nama bangunan tempat ODID berkantor.

Nah, dalam tulisannya ini, da Corta menunjukkan bahwa pendekatan Political Economy of Agrarian Change (PEACH) mampu meningkatkan mutu penelitian seputar masalah kemiskinan yang kronis berikut transformasinya di daerah pedesaan. Seturut perjalanannya, studi terhadap kemiskinan kronis ini sendiri sebenarnya bermula dari keprihatinan panjang para peneliti terhadap proses panjang penciptaan kemiskinan dan - yang sekarang dilakukan - adalah terhadap hal-hal yang membuat orang mampu sepenuhnya keluar dari kemiskinan.

Sejatinya, dalam upaya memahami kemiskinan kronis, kepedulian para peneliti tersebut bertemu dengan kepedulian PEACH. Perbedaannya terletak pada teori yang secara metodologis sangat individualistik. Teori ini dikembangkan oleh para peneliti kemiskinan kronis semenjak tersingkirnya PEACH dari arena utama ilmu sosial maupun kebijakan lembaga pembangunan internasional di tahun 1990-an.

Selanjutnya metodologi yang individualistik ini menjadi suatu perdebatan tersendiri. Dan bahkan menjadi arus utama dalam studi-studi kemiskinan. Menghindar dari upaya mengungkap penyebab kemiskinan kronis yang sifatnya struktural dan relasional, para peneliti dalam arus utama ini mengutamakan penyelidikan terhadap proses eksklusi sosial dan ciri-ciri serta pengalaman rakyat menjalani hidup miskin dari generasi ke generasi.

Da Corta selanjutnya menunjukkan keterbatasan dari metode individualisme ini. Menurutnya, pemahaman terhadap perangkap kemiskinan yang disebabkan oleh ketiadaan aset berikut cara mengatasinya merupakan usaha yang penting dan berguna. Namun, "itu cuma sebagian saja dari keseluruhan cerita," lanjutnya pula. Ia kemudian menunjukkan bahwa, "(t)anpa penjelasan-penjelasan yang memasukkan hubungan-hubungan sosial yang sangat tidak adil dimana rakyat miskin terikat, dan situasi ekonomi politik yang luas, analisis demikian sungguh dangkal."

Kontras dengan hal itupula, "studi-studi PEACH mengenai kerentanan dan cara mengatasi kemiskinan sepanjang masa kelaparan massal dan krisis yang terkait dengan musim, menunjukkan bagaimana beragam kelompok elite mengambil keuntungan, atau bahkan merekayasa kesempatan untuk akumulasi kekayaan melalui perampasan aset di masa kelaparan massal dan penumpukan makanan. Ini dilakukan untuk mendorong terjadinya kenaikan harga atau memanfaatkan kesempatan untuk mengukuhkan ikatan-ikatan kerja jangka panjang, yang ke semua itu membuat rakyat miskin semakin rentan dalam menghadapi masa kelaparan massal berikutnya." (da Corta 2010:23)

Da Corta juga menunjukkan bagaimana generasi selanjutnya dari studi-studi mengenai kemiskinan kronis menggunakan perspektif yang lebih baik. Generasi baru ini mulai mempertimbangkan bagaimana kekuasaan bekerja dan apa saja ragam hubungan sosial yang menghalang-rintangi kekuatan untuk mengubah rakyat menjadi miskin. Selain itu mereka juga melihat bagaimana perangkap-perangkap kemiskinan, pendapatan yang rendah dan kerentanan yang tinggi itu dibentuk oleh proses-proses politik, sosial dan kultural. Beberapa peneliti dari generasi ini telah menuliskan laporan-laporan untuk pusat penelitian kemiskinan kronis (Chronic Poverty Research Centre/CPRC) yang dikelola oleh University of Manchester, Manchester, Inggris.

Satu dari berbagai konsep kunci yang diajukan generasi baru studi kemiskinan kronis ini misalnya adalah adverse inclusion and social exclusion (AISE). Menurut evaluasi da Corta, dengan konsep adverse inclusion, para peneliti AISE maju selangkah karena menganjurkan pendekatan yang mengutamakan pada hubungan-hubungan sosial dan transformasinya. Ini sebagaimana dikemukakan oleh penganjur utamanya,

Konsep adverse inclusion ini ... menjaring cara-cara dimana strategi melanjutkan hidup secara lokal dimungkinkan dan dihambat oleh hubungan-hubugan ekonomi, politik dan sosial yang terus menunjukkan pengaruhnya di berbagai ruang dan waktu, hidup dalam periode kerja yang panjang dan dalam siklus tertentu, hidup di ruang lokal hingga global. Hubungan-hubungan ini disetir oleh kekuasaan yang sangat timpang (Hickey dan du Tois 2007, sebagaimana dikutip da Corta 2010:26)

Meski demikian, dalam tulisan ini, da Corta menunjukkan bahwa para pengguna AISE kekuarangna alat analitik untuk menyoroti proses-proses ekonomi politik yang menyebabkan terikatnya rakyat ke dalam proses pasar yang akan membuatnya terperangkap dalam kemiskinan kronis, dan kembali meneguhkan model penjelasan mereka sendiri. Walhasil, mereka tidak mampu untuk sepenuhnya (dan menghindar untuk) menjelaskan sebab-sebab eksternal dari kerentanan dan mengapa rakyat miskin terperangkap dalam kemiskinan.

Sebagai tandingan atas pendekatan metodologis yang individualistik adalah critical realist approach yang terbuka, holistik (mikro dan makro), terdiri dari berbagai hubungan sosial dan lainnya yang saling mengikat dan bergantung satu sama lain (interdependencies), serta sungguh bersifat plural dan melintasi batas-batas bidang ilmu (post-disciplinary).

Da Corta mempromosikan bahwa,
"(k)eterbukaan dari metodologi critical realist sungguh penting untuk analisis kemiskinan karena kerangkanya yang terbuka memungkinkan analisis tidak hanya mengenai bagaimana obyek-obyek studinya itu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan, melainkan juga secara kritis (terbuka pada) penelitian empiris yang melepaskan diri dari perangkap teori yang menyamakan begitu saja kemiskinan dan eksklusi sosial. Karena kerangka penjelasnya tidak lagi tertutup, penelitian empiris dapat menyelidiki kemungkinan bahwa kemiskinan itu adalah hasil dari mengikatkan diri pada proses-proses ekonomi, kemasyarakatan, politik yang tingkatnya meso maupun makro" (da Corta 2010:10).

Pada titik inilah da Corta menunjukkan arti penting dari alat-alat kerja konseptual yang telah dikembangkan dahulu oleh PEACH, seperti: eksploatasi hubungan patron-klien dan kemerosotannya, diferensiasi kelas, akumulasi modal, patronase negara, perubahan hubungan kepemilikan, dan lainnya. Lebih dari itu, da Corta juga menunjukkan bahwa cara pandang yang bersifat karikatural atas PEACH telah membuat para penganjur adverse incorporation ini menutup diri pada konsep-konsep kunci yang telah dikembangkan oleh para peneliti PEACH atas dasar penelitian lapangan (village studies) yang mendalam dan panjang serta debat akademik yang terbuka sepanjang tahun 1970-an, memuncak di tahun 1980-an hingga masa surutnya di akhir tahun 1990-an.

Di bagian akhir dari artikel ini, da Corta menunjukkan pentingnya untuk, tidak ragu-ragu, mengkombinasikan PEACH dengan AISE, dan meninggalkan pendekatan metodologi individualistik serta menggantinya dengan metodologi critical realist. Ia berkesimpulan bahwa,

Meluaskan penelitian kemiskinan kronis melalui penggunaan pendekatan PEACH yang plural memungkinkan suatu analisis kausal yang lebih mendalam. Dan dengan demikian membuka pintu yang lebih terbuka pada rentang pilihan dan kemungkinan perubahan kebijakan yang lebih progresif dan memberdayakan. Sebagai contoh, ketika kemiskinan diteorikan sebagai masalah resiko dan kerentanan belaka, pemecahan yang ditawarkan sering berupa jaminan sosial atau perlindungan sosial; ketika hal itu dipahami sebagai hasil buruk dari mengikatkan diri pada hubungan-hubungan dan kekangan ras, kasta atau gender, maka pemecahannya adalah aksi afirmatif. Namun, apabila kita memahami kemiskinan sebagai suatu masalah yang mengikatkan diri (incorporation) pada cara kerja normal dari pasar dan kapitalisme (the normal workings of markets and of capitalisms), maka kebijakan akan mengacu pada pengaturan atas efek yang memiskinkan dari kapital, dan pemberdayaan melalui kebijakan pro-labour and pro-poor development daripada pro-capital. Itu juga berarti pemeriksaan dan peninjauan ulang (dan kemudian diikuti dengan perundingan ulang) pada perusahaan-perusahaan nasional dan global berkenaan dengan kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan mereka (da Corta 2010:40)

Dinosaurus atau burung Phoenix? Da Corta secara menarik menggunakan dua simbol rujukan untuk memprovokasi pembacanya dalam memahami kedudukan PEACH. Dalam hal ini da Corta mempertanyakan: apakah cocok jika PEACH diibaratkan sebagai seekor dinosaurus yang punah akibat kegagalannya bertahan hidup di ekosistem yang berubah drastis akibat jatuhnya meteor ke bumi. Ataukah, lebih cocok diibaratkan sebagai burung phoenix yang memiliki siklus hidup berjaya hingga mati membakar dirinya sendiri, dan dari abunya muncul kembali generasi phoenix baru. Nah, bagaimana menurut Anda?

Catatan: Lucia da Corta adalah peneliti lepas yang saat ini bekerja untuk Chronic Poverty Research Centre (CPRC) di London dan mengetuai CPRC Comparative Life History Project. Naskah da Corta secara utuh bisa diunduh disini.



Minggu, 07 Maret 2010

Transnasional Agrarian Movements: Confronting Globalization

Diedit oleh Saturnino M. Borras Jr, Marc Edelman, dan Critobal Kay
Diterbitkan pertama kali tahun 2008 oleh Willey-Blackweell, UK
Tebal halaman: 361

Penyumbang Naskah: Noer Fauzi Rachman

Buku ini adalah sebuah bunga rampai. Terdiri dari 12 tulisan dari 18 orang kontributor. Beberapa tulisan dikerjakan berdua atau bertiga. Sebelum menjadi sebuah buku seperti ini, ia adalah special doubled issue dari Journal of Agrarian Change, Volume 8, Issue 2/3 yang terbit pada bulan April 2008

Gerakan agraria transnasional atau transnasional agrarian movements atau yang dalam buku ini disebut singkat dengan TAMs saja adalah sebuah manifestasi dari politik perlawanan agraria di masa kini. Inilah topik utama buku. Para kontributor saling berbagi pemahaman mengenai TAMs dengan metode dan subyek yang sangat beragam baik dalam hal letak geografi, waktu, dan lingkup politik.

Karena itu pula, buku ini bisa disebut sebagai rujukan terkini dan sangat tepat bagi mereka yang tengah melakukan studi mengenai gerakan-gerakan agraria kontemporer di negeri-negeri selatan global south (istilah yang dinilai lebih memadai ketimbang underdeveloped contries, developing countries, ataupun third word countries) Mengapa? Karena di dalamnya memuat sejumlah pertanyaan yang patut dipertimbangkan oleh para peneliti sebelum mulai bekerja. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah:

1. Apa saja ciri-ciri struktur agraria yang merupakan alas dari munculnya (atau tidak munculnya) gerakan-gerakan agraria
2. Apa basis sosial dari gerakan-gerakan agraria yang bisa dikaji lebih dalam. Kelas sosial, kelompok, dan sektor mana yang mereka sungguh-sungguh terwakili, yang diklaim sebagai terwakili, atau yang tidak mereka wakili.
3. Apa saja isu dan tuntutan yang dikedepankan
4. Apa saja isu yang mempersatukan - dan juga yang memecah-belah - gerakan agraria itu serta apa sebabnya.
5. Bagaimana pencapaian dari (wacana dan) kampanye serta aksi-aksi kolektif gerakan itu dari waktu ke waktu dalam mengubah (atau tidak mengubah) struktur agraria sebagaimana yang dicita-citakan.

Sementara bagi yang hendak meneliti gerakan-gerakan agraria transnasional dari balik meja - atau dengan kata lain merujuk pada literatur studi-studi gerakan sosial dan studi-studi agraria, buku ini menyarankan tema-tema seperti:

1. Keterwakilan dan agenda gerakan-gerakan agraria transnasional itu
2. Strategi-strategi politik dan bentuk-bentuk aksi kolektifnya
3. Akibat-akibat yang dihasilkannya, baik dalam membantu partisipannya memahami apa yang dihadapi maupun dalam mempersatukan (atau memecah-belah) para partisipannya itu,
4. Gerakan-gerakan agraria transnasional sebagai arena aksi dari berbagai gerakan agraria nasional atau sub-nasional,
5. Keragaman kelas dari para partisipan maun yang diwakilinya, dan
6. Dinamika dari pembangunan aliansi gerakan-gerakan agraria transnasional itu.

Semua pertanyaan dan tema itu dapat ditemukan pada tulisan pertama yang dikerjakan oleh ketiga editor buku yaitu Saturnino M. Borras Jr, Marc Edelman, dan Cristobal Kay. Ke sebelas tulisan berikutnya adalah contoh tulisan yang diinspirasi (sebagian dari) pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas serta konteks kekinian dari gerakan agraria transnasional.

Salah satu contoh karya yang bisa menjadi rujukan adalah tulisan mengenai mengenai dinamika hubungan yang berubah antara gerakan agraria dan gerakan lingkungan di Indonesia setelah jatuhnya rezim otoritarian Soeharto pada tahun 1998. Tulisan ini dikerjakan oleh Nancy Lee Peluso, Suraya Affif, dan Noer Fauzi Rachman berjudul: “Claiming the Grounds for Reform: Agrarian and Environmental Movements in Indonesia."

Setiap buku punya kisah di balik layar. Demikian pula buku ini yang mendapat kata pengantar dari Henry Bernstein dan Terence J. Byres. Bukan tanpa maksud, penerbitan buku ini sekaligus juga menandai tahun saat Bernstein dan Byres mengundurkan diri dari meja redaksi Journal of Peasant Studies dan Journal of Agrarian Change yang telah mereka gawangi selama 56 tahun. Dalam kata pengantarnya, mereka berdua menuliskan bahwa buku ini adalah sumbangan yang sangat penting dalam rangka memahami gerakan agraria transnasional dalam kondisi globalisasi neoliberal di masa kini.

Untuk sementara memang buku ini belum bisa diperoleh dalam bahasa Indonesia. Namun, harap bersabar karena proses penerjemahannya tengah berlangsung. Dan Sajogyo Institute (SAINS), Bogor yang telah mengantongi ijin penerjemahannya akan segera menerbitkannya.

Jumat, 05 Maret 2010

Peluncuran dan Diskusi Buku Gunawan Wiradi


Satu lagi buku Gunawan Wiradi (GWR) diluncurkan tanggal 4 Maret 2010 lalu di IPB. Judulnya: "Seluk-Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria, dan Penelitian Agraria" diterbitkan oleh STPN (Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional) dan Sajogyo Institute. Dua orang professor sekaligus memberikan kata pengantar. Mereka adalah Prof. Dr. Anton Lucas dan Prof. Dr. Bambang Purwanto.

Masih seperti beberapa bukunya yang lalu, pada dasarnya buku ini merupakan salah satu upaya mendokumentasikan karya-karya GWR yang terserak. Kali ini materi dasarnya adalah karya tulis GWR dari tahun 1981 hingga 2009. Hasilnya adalah buku dengan ketebalan 258 halaman. Menurut penyuntingnya, Mohammad Shohibuddin, dalam Pengantar Penyunting, apa yang ia kerjakan adalah "..menggabungkan/menyambungkan bagian tertentu dari satu tulisan dengan tulisan lain, menghilangkan pengulangan-pengulangan yang terjadi, membuat kalimat penghubung antar paragraf manakala diperlukan - sedemikian rupa sehingga menjadi susunan pembahasan yang runut dan terstruktur." (hal. xxix)

Peluncuran dan diskusi buku dilakukan di Ruang Sidang Senat Akademik, Gedung Andi Hakim Nasution, Kampus IPB Dramaga. Pembicara dalam diskusi buku adalah Dr. Satyawan Sunito (dosen IPB) dan Gunawan dari IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice).

Sunito berpendapat buku ini akan berguna bagi mereka yang ingin masuk dalam studi agraria karena dengan bahasa yang lugas dan enak dibaca - bahkan diselip humor di sana-sini - akan memudahkan pembaca untuk membaca cepat sekaligus mendapatkan ranah yang luas.

Sunito juga mengemukakan dua kritiknya yang, uniknya, langsung dia komentari sendiri. Pertama, adanya ketidakseimbangan kerincian pada masing-masing bab. Menurut Sunito ini adalah suatu hal yang sebenarnya tidak bisa dielakkan lagi karena bahan mentah buku berupa artikel yang beragam yang ditulis dengan motif beragam pula. Sunito menyebut bahwa dalam kondisi inipula penyunting harus bekerja. Kritik kedua adalah adanya penekanan yang terlalu besar terhadap permasalahan di daerah Jawa. Dan lagi-lagi Sunito memberikan komentar sendiri bahwa ini pun tak bisa dihindari karena memang pengalaman GWR mayoritas di Jawa.

Atas kritik Sunito ini GWR memberikan tanggapan. Pertama, adanya ketidakseimbangan pada bab dikarenakan beberapa hari menjelang naik cetak, GWR masih memberikan beberapa tambahan yang tentunya akan memberikan kesan berbeda dari yang semula sudah dikerjakan oleh penyunting.

Kedua, mengenai Jawa sentris itu memang sudah lama pula dirasakan selain oleh GWR. Ia mengaku sudah didesak oleh Prof Sajogya untuk segera menerbitkan buku mengenai permasalahan agraria di luar Jawa. Buku ini harapannya akan menjadi jilid dua dari buku berjudul "Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa" yang disunting oleh S.M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi. Buku ini pertama kali terbit tahun 1984 dan dicetak ulang pada tahun 2008 dengan penambahan beberapa artikel. "Saat ini saya masih terus mengumpulkan materi untuk pembuatan buku itu," ujar GWR.

Sementara pembicara yang lain yaitu Gunawan, berpendapat bahwa hingga kini reforma agraria belum juga terwujud. Ia menduga penerbitan buku oleh STPN ini memiliki maksud agar kelak isi buku ini bisa masuk ke relung-relung kekuasaan dan melahirkan pejabat yang pro reforma agraria.

Secara fisik, tampilan sampul depan buku ini cukup menarik. Sayangnya terlalu menonjolkan gambar sehingga keterangan yang sifatnya informatif seolah terlampaui. Misalnya pemilihan font pada nama Gunawan Wiradi dan Moh. Shohibuddin seharusnya lebih besar ketimbang font para pemberi pengantar. Entah mengapa, logo penerbit juga nyaris tidak terlihat di sudut kiri dan kanan bawah.

O ya, kertas yang terlihat pada foto buku di atas berisi daftar ralat isi buku. Total ada 13 kekeliruan yang dicoba untuk diperbaiki. Namun, terlepas dari semua kekurangan fisik yang barangkali mengurangi kenyamanan membaca, buku ini tetaplah merupakan satu sumbangan penting yang tak boleh ditolak dalam studi agraria.

Nah, Anda ingin tahu lebih detilnya? Silakan cari dan baca bukunya kemudian segera kirimkan ikhtisarnya ke studiagraria@gmail.com. Dan, mari kita lanjutkan diskusi mengenai karya GWR di sini.

Buku baru Henry Bernstein


HENRY BERNSTEIN, salah satu tokoh dalam studi agraria dari SOAS (School of Oriental and African Studies) - London, sedang menulis buku. Untuk sementara ini ia memberinya judul "Class Dynamics of Agrarian Change". Kelak, buku ini akan diterbitkan oleh Pluto and University of Michigan Press.

Tanggal 5 Maret 2010 hari ini, Bersntein melakukan presentasi mengenai isi bukunya di the Agrarian Studies Colloquium, Yale University. Bagi kita yang tidak bisa hadir di sana, bisa menikmati naskah presentasinya yang berjudul "Class Dynamics of Agrarian Change: Writing a ‘Little Book on a Big Idea’" di sini.

Senin, 01 Maret 2010

Li, Tania. 2002. “Local Histories, Global Markets: Cocoa and Class in Upland Sulawesi”. Development and Change 33(3):415-437.



Penyumbang Naskah: Andree Eka Dinata Putra

Kasus pemindahan hak kepemilikan tanah dari penduduk asli ke pihak luar komunitas lokal seperti perusahaan, pemerintah atau pendatang merupakan gejala umum di Indonesia. Kasus yang terjadi di dataran tinggi Sulawesi sebagaimana dipaparkan oleh Tania Li dalam tulisannya ini merupakan kasus yang penting untuk dipelajari. Tidak ada perusahaan besar yang merebut hak rakyat atas tanah, atau penyerobotan tanah oleh pihak swasta sebagaimana yang banyak terjadi dalam kasus-kasus konflik agraria. Yang ada adalah perubahan penggunaan tanah secara gradual oleh masyarakat, yang kemudian mengakibatkan terjadinya diferensiasi akses terhadap tanah dan akhirnya menghilangkan hak kepemilikan masyarakat asal itu terhadap tanahnya.

Tulisan Tania Li memberikan pemahaman bahwa transformasi agraria yang berdampak negatif dapat terjadi melalui sistem pertanian skala kecil (smallholder agriculture) yang umumnya dipandang menguntungkan petani.

Pedesaan di dataran tinggi Indonesia dalam berbagai penelitian umumnya selalu dihubungkan dengan permasalahan perbedaan kultur dan kebudayaan, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas.

Dalam tulisan ini, Tania Li memaparkan bahwa dimensi permasalahan pada daerah dataran tinggi sebenarnya jauh lebih kompleks. Di dalamnya tercakup diferensiasi akses terhadap tanah pada berbagai kelas sosial yang ada akibat proses perubahan penggunaan tanah yang secara gradual mengubah peta kepemilikan tanah. Proses ini membawa dampak negatif yang di antaranya adalah terputusnya akses masyarakat asal yang secara adat memiliki hak penguasaan mula-mula atas tanah itu. Tania Li memaparkan kasus diferensiasi akses terhadap tanah di dua daerah di dataran tinggi Sulawesi yaitu Lauje dan daerah sekitar Taman Nasional Lore Lindu dengan menggunakan pendekatan sejarah atas penggunaan tanah.

Transformasi agraria di kedua daerah ini terjadi melalui media pertanian coklat skala kecil yang mengalami peningkatan luasan secara tajam di tahun 90-an. Proses transformasi agraria di kedua daerah ini terjadi dalam alur yang berbeda tetapi akhirnya berujung pada kondisi yang sama yaitu hilangnya akses masyarakat asal terhadap tanah.

Proses transformasi agraria di daerah Lauje terjadi dalam proses panjang selama bertahun-tahun (Gambar 1). Tanah di dalam kawasan tersebut telah lama dikuasai secara adat melalui pembukaan tanah yang dilakukan oleh para pionir pembuka hutan dari suku Lauje. Tanah yang dibuka kemudian digunakan dalam pertanian ladang berpindah. Tanah tersebut secara adat dikuasai dan diwariskan kepada ahli waris dari para pionir tersebut. Dalam prosesnya, para ahli waris tidak melakukan pembagian penguasaan atas tanah sehingga akhirnya tanah dikelola secara kolektif. Pengusahaan tanah dilakukan oleh keluarga ahli waris atau keluarga lain yang diberikan izin untuk bercocok tanam di atas tanah tersebut.

Pada saat tanaman coklat diperkenalkan di daerah ini, terjadi perubahan secara drastis. Harga coklat yang sangat tinggi di pasar internasional mengundang para petani di daerah tersebut untuk mulai menanam coklat di kebunnya. Secara sederhana, praktik ini menghentikan siklus pertanian ladang berpindah karena tidak mungkin membuka tanah baru dengan menebang tanaman coklat yang bernilai tinggi. Apa yang terjadi kemudian adalah tiga proses transformasi agraria yang berujung pada diferensiasi akses petani lokal terhadap tanah.

Ketiga proses tersebut adalah:

1. Privatisasi tanah oleh petani non ahli waris. Bayangan keuntungan dari pertanian coklat mengundang para petani yang sebenarnya tidak memiliki hak adat atas tanah untuk menanam tanaman coklat di kebunnya. Dalam pertanahan, perilaku ini menghentikan siklus ladang berpindah yang akhirnya berakhir dengan kondisi sebidang tanah dikuasai oleh satu orang saja. Situasi ini berjalan dengan atau atas ijin dari para ahli waris yang secara adat menguasai tanah tersebut. Kondisi ini berlangsung terutama karena sulitnya mebuktikan batas kepemilikan dari seorang ahli waris terhadap tanah yang dibuka oleh nenek moyangnya.

2. Tanah diperlakukan sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Proses privatisasi tanah selanjutnya adalah dimulainya sistem jual beli terhadap tanah. Petani yang membutuhkan modal atau terdesak oleh kebutuhan tertentu akan menjual tanahnya untuk mendapatkan uang. Secara bertahap, ini menyebabkan terjadinya akumulasi penguasaan tanah di tangan beberapa orang saja. Petani yang sebelumnya memiliki tanah kemudian bekerja sebagai buruh upahan di tanah yang semula dimilikinya.

3. Akumulasi tanah dan perpindahan kepemilikan. Akumulasi tanah yang terjadi kenudian membuka pintu bagi investor dari luar masyarakat adat untuk melakukan pembelian tanah yang telah ditanami coklat. Perlahan namun pasti hal ini berlangsung hingga membuat penguasaan tanah di Lauje berada di tangan orang-orang yang sebenarnya berada di luar kelompok masyarakat adat Lauje. Inilah yang menimbulkan terjadinya diferensiasi akses tanah. Masyarakat adat yang semula memiliki hak atas tanah tersebut kini berada pada kondisi tak bertanah dan harus rela melihat kemajuan yang diperoleh oleh masyarakat luar dari hasil tanaman coklat.

Transformasi agraria di daerah perbatasan taman nasional Lore Lindu terjadi dengan alur yang berbeda dengan apa yang terjadi di Lauje. Secara umum, transformasi agraria di Lauje terjadi akibat proses perubahan penggunaan tanah yang dilakukan oleh petani sendiri. Di Lindu, transformasi agraria terjadi akibat pengaruh dari luar, dalam hal ini pemerintah dan pendatang dari Bugis. Secara umum proses transformasi agraria di daerah ini ditunjukkan oleh gambar 2.

Sebagaimana yang terjadi di daerah Lauje, para pionir di daerah Lindu membuka tanah dan melakukan pertanian ladang berpindah selama berpuluh-puluh tahun. Di masa pemerintahan kolonial Belanda, masyarakat di daerah ini mengalami proses relokasi pemukiman ke daerah dataran rendah yang lebih mudah diakses. Perpindahan ini menjauhkan para petani dari tanah yang secara adat menjadi haknya.

Dengan demikian, meski secara ekonomi petani tetap mengusahakan peladangan di daerah Lindu, namun secara fisik mereka terputus dari tanahnya.

Di masa pemerintahan orde baru, sebagian tanah masyarakat Lindu dimasukkan kedalam area Taman Nasional Lore Lindu karena dianggap memiliki fungsi perlindunga keanekaragaman hayati yang tinggi. Lepas dari benar atau tidaknya tindakan pemerintah, kondisi ini menyebabkan adanya ketidakpastian hak atas tanah di kawasan Lindu. Ketidakpastian tersebut bertambah parah dengan adanya permintaan tanah dalam jumlah besar oleh pendatang dari Bugis untuk membuka perkebunan coklat.

Sementara itu, di satu sisi keadaan ini dimanfaatkan oleh pemerintah (para kepala desa) untuk menjual tanah yang statusnya tidak pasti karena berada dalam kawasan taman nasional. Petani yang masih memiliki kepastian akan hak atas tanahnya pun banyak yang memilih untuk menjual tanahnya kepada pendatang dari Bugis. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa jika tidak dijual mungkin saja tanahnya diklaim oleh pemerintah sebagai wilayah taman nasional.

Hal-hal seperti tersebut di atas itulah yang menyebabkan akumulasi tanah yang sangat besar kemudian berada di tangan para pendatang dari Bugis. Akibatnya, kondisi akhir di daerah Lindu pun tak jauh berbeda dengan di daerah Lauje: masyarakat lokal terputus dari tanah yang secara adat menjadi haknya.


Gambar 1. Proses transformasi agraria di daerah Lauje, Sulawesi Tengah (Klik gambar untuk melihat lebih jelas)




Gambar 2. Proses transformasi agraria di perbatasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah (Klik gambar untuk melihat lebih jelas)

Pedoman Menulis Ikhtisar Studi Agraria

Sudah selesai membaca? Jangan tunda untuk menuliskan kembali apa isi bacaan Anda tadi. Tambahi dengan pujian, kritik, atau saran yang ada di pikiran Anda. Inilah babak pertama yang akan mengawali segalanya: bagian terpenting dalam proses kreatif penulisan sebuah ikhtisar.

Jangan menunda suatu pekerjaan, kata orang bijak. Dalam banyak kasus, dan demikian pula halnya dengan yang kali ini, nasehat itu sungguh benar. Begitu selesai membaca suatu buku, bab dalam suatu buku, artikel dalam suatu jurnal akademik, atau suatu laporan penelitian, kertas kerja, jangan tunda untuk mulai menuliskan butir-butir iktisar, pujian dan kritik atas atas karya tulis yang baru selesai anda baca itu. Inilah babak kreatif yang istimewa. Saat emosi dan pikiran sepanjang membaca naskah tadi langsung tertuang selagi mereka masih hidup dalam diri Anda.

Apakah sudah selesai? Tentu saja belum. Diamkanlah saja apa yang telah Anda tulis. Seberapa lama? Tak ada waktu yang pasti. Bisa saja segera setelah Anda keluar ruangan, minum kopi barang seteguk atau dua teguk, menghirup udara segar, kemudian kembali lagi. Jika Anda tipe orang sibuk, bisa saja tulisan ringkas itu Anda diamkan beberapa hari. Asal, ya jangan sampai hilang saja. Ingat selalu bahwa Anda akan kembali lagi padanya.

Nah, setelah terbentang jarak waktu yang cukup antara saat Anda menuliskan butir-butir ikhtisar, pujian dan kritik itu dengan saat Anda putuskan untuk kunjungi lagi tulisan itu, ikutilah pedoman umum berikut ini:

Tahap Pertama: Lihat kembali isi tulisan
Untuk mempermudah, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini sambil meninjau kembali tulisan Anda:

1. Apakah Anda tahu atau memiliki informasi mengenai latar belakang penulis karya tersebut ? Jikalau tidak pun tak mengapa, meski demikian informasi mengenai penulis akan membantu menelusuri argumentasi yang dikemukakan. Semakin banyak informasi yang diperoleh, semakin mudah untuk memahami pemikiran penulis.

2. Apakah Anda telah mengemukakan kembali pokok-pokok argumen dari karya itu, dan cara bagaimana penulis sampai pada argumen-argumen pokok itu? Apa saja yang ditampilkan penulis demi menyokong argumen-argumen pokoknya?

3. Sudahkah Anda secara eksplisit mengemukakan kerangka apa yang dipergunakan untuk menilai naskah ini. Ingat, jangan menilai naskah ini di luar kodrat dan porsinya. Ibaratnya, jangan mengharapkan tikus bisa terbang, atau kupu-kupu bisa berenang. Ini diperlukan agar pembaca mengetahui bagaimana cara Anda melakukan penilaian. Penilaian dengan menuliskan pengharapan yang terlalu tinggi bisa jadi malah memperburuk penilaian pembaca terhadap Anda bukannya sebaliknya.

Nah, bagaimana? Setelah Anda utak-atik kembali tulisan dan sudah merasa puas dengan hasilnya, kini kita beranjak ke tahap berikutnya.

Tahap Kedua: Sesuaikan teknis penulisan
Harap diingat bahwa panjang ikhtisar yang dapat diterima berkisar antara 1000 hingga 1500 kata. Ukuran panjang naskah ini dipilih dengan pertimbangan memungkinkan pembaca menuntaskan membaca sebuah ikhtisar pada saat itu juga.

Setelah memiliki gambaran mengenai panjang pendeknya tulisan Anda kelak, kini permak kembali tulisan Anda agar memenuhi dengan ketentuan situs Agraria Dotkom.
sebagai berikut:

1. Judul. Lengkapi dengan kutipan bibliografik dari karya yang ditinjau (judul lengkap, pengarang, tempat penerbit, penerbit, tahun penerbitan, edisi-jika ada, dan jumlah halaman). Jika karya ilmiah yang diambil bagian dari satu buku, tuliskan judul bukunya. Jangan lupa pula untuk memberi keterangan jika karya ilmiah itu belum diterbitkan atau akan diterbitkan dalam waktu dekat.

2. Bagian pertama. Berisi ringkasan isi buku seperti: latarbelakang, permasalahan yang hendak dibahas serta yang terpenting adalah apa argumen utama yang dikemukakan.

3. Bagian kedua. Mengenai bagaimana penulis sampai pada argumen tersebut. Kemukakan juga bukti-bukti pendukung yang dikumpulkan penulis dan bagaimana cara menampilkannya.

4. Bagian ketiga. Berisi penilaian Anda terhadap penulis: apakah sudah berhasil mencapai tujuannya penulisan atau belum.

5. Bagian Kelima berisi mengenai kekuatan dan kelemahan dari karya ilmiah yang ditinjau.

Tahap Ketiga: Membersihkan kata dan kalimat
Apa ini? Ini tugas sepele namun penting. Bisa saja Anda orang yang sangat pintar mengemukakan argumentasi dan ide-ide baru, namun menuliskannya ternyata tak semudah memikirkannya. Artinya biarpun gagasannya bagus dan jernih, tapi tulisannya masih kotor. Ini dalam artian yang sebenarnya lho. Yang paling sering terjadi karena salah ketik atau salah pencet. Tulisan yang jorok bagaimanapun juga mengganggu kenikmatan pembaca.

Berikut adalah kesalahan yang sering terjadi:
1. Kurang satu atau dua huruf hingga bisa saja merubah arti kata.

2. Terjadi pengulangan kata (kasusnya biasanya karena menghapus kalimat kemudian ketika hendak menuliskannya lagi masih ada satu atau dua kata tercecer)

3. Tidak bisa membedakan antara “di” sebagai kata depan dan “di” sebagai awalan. Misalnya: di depan (“di” sebagai kata depan), dipukul (“di” sebagai awalan). Membedakannya mudah kok. Sebagai kata depan, “di” menunjukkan suatu tempat, sementara sebagai awalan, “di” menjadi kata kerja.

4. Tidak meletakkan titik dan koma dengan benar. Baca kembali kalimat demi kalimat yang Anda buat. Coba Anda taati sendiri pemakaian titik dan koma yang ada. Intinya, jika koma berarti Anda harus berhenti membaca sebentar untuk mengambil nafas atau memahami isinya. Jika sampai pada titik, barulah Anda bisa berhenti agak lama. Nah, jika sudah membaca sampai panjaaaaaaang sekali tapi tidak ada jeda di kalimat tersebut tentunya Anda sulit bernafas bukan? Begitu juga dengan pembaca yang membaca tulisan Anda. Oleh karenanya, letakkan titik dan koma pada tempatnya agar tulisan Anda enak dibaca dan mudah dipahami.

5. Perhatikan kalimat yang menggunakan kata “yang” di awalnya. Dalam kasus ini penulis merasa perlu memberikan penjelasan detil kepada pembaca dengan menggunakan kata “yang” sampai beberapa kali. Tapi, yang terjadi sebenarnya bukannya memberi penjelasan tapi menambah kerumitan karena pembaca harus berpikir dua tiga kali untuk memahami fungsi “yang.” Misalnya pada contoh berikut: Ani mengenakan baju yang berwarna biru dari neneknya yang sedang bahagia pada hari Minggu yang ceria beberapa hari yang lalu. Cukup membingungkan bukan? Solusinya, kurangi pemakaian “yang”, hindari penjelasan yang terlalu detil dan tidak penting. Namun, jika memang penjelasan detil tak bisa dielakkan lagi, ya penggal-penggal saja kalimat menjadi lebih sederhana dan lebih mudah dipahami.

Dan, sebagaimana sebuah nasehat bijak: “Mulailah dengan menuliskannya untuk diri sendiri, selanjutnya sebarkanlah ke sesama.” Selamat Menulis!

Mengenai Ikhtisar Studi Agraria

Apa itu Ikhtisar Studi Agraria?
Sebuah ikhtisar pada hakekatnya (seturut KBBI) adalah suatu ringkasan atau sebuah pemandangan ringkas (yang penting-penting saja). Tanpa mengurangi bobot dari keseluruhan karya yang disajikan, keberadaan sebuah ikhtisar penting untuk melakukan pemahaman terhadap argumentasi yang dikemukakan dalam sebuah karya.

Ikthisar Studi Agraria (atau yang selanjutnya disebut ISA saja) menurut definisi kami kemudian adalah suatu pemandangan ringkas (atau yang kemudian akan disebut sebagai suatu tinjauan) terhadap karya-karya ilmiah tentang studi agraria baik yang berupa buku, bab dalam suatu buku, hasil penelitian, artikel dalam jurnal akademik, laporan studi, kertas kerja – yang sudah ataupun belum diterbitkan.

Bagaimana kedudukan ikhtisar dalam dunia akademik?
Adalah suatu kelaziman dalam dunia akademik bahwa mahasiswa dan dosen – bahkan bagi yang sudah mencapai tingkat profesor pun – membuat atau menuliskan sebuah ikhtisar dari suatu karya atau buku, yang biasa dikenal sebagai tinjauan buku (book review). Tujuan utamanya adalah agar para intelektual di dunia akademis itu selalu mengikuti perkembangan terbaru yang muncul seturut studi yang tengah ditekuninya. Membuat tinjauan buku bukan sekadar membuat ringkasan isi buku, melainkan juga melakukan analisis, pendapat, dan kritik (jika ada) terhadap argumentasi yang dikemukakan.

Dalam situs ini, sebagaimana sudah tersebut dalam definisi sebelumnya, ikhtisar yang dimaksud bukan saja suatu tinjauan terhadap sebuah buku melainkan juga karya ilmiah mengenai studi agraria dalam berbagai bentuk lainnya.

Penyebarluasan ikhtisar adalah tahap berikutnya yang sebaiknya dilakukan oleh penulis. Tujuannya pertama adalah menyebarluaskan kepada publik mengenai keberadaan karya tersebut (sifatnya adalah memberitakan/news). Kedua, mempermudah para peminat studi lainnya dalam mengikuti perkembangan pengetahuan. Ketiga, untuk mengasah kemampuan analisis dengan mengemukakan pandangan atau kritik terhadap hasil karya tersebut. Keempat, jika umpan dari penulis ikhtisar kemudian mendapatkan tanggapan dari publik maka akan tercipta suatu forum diskusi yang secara tidak langsung menjadi media untuk mengasah kemampuan masing-masing pesertanya.

Dalam dunia akademik, kemampuan pemahaman, analisis, kritis dan selalu mengikuti perkembangan yang terjadi adalah suatu keharusan. Nah, dikarenakan apa yang akan kita bicarakan dalam situs ini adalah studi agraria, dari penjelasan tersebut bisa dikemukakan bahwa keberadaan ikhtisar - yang dalam hal ini yang dimaksud adalah ISA - dalam studi agraria secara keseluruhan adalah penting adanya.

Siapa saja yang bisa menulis ISA di situs Agraria Dotkom?
Tak dipungkiri bahwa untuk menuliskan suatu tinjauan terhadap suatu karya ilmiah memerlukan kemampuan pemahaman dan analisis tertentu. Namun, kami berpendapat bahwa kegiatan ini bukanlah melulu monopoli mahasiswa dan dosen. Siapa saja, asalkan berminat untuk menekuni suatu studi tertentu sangat dianjurkan untuk selalu mengikuti perkembangan yang terjadi terkait dengan studi tersebut. Demikian pula dengan penulisan ISA. Para penggiat lapangan atau pecinta studi agraria dari kalangan non-akademis bisa saja melakukannya. Kami yakin, keduanya pasti memiliki pendapat tersendiri terhadap suatu karya berdasarkan pengalaman empirik maupun teoritik yang diperolehnya secara individual.

Dan karena itupula, kami memprakarsai penyebarluasan ISA melalui situs Agraria Dotkom. Kegiatan ini bukan hanya untuk membantu para peminat studi agraria mengikuti karya-karya terbaru dan penting untuk dipahami dalam studi agraria, namun bisa juga karya lama lainnya yang juga tak kalah pentingnya.

Lebih dari itupula, kami ingin mengajak para pecinta studi agraria untuk terus membiasakan diri dalam mengkaji karya-karya studi yang lahir dari waktu-ke-waktu. Kebiasaan ini adalah dasar yang kokoh bagi pemunculan pemikiran kritis dalam dunia akademik.

Kami yakin jika kebiasaan ini diimbangi dengan ketekunan dan kemauan untuk menempa diri secara terus-menerus, akan lahir generasi baru studi agraria di Indonesia yang berakar dalam dan sanggup menghadapi kompleksitas perubahan agraria di abad dua puluh satu ini.

Undangan
Mengawali pengaktifan situs Agraria Dotkom ini, kami mengundang teman-teman yang berminat pada pengembangan studi agraria untuk membuat ISA. Kami sangat menganjurkan agar penulis ikhtisar menunjukkan arti penting dari karya yang dikaji itu. Mengenai pedoman pembuatan ISA untuk situs Agraria Dotkom ini dapat dibaca pada tulisan berikutnya.

Jika ISA sudah selesai ditulis, silakan Anda mengirimkannya ke email: studiagraria@gmail.com. Selain memuatnya dalam situs Agraria Dotkom, kami juga akan menyebarluaskan naskah itu melalui E-group Studi Agraria.

Untuk saat ini, tidak ada honorarium untuk naskah yang dikirimkan. Naskah yang dikirimkan akan terlebih dahulu dibaca oleh moderator dan diedit bila dianggap perlu (dengan catatan, editing hanya bersifat redaksional saja).

Selamat Datang!

Mengikuti perkembangan sebuah studi tertentu melalui karya-karya ilmiah bisa dilakukan dengan membaca jurnal-jurnal akademik. Tiap jurnal akademik memiliki spesifikasi bidang studi tertentu, dan dengan demikian menjadi bagian tak terpisah dari jaringan komunitas bidang studi tertentu pula.

Misalnya saja, mereka yang secara umum tertarik dalam studi pembangunan, akan terus mengikuti Journal of Development and Change, Progress in Development Studies, World Development, Development in Practice, dan sebagainya. Sementara mereka yang secara khusus menjadi warga dalam bidang multidisiplin geografi manusia akan terus membaca terbitan-terbitan dari Progress in Human Geography, Antipode – A Radical Journal of Geography, Singapore Journal of Tropical Geography, Geography Compass, dan seterusnya. Untuk bidang studi yang lebih khusus, seseorang yang menjadi warga dari komunitas studi agraria tidak akan melewatkan diri untuk terus mengikuti terbitan Journal of Peasant Studies dan Journal of Agraria Change – untuk sekedar menyebut dua tonggak jurnal studi agraria yang tersohor.

Jika mencermati, masing-masing jurnal yang tadi telah disebut memiliki rubrik tinjauan buku (book review). Apa fungsinya? Membaca tinjauan buku sejatinya adalah upaya memelihara kewargaan diri dalam disiplin atau bidang studi tertentu, tidak peduli apakah seseorang bekerja di dalam atau di luar dunia akademik. Dengan membaca tinjauan buku, pembaca mengetahui terlebih dahulu isi suatu naskah buku dan evaluasi atas sumbangan yang dibuat oleh buku itu. Bila tertarik oleh suatu karya tinjauan buku tertentu, maka ia akan tergerak untuk mencari dan membaca naskah buku tersebut. Nah, bila ini yang terjadi, tujuan dari tinjauan buku itu telah tercapai.

Di sisi lain, lazimnya, para penulis buku mengandalkan tinjauan buku yang dipublikasi oleh jurnal-jurnal akademik untuk mengetahui seberapa baik daya terima, apresiasi dan kritik terhadap buku yang baru dipublikasi itu. Penerbit-penerbit umumnya memberikan layanan khusus, seperti mengirimkan buku tertentu secara gratis, pada orang-orang yang berminat membuat tinjauan buku atas buku itu.

Koran atau majalah mingguan/bulanan juga memiliki rubrik khusus yang di Indonesia biasa disebut Resensi Buku atau Tinjauan Buku. Rubrik ini tidak terikat dalam suatu bidang studi tertentu, melainkan untuk buku-buku yang menurut penilaian redaksi menarik minat pembaca.

Di Amerika, koran terkenal yang mengkhususkan pada tinjauan buku adalah The New York Review of Books. Sayang, di Indonesia sendiri hingga saat ini belum ada lagi media yang memfokuskan pada tinjauan buku. Sekitiar tahun 1980-an media seperti ini pernah ada. Namanya Optimis – buletin Bulanan Himpunan Masyarakat Pencinta Buku (Himapbu). Optimis diterbitkan oleh Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional (Leppenas) dan ditujukan sebagai media informasi bagi anggota Himapbu mengenai perbukuan, dalam rangka mengembangkan minat baca masyarakat.

Kelangkaan media yang memfokuskan pada tinjauan buku ini memicu kami untuk menerbitkan situs Agraria Dotkom dengan spesifikasi pada karya ilmiah tentang studi agraria. Meski demikian, untuk membuka peluang mengikuti perkembangan studi agraria lebih lebar lagi, dalam situs Agraria Dotkom ini suatu tinjauan tak hanya dibuat untuk mengkaji isi buku melainkan juga karya ilmiah dalam beragam bentuk lainnya.

Sementara itu, tulisan-tulisan yang sifatnya informatif dan memberitakan (news) akan ditampilkan untuk tujuan mendukung, menambah pengetahuan dan mengikuti perkembangan dalam studi agraria. Ini seperti misalnya definisi istilah dalam studi agraria, perkembangan metoda penyebarluasan (pengajaran) studi agraria, biografi ringkas tokoh agraria ataupun topik-topik terkini lain yang tengah ramai dibicarakan.

Kami akan memulai dengan memperkenalkan mengenai apa itu Ikhtisar Studi Agraria kepada Anda. Selamat menikmati dan silakan berpartisipasi.