Anda sudah selesai membaca sebuah karya tentang studi agraria? Tuliskan kembali ringkasan bacaan Anda dan kirimkan ke : studiagraria@gmail.com. Kami akan memuatnya di situs ini. Dan, mari kita membicarakannya.

Jumat, 28 Januari 2011

LAND REFORM LOKAL A LA NGANDAGAN: Inovasi Sistem Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964

Penyumbang naskah: Ahmad Nashih Luthfi

Penulis: Moh. Shohibuddin dan Ahmad Nashih Luthfi
Editor: Oloan Sitorus
Tahun terbit: Desember 2010
Penerbit: STPN dan Sajogyo Institute
Tebal: 186 hlm



Buku ini merupakan hasil studi “revisit” atas kasus inisiatif land reform lokal di desa Ngandagan, sebuah desa di Jawa Tengah, yang terjadi   pada tahun 1947-1964. Penulis mendiskusikan profil land reform inisiatif lokal tersebut dan mencoba mendalami proses diferensiasi agraria yang terjadi sebagai konteks krisis agraria yang berlangsung. Pelaksanaan land reform di Ngandagan membawa dampak secara sosial-ekonomi yang cukup signifikan terhadap struktur sosio-agraria setempat, serta konfigurasi politik dan keagamaan.

Pelaksanaan land reform inisiatif lokal yang terjadi di Ngandagan dijalankan dengan cara melakukan perubahan sistem kepemilikan, peruntukan, dan pemanfaatan tanah serta perubahan relasi ketenagakerjaan.

Kebijakan land reform itu mengharuskan semua pemilik tanah kulian menyisihkan 90 ubin dari setiap unit tanah kulian yang dikuasainya. Hasil penyisihan ini kemudian dialokasikan untuk sawah buruhan yang dikelola langsung oleh desa untuk diatur pembagiannya di antara warga desa yang tidak memiliki tanah.

Ukuran standar baru unit sawah buruhan ditetapkan seluas 45 ubin, yakni separoh dari ukuran sebelumnya  (90 ubin), sehingga jumlah penerima potensial dari kebijakan redistribusi tanah bisa diperluas. Inilah ukuran batas minimum versi lokal Ngandagan.

Pelaksanaan itu juga dipadukan dengan kebijakan perluasan tanah pertanian (ekstensifikasi) dengan memanfaatkan lahan kering berstatus abseente seluas 11 hektar yang ada di ujung desa. Dihasilkan pula sistem baru berupa skema pembayaran hutang hari kerja di lahan kering yang bermakna sebagai pertukaran tenaga kerja.

Kebijakan desa Ngandagan itu secara sadar diarahkan untuk meruntuhkan basis feodalisme agraris di desa, yakni pola hubungan patronase yang dibangun oleh petani kuli baku dengan buruh kuli-nya. Redistribusi tanah dilakukan tidak seperti pada masa tanam paksa, yakni dalam rangka penyediaan tanah dan mobilisasi tenaga untuk produksi tanaman ekspor, namun sebaliknya secara sadar diarahkan untuk mengoreksi ketimpangan penguasaan tanah. Hal demikian tidak dapat berlangsung tanpa kepemimpinan kuat seorang lurah bernama Soemotirto yang dinilai legendaris.

Selain land reform, juga ditekankan kembali norma hukum adat yang melarang pelepasan tanah, baik melalui penjualan, penyewaan maupun penggadaiannya kepada orang lain. Semua bentuk transaksi tanah ini dilarang keras baik terhadap penerima sawah buruhan yang memang hanya memiliki hak garap maupun terhadap petani kuli baku sendiri selaku pemilik tanah.

Kebijakan tersebut mampu mencegah kehilangan tanahnya secuil demi secuil (peacemeal dispossession), suatu kondisi yang pernah dialami warga Ngandagan sebelum pelaksanaan land reform. Inovasi baru dalam hubungan produksi diciptakan dalam suatu mekanisme tukar menukar tenaga kerja di antara warga dalam mengerjakan berbagai tahap produksi pertanian. Mekanisme ini disebut sebagai grojogan. Dengan sistem ini semua warga tanpa terkecuali, termasuk pamong desa, akan bekerja di lahan pertanian milik tetangganya. Kultur feodalisme di pedesaan yang barbasis pada penguasaan tanah diruntuhkan melalui mekanisme semacam ini.

Kebijakan agraria desa Ngandagan bukannya tanpa halangan. Ketika Soemotirto melakukan kebijakan konsolidasi tanah pada tahun 1963, yakni melakukan penataan permukiman warganya, maka muncul pertentangan. Ia diperkarakan ke pengadilan kabupaten dengan tuduhan pengambilan tanah tanpa seizin pemiliknya. Posisinya lemah, sebab berbeda dengan penataan terhadap tanah sawah dan lahan kering, terhadap penataan tanah pekarangan dan rumah ini ia tidak memiliki legitimasi kultural dan pembenar dari hukum adat.

Relasi asosiatif politik warga Ngandagan pada Partai Komunis Indonesia dalam pemilu 1955, sebenarnya lebih didahului karena keberhasilan pelaksanaan land reform 1947 dan orientasi pemimpinnya, yakni lurah Soemotrito, daripada sebaliknya. Sampai dengan awal tahun 1960-an, Ngandagan dikenal sebagai “desa RRT di kandang banteng”, artinya PKI di tengah-tengah pengikut PNI. Akan tetapi dengan adanya proses peradilan itu, maka konflik politik di Ngandagan yang semula hanya menyangkut soal dukungan atau penolakan atas redistribusi tanah pekulen dan melibatkan antar elit di lingkup desa, kemudian berkembang menjadi bagian dari kontestasi ideologi di daerah (kabupaten) yang melibatkan unsur politik kepartaian yang bahkan berakibat pada konversi agama.

Meskipun diperkarakannya Soemotrito berakibat pada berakhirnya kekuasaan dia sebagai lurah, sebuah politik perlawanan masih ia lakukan sebelum lengser. Ia memerintahkan warganya yang menjadi pengikut PKI untuk pindah ke partai lain. Sebagian besar warga mengikuti ke mana arah angin berhembus dan lantas memutuskan memilih PNI. Namun Soemotirto sendiri, bersama para pengikutnya, menyatakan sikap anti-PNI mereka dengan memilih Partai Katolik, meskipun dengan risiko menjadi kelompok minoritas agama. Konversi agama ini terjadi sekitar setahun sebelum peristiwa “G 30 S”, dan hal demikian berbeda dengan kondisi di tempat lain yang prosesnya justru terjadi setelah meletusnya peristiwa tersebut.

Berbagai perombakan sistem tenurial dan ketenagakerjaan itulah yang  memberi gambaran sosialisme ala Ngandagan”, suatu “tafsir-dalam-praktik” mengenai cita-cita keadilan sosial di bidang agraria. Inovasi “sosialisme” berbasis adat itu terpangkas prosesnya pada tahun 1963 di level lokal, disusul dengan peristiwa 1965 di level nasional yang menghempaskan Ngandagan dan desa-desa lain secara umum di Indonesia, menuju ke arah yang berbeda.

Kebijakan sosialisme ala Ngandagan adalah hasil dari kombinasi antara revitalisasi dan reinterpretasi hukum adat dalam rangka mewujudkan sistem penguasaan tanah dan hubungan agraria yang lebih adil. Sejarah desa Ngandagan menunjukkan bahwa land reform dilaksanakan dalam kerangka hukum adat serta adanya tafsir dan praktik land reform yang lebih sesuai dengan tuntutan dan kondisi lokal yang berhasil diwujudkan oleh masyarakat desa sendiri.

Jika saja inisiatif progresif semacam itu mendapatkan apresiasi dan dukungan politik semestinya, dan bukan justru diseragamkan, maka betapa banyak alur gelombang emansipasi dari bawah yang dapat diharapkan akan berkembang secara “alamiah”, dan yang pada gilirannya akan turut memperkaya proses formasi sosial dan perkembangan politik bangsa Indonesia secara keseluruhan. [ ]

Komentar tentang buku: 
Sebagai hasil dari suatu “studi ulang” atas sebuah desa yang 63 tahun lalu telah melakukan land reform lokal, buku ini bukan saja memaknai peristiwa itu dalam konteks kekinian dan mewacanakan berbagai perubahan sosial ekonomi dan politik seiring dengan proses perubahan zaman selama sekian tahun itu, tetapi bahkan sekaligus juga mencerminkan usaha kedua penulisnya untuk “berimajinasi sosiologis” dengan merakitkan gejaka lokal tersebut dengan konsep gagasan besar “Sosialisme Indonesia”. Karenanya, buku ini perlu dibaca para generasi muda, peminat sejarah, pengkaji masalah adat, pemerhati, aktifis dan pengambil kebijakan penanganan masalah kemiskinan dan reforma agraria, dan para peminat ilmu sosial secara umum. (Gunawan Wiradi, 2011)

Catatan: Launching buku ini akan dilakukan pada pertengahan Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar