Anda sudah selesai membaca sebuah karya tentang studi agraria? Tuliskan kembali ringkasan bacaan Anda dan kirimkan ke : studiagraria@gmail.com. Kami akan memuatnya di situs ini. Dan, mari kita membicarakannya.

Kamis, 26 Mei 2011

Memahami Kemiskinan secara Relasional

Judul:Memahami Dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat
Penulis: Restu Achmaliadi, Moh. Shohibuddin, Angky Semperante, George Sitania, Kamardi, dan Nusukru
Penerbit: AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)
Tahun terbit: 2010
Tebal: 142 halaman

Penyumbang Naskah: Moh. Shohibuddin

A relational view, then, understands poverty as the effect of social relations … in terms of inequalities of power - David Mosse (2007)

Tanpa disadari, kita seringkali terjebak dalam satu cara pandang yang melihat masalah kemiskinan sebagai sebuah kondisi, bukannya konsekuensi. Cara pandang inilah yang digunakan pemerintah untuk menentukan jenjang kesejahteraan keluarga sehingga lahirlah kelompok-kelompok Keluarga Pra Sejahtera, Sejahtera I, Sejahtera II, Sejahtera III, dan Sejahtera III plus. Bersama dengan organisasi pembangunan internasional, pemerintah lantas membuat berbagai proyek pembangunan. Misinya: pengentasan kemiskinan untuk mencapai indikator makro tentang kesejahteraan dan pembangunan manusia seperti misalnya pendapatan perkapita, partisipasi pendidikan, dan akses layanan kesehatan.

Cara pandang seperti ini gagap memahami bahwa kondisi kemiskinan sebenarnya endapan dari proses historis yang dinamis, sering dalam kurun waktu yang panjang, dengan berbagai kontinuitas maupun patahannya. Ia juga gagal menangkap bahwa kondisi kemiskinan, baik yang dilihat dalam skala rumah tangga ataupun wilayah, sesungguhnya memiliki perjalanan sejarah dan dinamika yang berbeda-beda dalam hal proses pembentukan, durabilitas, dan reproduksinya.

Kemiskinan tidak bisa dientaskan tanpa pemahaman terhadap proses pembentukan dan mekanisme yang menciptakannya. Walhasil, kemiskinan di sana akan tetap ada dan berlanjut (bahkan tercipta kembali).

Dan selama kekuatan sosial dan mekanisme yang menciptakan dan kondisi melestarikan kemiskinan tidak kunjung diatasi, sebenarnya tidak ada jaminan apakah program pembangunan yang dijalankan pemerintah mampu membuat kondisi satu keluarga menjadi sejahtera dalam jangka waktu yang lama, ataukah kembali menjadi miskin seperti semula, atau bahkan jatuh lebih miskin lagi.

Di sinilah pentingnya perspektif relasional untuk melihat kemiskinan, yaitu dengan memandangnya sebagai “konsekuensi” dari relasi-relasi kuasa yang menimbulkan akibat dimiskinkannya kelompok-kelompok masyarakat tertentu.

Dengan demikian, persoalan mengapa orang menjadi miskin, atau mengapa kemiskinan tetap ada, terus dilestarikan dan bahkan dicipta ulang, dapat ditelusuri lebih jernih, mulai dari bagaimana proses-proses pembentukannya.

Andil Buku Ini

Buku ini menghimpun empat laporan hasil studi mengenai kemiskinan masyarakat adat di provinsi Aceh, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Studi ini dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk memotret kondisi kemiskinan kelompok masyarakat yang dijuluki “masyarakat adat” serta mengangkat persepsi lokal mengenai indikator kemiskinan dan kesejahteraan.

Secara ilustratif, laporan itu memberi kesaksian proses historis dan dinamika sosial-ekonomi yang menimbulkan kemiskinan pada berbagai komunitas adat di tanah air. Mereka menemukan bahwa wajah kemiskinan di tiap-tiap masyarakat adat ternyata berlainan dan terbentuk melalui proses sejarah yang berbeda-beda pula. Namun secara umum, campur tangan negara lah(melalui ragam kebijakan dan program pemerintah) yang dituding sebagai faktor paling dominan yang melahirkan perubahan besar dalam kehidupan masyarakat lokal.

Masing-masing laporan ini berdiri sendiri dan menyoroti aspek-aspek kemiskinan dan kesejahteraan yang berbeda pada komunitas tinelitinya. Ini disengaja untuk memperoleh gambaran kemiskinan yang beragam sekaligus mengangkat cara bagaimana kelompok masyarakat adat memaknai kemiskinan dan kesejahteraannya.

Konstruksi lokal semacam ini biasanya luput dari perspektif kemiskinan yang bercorak linier dari para perencana kebijakan maupun aparat pelaksana proyek pembangunan di daerah. Penelitian jenis ini diharapkan akan banyak memberikan kontribusi empiris yang mencerahkan.

Berdasarkan laporan studi tadi, buku ini mengangkat lima dimensi kemiskinan. Pertama, dimensi kemiskinan yang terkait dengan persoalan identitas lokal dan struktur sosial masyarakat yang khas. Inilah isu yang banyak disuarakan oleh AMAN dalam berbagai pernyataan dan publikasinya, yaitu pengakuan negara atas identitas dan cara hidup yang khusus dari masyarakat adat. Ketiadaan pengakuan formal maupun actual badan pemerintah dalam soal agama dan kepercayaan yang dianut, ataupun berbagai pelayanan publik pemerintah yang diskriminatif, telah menyebabkan terjadinya krisis identitas dan budaya yang mencerminkan dimensi kemiskinan batiniah.

Kedua, dimensi kemiskinan yang terkait dengan terbatasnya akses masyarakat adat terhadap pendidikan dan layanan kesehatan yang disediakan pemerintah karena berbagai faktor. Salah satunya, yang disoroti oleh laporan dari Jawa Tengah adalah bahwa pendidikan formal yang disediakan pemerintah tidak memberi tempat pada nilai-nilai dan ideal kehidupan yang dijunjung oleh komunitas lokal. Akibatnya, pendidikan formal justru dilihat sebagai ancaman atas identitas dan kehidupan komunitas ini. Faktor-faktor lain tidak secara khusus ditonjolkan dalam laporan-laporan studi ini, dan biasanya merupakan kondisi yang umum dihadapi masyarakat di daerah terpencil, misalnya sarana dan prasarana yang terbatas, tenaga pendidikan dan medis yang terbatas dan kurang berkualitas, dan lain-lain.

Dimensi ketiga dan keempat berkaitan erat dengan kemiskinan yang terkait dengan relasi-relasi agraria yang timpang, baik antara komunitas lokal dengan pihak-pihak dari luar (negara, korporasi, dan lain-lain) maupun di antara sesama warga komunitas itu sendiri. Relasi agraria yang merupakan dimensi kemiskinan ketiga berkenaan dengan persoalan tenurial security, yakni penguasaan atas sumber-sumber agraria setempat dan jaminan keamanannya. Laporan dari NTB dan NTT secara khusus menyoroti dimensi ini, yakni kasus penetapan kawasan hutan lindung dan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan yang memasukkan wilayah adat tanpa didahului oleh proses konsultasi dan persetujuan dari empunya, yakni masyarakat adat setempat.

Adapun relasi agraria yang merupakan dimensi kemiskinan keempat berkaitan dengan relasi-relasi produksi yang terkait dengan pemanfaatan dan pengusahaan sumber-sumber agraria setempat. Hal ini mencakup berbagai bentuk hubungan penyakapan (tenancy), perburuhan dan permodalan yang melibatkan sesama anggota komunitas sendiri maupun dengan pihak di luarnya. Aspek ini secara khusus disoroti oleh laporan studi dari Aceh yang mengangkat persoalan meluasnya praktik-praktik hubungan penyakapan dan perburuhan yang tidak adil di antara sesama warga komunitas sendiri.

Dimensi kemiskinan yang kelima terkait dengan isu keberlanjutan layanan alam. Isu ini mengemuka dari laporan penelitian di Aceh dan NTT yang menemukan terjadinya degradasi fungsi ekologis (khususnya di wilayah catchment area) baik sebagai akibat dari konflik dan bencana alam (kasus di Aceh) maupun akibat dilanggarnya konsep tata ruang tradisional mengenai tempat keramat oleh kebijakan penetapan areal HGU oleh pemerintah.

Krisis Agraria Sebagai Akar Kemiskinan

Kasus-kasus pencaplokan wilayah adat untuk dijadikan kawasan hutan dan perkebunan seperti dilaporkan oleh studi dari NTB dan NTT merupakan contoh kontemporer dari apa yang pernah Karl Marx sebut sebagai proses enclosure -- yang secara harfiah berarti pemagaran – yakni suatu proses pengaplingan tanah-tanah bersama menjadi tanah-tanah pribadi dengan cara menetapkan batas-batas fisik, legal maupun sosial yang tegas. Ini adalah, menggunakan kalimat terkenal dari Karl Marx dalam karya klasiknya Capital, “sejarah pemisahan produser dari alat produksinya”; “ketika sejumlah besar orang tiba-tiba dicerabut secara paksa dari caranya menjalankan hidup, dan terlempar menjadi proletariat bebas yang ‘melulu bergantung’ pada pasar tenaga kerja”.

Memang, bagi negara agraris seperti Indonesia, kepastian penguasaan atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya (land and resource tenure) sangatlah penting karena hal itu merupakan “masalah penghidupan dan kemakmuran suatu bangsa” -- meminjam judul buku karya Moch. Tauchid (1952). Oleh karena itu, jaminan tenurial security atau perlindungan atas kepastian dan keberlangsungan penguasaan rakyat atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya menjadi keharusan tersendiri. Amanat konstitusi kita secara tegas menyatakan keharusan menjadikan tanah dan kekayaan alam yang dikandungnya sebagai sumber bagi “sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 UUD 1945).

Masalah tenurial mencuat sebagai dimensi kemiskinan yang menonjol ketika terjadi dominasi dalam relasi-relasi agraria menyangkut klaim penguasaan atas sumber daya tertentu. Hal ini terjadi terutama karena aturan-aturan hukum yang dikeluarkan negara dalam menetapkan hak atas sebidang tanah dan sumber-sumber alam lainnya seringkali tidak mengadopsi atau bahkan bertolak belakang dengan praktik sehari-hari dan kebiasaan turun temurun yang berlaku dalam sebuah masyarakat. Di sinilah terjadi ketegangan antara penguasaan tanah, yang berdasarkan pada penetapan pemerintah (secara de jure) versus yang berlaku secara nyata (secara de facto).

Afiff (2005) menggambarkan tumpang tindih klaim semacam ini melalui gambar sebagai berikut.


Dalam kaitan ini, momen historis pembentukan kemiskinan dalam masyarakat adat sebenarnya bermula dari konflik tenurial semacam di atas, yaitu ketika dominasi negara dalam relasi-relasi agraria telah menyebabkan tercerabutnya hak-hak masyarakat lokal atas tanah dan sumberdaya alam lainnya di satu sisi, dan di sisi lain terakumulasinya penguasaan tanah dan kekayaan alam itu pada badan-badan usaha atau perorangan yang memiliki kekuatan modal besar (Fauzi 2002: 341).

Menurut Fauzi (in print), krisis agraria semacam inilah yang menjadi akar kemiskinan di pedesaan. Ia menyeruak seiring terjadinya ekspansi kapitalisme ke dunia pedesaan pra-kapitalis. Inilah proses transformasi besar (great transformation) yang secara drastis merombak relasi-relasi sosial dalam proses produksi, yang dimulai dengan relasi kepemilikan (property relations). Tanah dan kekayaan alam diputuskan dari relasi-relasi sosial pra-kapitalis dan dijadikan bagian dari modal dalam sirkuit cara produksi kapitalis. Hubungan petani dengan tanah dan kekayaan alam pun dipenggal secara brutal. Petani kini menjadi tenaga kerja bebas.

Dalam literatur Marxian, proses ini diistilahkan sebagai akumulasi primitif (primitive accumulation), yaitu ketika hubungan petani dengan tanah dan kekayaan alamnya diputuskan secara paksa, untuk selanjutnya tanah dan kekayaan itu menjadi modal dalam produksi kapitalis untuk pertama kalinya, sedangkan  si petani berubah menjadi tenaga kerja bebas. Hal yang penting digarisbawahi adalah bahwa proses akumulasi ini tidaklah berlangsung sekali jadi pada tahap awal perkembangan kapitalisme semata, namun merupakan proses yang terus berlangsung yang tak terpisahkan dari cara produksi kapitalis itu sendiri.

Dengan demikian, dalam kasus masyarakat adat, proses akumulasi primitif ini tidak hanya berlangsung pada masa awal kolonisasi negara-negara Eropa. Proses akumulasi ini, seperti ditunjukkan de Angelis (2004), tak lain adalah daya dari modal itu sendiri sebagai enclosing social forces atau kekuatan-kekuatan sosial yang menimbulkan proses pengkaplingan.

Proses ekspansi kapitalisme semacam ini melahirkan proses marjinalisasi dan terbentuknya kemiskinan. Tidak hanya pada masyarakat adat, namun juga pada masyarakat pedesaan secara umum. Seperti dikemukakan de Angelis (2004: 58), “… there is no enclosure of commons without at the same time the destruction and fragmentation of communities.” Dalam arti demikian, maka penetapan sepihak atas wilayah hidup rakyat oleh pemerintah untuk perusahaan kehutanan atau perkebunan juga dapat disebut sebagai aktualisasi dari akumulasi primitif ini. Demikian pula, proses-proses perubahan agraria yang dipicu oleh introduksi komoditi global juga melibatkan bentuk-bentuk baru akumulasi primitif melalui proses pasar, seperti akan dijelaskan di bawah nanti.


Ekspansi Kapitalisme Dari Bawah

Namun selain berlangsung “dari atas” berkat; campur-tangan ekstra ekonomi dari negara (baik negara kolonial maupun pasca kolonial), ekspansi kapitalisme sebenarnya juga bisa berlangsung “dari bawah”, yakni melalui hubungan-hubungan agraris di antara anggota masyarakat sendiri menyangkut perebutan akses dan kontrol atas tanah, modal dan tenaga kerja (cf. Byres, 1996). Seperti akan ditunjukkan di bawah, proses ekspansi kapitalisme dari bawah ini, tanpa ayal, juga telah berlangsung dengan masif yang dampaknya tidak kalah besarnya dibandingkan proses ekspansi kapitalisme yang berlangsung dari atas.

Yang menarik adalah bahwa proses semacam ini juga berlangsung bahkan di dalam konteks aksi reklaim tanah dari bawah (land reform by leverage) yang terorganisir. Banyak pemimpin dan aktivis gerakan sosial pedesaan yang amat sadar diri dalam memobilisasi perlawanan kolektif terhadap ekspansi kapitalisme dari atas tidak mempermasalahkan proses-proses ekspansi kapitalisme dari bawah yang berlangsung. Padahal yang terakhir ini juga mengakibatkan hilangnya akses kelompok rakyat atas tanah dan kekayaan alam dan menciptakan kelompok yang paling miskin di pedesaan.

Secara singkat, proses akumulasi yang berlangsung dari bawah di antara masyarakat sendiri ini pada dasarnya terjadi melalui apa yang disebut sebagai diferensiasi agraria. White (1998: 20) mendefinisikan proses diferensiasi agraria ini sebagai: “… suatu perubahan yang kumulatif dan permanen dalam berbagai cara di mana kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat desa—dan beberapa di luarnya—mendapatkan akses kepada hasil-hasil dari jerih payah tenaga kerjanya sendiri ataupun orang lain, menurut perbedaan penguasaan mereka atas sumber-sumber produksi, dan seringkali … menurut ketimpangan yang kian meningkat dalam hal akses atas tanah”.

Berdasarkan definisi White di atas, menjadi jelas bahwa perbedaan akses sebagian penduduk desa atas tanah dan sumber-sumber daya produktif lainnya telah melahirkan adanya perbedaan kekuasaan di antara mereka di dalam mengekstraksi surplus produksi dan mengakumulasi kekayaan. Hal ini pada gilirannya akan menciptakan pengelompokan kelas-kelas sosial-ekonomi yang makin menajam di pedesaan.

Demikianlah, melalui proses diferensiasi agraria ini masyarakat desa yang semula relatif homogen berubah menjadi semakin terdifferensiasi ke dalam kelas-kelas sosial ekonomi.

Apa yang disinggung dalam laporan buku ini mengenai berkembangnya sistem gadai dan sewa tanah di Aceh yang amat mencekik adalah kisah kecil mengenai proses diferensiasi ini. Demikian pula, perbedaan sikap di antara warga Sedulur Sikep di Jawa Tengah dalam menyikapi bantuan dan program pemerintah juga merupakan penanda dari perubahan relasi-relasi agraria yang lebih besar yang sedang berlangsung di komunitas itu, dan tidak bisa dijelaskan melulu sebagai cerminan dari pergeseran moral dan identitas di antara mereka (lihat Hefner 1999).

Sayangnya, proses perubahan agraria di pedesaan yang masif akibat berlangsungnya kapitalisme dari bawah ini juga tidak banyak diulas dalam laporan-laporan yang termuat di buku ini. Padahal proses itulah, selain campur-tangan ekstra ekonomi dari badan-badan negara, yang juga menjelaskan mengapa terjadi perubahan penghidupan yang amat drastis di pedesaan, khususnya dalam hal penguasaan tanah dan hubungan produksi serta kesempatan kerja dan pendapatan.

Di banyak tempat, proses diferensiasi ini didorong oleh komersialisasi sistem pertanian yang kian meningkat, baik sebagai dampak intensifikasi pertanian pangan yang padat modal (melalui pelaksanaan Revolusi Hijau) ataupun introduksi komoditi ekspor (cash crop). Penelitian Survey Agro Ekonomi (SAE) pada dekade 1970-1980-an menyediakan banyak bukti proses perubahan agraria yang berlangsung pasca pelaksanaan Revolusi Hijau di desa-desa pertanian padi sawah.

Sementara studi Tania Li (2002) di dataran tinggi Sulawesi Tengah menyajikan temuan menarik mengenai bagaimana proses komersialisasi pertanian terjadi akibat ekspansi komoditas kakao yang mengalami booming pasca krismon 1997.

Dari perbandingan kedua kasus di atas dapat terlihat dengan jelas proses dan mekanisme perubahan agraria yang terjadi seiring berlangsungnya capitalism from below, dan pengaruhnya pada pembentukan kemiskinan dan kesenjangan di tengah penduduk pedesaan. Memang, pada tataran empiris, proses-proses transformasi kehidupan, sumber nafkah dan basis sumber daya masyarakat pedesaan selalu dibentuk dan didorong oleh kedua kekuatan ini sekaligus (kapitalisme dari atas dan dari bawah). Oleh karena itu, perhatian terhadap keduanya, terutama mekanisme-mekanisme yang menciptakan akumulasi di satu sisi dan pemiskinan di sisi lain, harus dilakukan secara berimbang. Hal ini menggarisbawahi pentingnya pemahaman yang komprehensif mengenai proses-proses agraria yang berlangsung di lapangan dan kekuatan-kekuatan pengarahnya dalam kedua tipe perkembangan kapitalisme tersebut.

Dari Pemahaman Relasional ke Perjuangan Agraria

Berkaitan dengan urgensi di atas, maka menjadi tantangan tersendiri bagi gerakan rakyat pedesaan untuk mampu memahami krisis agraria pada masyarakat adat sehingga akar, proses, mekanisme dan tampilan dari kemiskinan relasional yang berlangsung pada berbagai komunitas adat dapat ditemukenali dan direspon secara lebih tepat. Tantangan serupa dalam konteks berbeda pernah dikemukakan oleh Tania Li (2001) yang menyatakan bahwa hanya melalui pemahaman relasional seperti itu maka pola-pola dan sebab-sebab kemiskinan dan ketimpangan agraria dapat dijelaskan . Dari pemahaman demikian inilah dimungkinkan adanya respon-respon yang lebih politis dan struktural pada berbagai level, termasuk dalam konteks strategi gerakan sosial.

Adalah penting untuk belajar dari pengalaman gerakan-gerakan petani yang terlibat dalam berbagai aksi reklaim tanah atau land reform by leverage.

Sebagai contoh, riset Sajogyo Institute (SAINS) bersama Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) pada 2009 menemukan bahwa para pelaku dan pendukung gerakan reklaim tanah di dataran tinggi Jawa Barat gagal memahami struktur ekonomi komoditi hortikultur yang dicirikan oleh pasar output yang monopsonistik dan pasar input yang monopolistik sebagai struktur ketidakadilan agraria yang harus ditentang. Bahkan patronase yang tidak adil antara bandar-petani kecil juga berkembang luas di antara para petani pelaku reklaim ini sendiri, sedemikian rupa sehingga proses akumulasi kekayaan dan diferensiasi agraria juga terlihat mencolok yang sesungguhnya mengingkari semangat keadilan agraria yang mereka perjuangkan.

Atas dasar itu, maka pemahaman atas krisis agraria, dan perjuangan merombaknya, harus menjadi bagian dari strategi dasar organisasi gerakan sosial seperti AMAN dalam menjawab problem kemiskinan pada masyarakat pedesaan, termasuk pada kelompok yang dijuluki “masyarakat adat”.

Penulis adalah peneliti pada Sajogyo Institute (SAINS) Bogor, dan anggota Tim Pengajar mata kuliah “Kajian Agraria” pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB.

Daftar Pustaka
Afiff, Suraya (2005) “Tinjauan atas Konsep ‘Tenure Security’, dengan Beberapa Rujukan pada Kasus-Kasus di Indonesia.” Jurnal Wacana, Edisi 20, Tahun VI: 225-247.

Byres, Terence J. (1996) Capitalism from Above and Capitalism from Below: an Essay in Comparative Political Economy. New York: St. Martin's Press.De Angelis, Massimo (1999) “Marx’s Theory of Primitive Accumulation: A Suggested Reinterpretation.” Working Paper No. 29, Department of Economics, University of East Anglia London,http://homepages.uel.ac.uk/M.DeAngelis/PRIMACCA.htm, diakses pada tanggal 10 Oktober 2009.

De Angelis, Massimo (2004) “Separating the Doing and the Deed: Capital and the Continuous Character of Enclosures.” Historical Materialism 12(2): 57–87.

Fauzi, Noer (2002), “Konflik Tenurial: yang Diciptakan Tapi Tak Hendak Diselesaikan” dalam Anu Lounela dan R. Yando Zakaria (eds), Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung. Yogyakarta: Insist Press.

Fauzi, Noer (in press) “Desentralisasi dan Community Driven Development dalam Konteks Pembangunan Kapitalis: Suatu Kajian Teoritis.” Akan dimuat dalam Majalah Prisma.

Hefner, Robert W (1999) Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Yogyakarta: LKiS.

Li, Tania M. (2001) “Agrarian Differentiation and the Limits of Natural Resource Management in Upland Southeast Asia.” IDS Bulletin, 32(4): 88-94.

Li, Tania M. (2002) “Local Histories, Global Markets: Cocoa and Class in Upland Sulawesi.” Development and Change 33(3): 415-437.

Mosse, Adam (2007) “Power and the Durability of Poverty: a Critical Exploration of the Links between Culture, Marginality and Chronic Poverty.” Working Paper 107, Chronic Poverty Research Centre.

Shohibuddin, Moh. dan Endriatmo Soetarto (2009) “Krisis Agraria Sebagai Akar Kemiskinan: Menuju Pandangan Relasional Mengenai Kemiskinan”. Dimuat dalam Buku Peringatan 70 Tahun Prof. Djoko Suryo. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

White, Ben (1989) “Problems in the Empirical Analysis of Agrarian Differentiation” in G. Hart, A. Turton, B. White (eds) Agrarian Transformation: Local Processes and the State in Southeast Asia.Berkeley and Los Angeles: University of California Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar