Anda sudah selesai membaca sebuah karya tentang studi agraria? Tuliskan kembali ringkasan bacaan Anda dan kirimkan ke : studiagraria@gmail.com. Kami akan memuatnya di situs ini. Dan, mari kita membicarakannya.

Kamis, 16 Juni 2011

Adat dalam Politik di Indonesia

Judul: Adat dalam Politik di Indonesia
Penyunting: Jamie S. Davidson, David Henley, Sandra Moniaga
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV Jakarta
Tahun Terbit: 2010
Tebal: xxii+456

Penyumbang naskah: Yance Arizona*

Memudarnya kekuasaan negara yang sentralistik pasca Orde Baru memberikan peluang bagi masyarakat untuk mencari orde-orde lain yang bisa memberikan keadilan, ketertiban dan kedamaian bagi kehidupan mereka. Adat menjadi salah satu tempat berpulang masyarakat untuk mengorganisir dirinya atas dasar klaim-klaim tradisi masa lalu. Kembali kepada tradisi yang disebut juga tradisionalisme kemudian menjadi pengganti dari sentralisme yang gagal memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat.

Di tengah semakin menguatnya tradisionalisme dalam wujud gerakan indigenous peoples di dunia yang sejalan dengan menguatnya gerakan masyarakat adat di Indonesia, buku ini lahir untuk mempertanyakan sejumlah hal-hal mendasar dari kebangkitannya itu.

Sesuai dengan judul aslinya dalam bahasa Inggris “The revival of tradition in Indonesian politics: the deployment of adat from colonialism to indigenism” buku itu memang melakukan suatu pembentangan (deployment) fenomena adat kontemporer dengan menarik akarnya sampai pada era kolonialisme.

Setidaknya ada dua benang merah yang merangkai semua tulisan yang dibentangkan di dalam buku tersebut. Pertama, adalah penyelidikannya tentang faktor-faktor yang memungkinkan kebangkitan adat di Indonesia yang tidak pernah diprediksi sebelumnya. Kedua, adalah kemampuannya untuk mengungkap paradoks-paradoks yang inherent dalam kebangkitan adat.

Kebangkitan Adat

Jamie S. Davidson dan David Henley dalam pengantar buku tersebut menyebutkan kebangkitan adat tidak pernah diprediksi sebelumnya oleh para peneliti tentang Indonesia dan masih kurang mendapat perhatian ilmiah. Untuk itulah buku itu dipublikasikan dari hasil makalah yang pernah dipresentasikan dalam lokakarya "Kebangkitan adat pada masa transisi demokrasi di Indonesia" di Batam pada 2004 lalu. Faktor-faktor kebangkitan adat dan dimensi-dimensi yang melekat di dalamnya merupakan satu tujuan utama yang jawabannya dibentangkan di dalam buku yang ditulis oleh aktivis masyarakat adat dan pemerhati Indonesia dalam berbagai aspek ini.

Ada empat faktor utama kebangkitan adat di Indonesia.

Pertama, ia merupakan kontribusi dari perkembangan wacana dan dorongan dari organisasi-organisasi internasional. Gerakan masyarakat adat merupakan kelanjutan dari gerakan anti-imperialisme yang mencerminkan sesuatu yang baru dari "gerakan kiri" sebelumnya karena maksudnya mempertahankan keragaman budaya. Upaya untuk membangkitkan gerakan masyarakat adat, tribal peoples, indigenous peoples yang terkadang juga disebut masyarakat "dunia keempat" (fourth world peoples) ini sudah dimulai di Denmark pada 1968 oleh kelompok antropolog professional dengan membentuk The International Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA), kemudian World Council of Indigenous Peoples (WCIP) tahun 1975. Pada tataran instrument hukum internasional gerakan masyarakat adat berhasil mendorong lahirnya ILO Convention 169 concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries (1989), dan yang paling mutakhir adalah United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (2007).

Serangkaian perkembangan ini menunjukan bahwa kebangkitan adat adalah sesuatu yang nyata dan mendunia. Organisasi masyarakat adat seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang disebutkan di dalam buku ini terlibat menjadi bagian organisasi advokasi hak-hak masyarakat adat internasional seperti IWGIA dan AIPP (Asian Indigenous People Pact) yang tidak saja terlibat dalam kegiatan level internasional tetapi juga menjadi tuan rumah bagi para sarjana dan aktivis luar negeri yang membahas soal masyarakat adat. Jejaring antara tiga lapis ruang baik lokal, nasional dan internasional terbangun dalam ikatan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.

Kedua, faktor tekanan dan penindasan di bawah Orde Baru. Gerakan masyarakat adat yang bangkit di Indonesia beranjak dari satu asumsi kesadaran bersama bahwa mereka adalah korban dari program-program pembangunan selama Orde Baru berkuasa. Penindasan itu misalkan terjadi lewat UU Desa tahun 1979 di mana institusi adat "dihancurkan" dan diseragamkan menjadi desa. Program transmigrasi yang memindahkan tidak kurang dari lima puluh juta penduduk dari Jawa dan Madura ke wilayah-wilayah di pulau-pulau besar di Indonesia telah menimbulkan konflik horizontal antar transmigran dengan penduduk asli. Belum lagi pengambilalihan tanah-tanah adat oleh pemerintah untuk dikonversi menjadi konsesi penebangan hutan dan pertambangan, kebun kelapa sawit, dan hutan tanaman industri, serta taman-taman nasional. Di Bali, represi ini terjadi seiring dengan proyek "megapariwisata" yang menghadapkan langsung masyarakat dengan aktor-aktor investor global.

Represi ini pula yang mempertemukan kepentingan antara masyarakat adat dengan aktivis lingkungan dan keadilan sosial di Indonesia seperti Walhi dan YLBHI. Embrio sinergi gerakan kalangan ini bahkan sudah muncul pada masa puncak kejayaan Orde Baru lewat aksi-aksi penolakan perampasan tanah adat untuk kepentingan pertambangan dan penebangan hutan.

Ketiga, faktor keterbukaan pasca Orde Baru. Runtuhnya Orde Baru membuka ruang keterlibatan massa yang massif di Indonesia. Dengan mengutip Jose Ortega Y Gasset (1930), Satjipto Rahardjo pernah menyebut meluasnya peran masyarakat ini sebagai "fenomena massa" yang oleh Gasset diistilahkan dengan la rebelion de las masas (The revolt of the masses). Peran masyarakat itu mewujud dalam bentuknya yang optima, terkadang dalam bentuk kekerasan yang tidak lazim (Rahardjo 2000).

Peluang-peluang yang terbuka pada pasca Orde Baru inilah yang dimanfaatkan oleh aktivis masyarakat adat untuk mendirikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 1999 yang menjadi simbol perubahan radikal yang sedang terjadi. Dalam kongres pertamanya tahun 1999 menggema tuntutan "bila negara tidak mengakui kami, maka kami tidak akan mengakui negara". Tuntutan itu sebenarnya mencerminkan karakter khas dari gerakan masyarakat adat kontemporer yang ingin dihargai sebagai bagian dari negara, bukan malah bertujuan memisahkan diri (separation) dari negara.

Namun juga tidak dapat dipungkiri bahwa keterbukaan tersebut dalam beberapa kondisi malah mengarah pada konflik-konflik horizontal di dalam masyarakat atas nama adat. konflik etnis di Sambas, Sampit di Kalimantan, Poso di Sulawesi Tengah dan di Maluku Utara memperlihatkan fenomena tersebut. Selain itu, momentum reformasi juga dimanfaatkan oleh sultan-sultan untuk kembali menegaskan posisi politik dan otoritasnya mengalokasikan sumber daya dengan membentuk Foruk Komunikasi Keraton-Keraton Indonesia (FKKKI) sebagaimana dibahas oleh Van Klinken dalam buku tersebut (hal 165-86).

Keempat, warisan ideologis dari pemikir hukum adat pada masa kolonial. Warisan ideologis dari kolonial dalam kajian adat yang banyak disorot dalam buku tersebut adalah sumbangsih dari Cornelis Van Vollenhoven, professor di Universitas Leiden sejak tahun 1909 dan bapak dari Leiden School yang melahirkan konsep-konsep kunci dalam wacana adat sampai saat ini. Konsep-konsep tersebut seperti hukum adat (adatrecht), beschickingrecht yang dipadankan dengan hak ulayat dan juga masyarakat hukum adat (adatrechtgemeenschap) yang masih melekat kuat dalam diskursus adat di Indonesia. Kelanjutan dari warisan ideologis itu bahkan masih dijumpai dalam lingkungan akademik tentang materi pelajaran hukum adat dan juga pengembangan kebijakan terkini tentang masyarakat adat yang dilakukan oleh institusi negara.

Selain itu, salah satu konsep Vollenhoven yang bertahan adalah pandangan tentang adat yang esoterik, terbuka (inclusive) dan lentur. Dengan demikian konsep itu dapat digunakan untuk banyak keperluan, bahkan untuk berbagai proyek yang bersifat politis. Istilah adat faktanya dipakai oleh kelompok yang berbeda bahkan tiap orang untuk beragam tujuan yang berbeda. Pejabat pemerintah, elit daerah, kelompok solidaritas etnis, petani, buruh tani, pejuang lingkungan dan penduduk desa menggunakan idiom adat untuk menyuarakan kepentingan politiknya. Tania Li dalam buku ini menyebutkan orang menggunakan adat seringkali untuk mengklaim kemurnian dan keaslian demi kepentingan seseorang.

Paradoks Adat

Kelebihan lain dari buku ini adalah kemampuannya menyuguhkan paradoks-paradoks dalam isu adat kontemporer. Davidson dan Henley menyebutkan bahwa politik adat saat ini mengambil bentuk yang paradoksal sebagai konservatisme radikal di mana kelompok terpinggirkan, orang yang tidak berpunya melakukan tuntutan atas keadilan, bukan atas nama keterpinggiran atau ketidakpunyaan melainkan atas nama nenek moyang, komunitas dan lokalitas (hal 31).

Meskipun acapkali adat dijadikan sebagai argument untuk memperjuangkan keadilan, dalam kenyataannya malah adat juga dipakai untuk melawan perjuangan keadilan yang lain. Misalkan dengan mengutip Avonius (2004), Davidson dan Henley menyebutkan upaya untuk memperjuangkan emansipasi perempuan malah mendapat tantangan dari kalangan elit adat laki-laki di Lombok dan menganggap hal demikian sebagai sikap melawan adat. Hal ini mengindikasikan bahwa adat yang dipakai untuk mendorong demokratisasi pada level negara masih menyisakan problem-problem anti-demokrasi di dalam lokalitas keberlakuannya.

Karena sifatnya yang terbuka (inklusif), adat juga dipakai oleh elit-elit tradisional untuk meneguhkan posisi politik dan otoritasnya dalam penentuan alokasi sumber daya sebagaimana dibahas oleh Van Klinken yang tercermin dalam kebangkitan kembali sultan-sultan seantero negeri. Inklusivitas adat dimanfaatkan oleh elit dengan merangkul potensi-potensi politik dari orang luar (outsider) yang dijadikan sebagai bagian dari komunitas adat lewat pemberian gelar-gelar adat. Adat dapat dijadikan komiditas dalam transaksi politis para elit lokal.

Pada wujudnya yang lain, adat mempertegas ekslusivitasnya dengan kelompok-kelompok lain atas nama hak etnis yang akhirnya menimbulkan konflik-konflik horizontal yang mengerikan. Sejumlah konflik etnis menunjukkan bahwa adat dapat digunakan sebagai alat etnopolitis yang turut berkontribusi pada kerusuhan etnis di Sambas dan Sampit di Kalimantan, Poso di Sulawesi Tengah, dan di Maluku Utara.

Satu hal lagi yang dipertanyakan dalam buku ini adalah posisi adat yang istimewa karena dilihat sebagai sesuatu yang esoteris, mulia, suci, murni, baik dan muncul secara alamiah di Indonesia. Dikaitkan dengan pengelolaan sumber daya alam maka pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat adat diasosiasikan sebagai pengelolaan sumber daya alam secara lebih arif (ecological noble savage). Hal ini tidak diragukan lagi, tetapi memiliki sejumlah kerumitan ketika dihadapkan dengan proyek konservasi oleh negara sebagaimana digambarkan oleh Tania Li di Sulawesi Tengah.

Ketika penduduk memperoleh kepercayaan untuk memanfaatkan sebagian kawasan taman nasional menjadi lahan pertanian dan mereka memanfaatkannya untuk menanam tanaman kakao yang bernilai ekspor tinggi, maka dengan cepat mereka kehilangan kepercayaan ekologis sebagai pengelola sumber daya alam yang arif. Dengan kata lain, pelabelan masyarakat adat sebagai pengelola sumber daya alam yang arif, yang merupakan aliansi antara indigenism dengan environmentalism, malah menjadi hal yang menjebak dan menjadi beban yang harus dipikul secara tidak proporsional oleh masyarakat adat (hal 405).

Tantangan

Buku ini membentangkan pemahaman kritis tentang adat dalam politik kontemporer di Indonesia. Bagi para aktivis, peneliti dan LSM yang pro perjuangan masyarakat adat maka hendaknya buku itu menjadi bahan refleksi sekaligus tantangan-tantangan yang harus dijawab, khususnya tentang paradoks-paradoks adat. Sehingga bisa menjernihkan apa dan siapa yang sebenarnya sedang diperjuangkan serta apa dan siapa yang seharusnya tidak diperjuangkan.

Memang isu sosial dalam kadarnya yang sekecil apapun memiliki paradoks yang melekat di dalamnya, termasuk untuk isu adat. Lalu bagaimana mengatasi paradoks di dalam adat? Sejumlah gagasan sebenarnya pernah muncul misalkan Burn dalam buku tersebut mewacanakan kembali apa yang penah disampaikan oleh Barend ter Haar untuk melegalisasi adat dari kebiasaan menjadi hukum melalui peran hakim dalam memutus perkara di pengadilan sebagaimana karakter dalam sistem common law Anglo-Saxon (hal 78). Pada satu sisi gagasan ini menjadi jalan alternatif di tengah masih mandulnya pembaruan peraturan perundang-undangan yang bisa diimplementasikan secara baik untuk mengangkat martabat masyarakat adat. Pada sisi lain, pendayagunaan pengadilan dan asas preseden hukum memiliki tantangan tersendiri di tengah peradilan yang legalistik, positivistik dan rentan suap.

Lain pula dengan Sangaji di dalam buku tersebut yang menempatkan adat sebagai isu kelas, bukan pada isu etnisitas semata. Menurut Sangaji, gerakan masyarakat adat hendaknya menjadikan identitas etnik sebagai titik tolak, tetapi mengartikulasikannya tidak dengan semangat etnosentrik (hal 366). Dengan pendekatan yang terakhir ini, maka sultan-sultan dan elit-elit yang selama ini membajak adat untuk kepentingan pribadi hendaknya dikecualikan dari agenda untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Partisipasi yang luas dari masyarakat menurut van Klinken bisa menjadi cara untuk mengatasi persoalan feodalisme yang melekat pada kesultanan ini (hal 86).

Sedangkan Acciaioli dalam kesimpulan tulisannya melihat pergeseran orientasi dari gerakan masyarakat adat dari gerakan menuntut pengakuan ke gerakan yang berorientasi pada hak asasi manusia secara umum, demokratisasi, dan pelestarian sumber daya alam, yaitu dengan membangun orientasi global dalam rangka mencapai pengakuan adat lokal (hal 346). Akankah menggeser orientasi ke arah hak asasi manusia, demokratisasi dan pelestarian sumber daya alam bisa menjadikan adat dipakai menjadi argumentasi untuk menuntut keadilan bagi pihak yang selama ini paling mengalami ketidakadilan? Mari berkenduri di atas lapik yang membentang, membicarakan masa depan adat dalam politik di Indonesia.

*Yance Arizona adalah Manajer Program Hukum dan Masyarakat di Epistema Institute, Jakarta.
Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Jentera, Edisi 21 - Tahun VI - Januari-April 2011 (p.96-102)

Dari pengelola: 

Adat dalam Politik Indonesia ini adalah terjemahan dari buku berjudul: The Revival of Tradition in Indonesian Politics: The Deployment of Adat from Colonialism to Indigenism. Penyuntingnya: Jamie S. Davidson dan David Henley. Buku yang terbit pada 2007 ini merupakan bagian dari Routledge Contemporary Southeast Asia Series.

Versi bahasa Indonesia terbit atas inisiatif Sandra Moniaga, peneliti program doktoral pada Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden, yang menginginkan agar buku berbahasa Inggris yang membahas adat di Indonesia ini  bisa dinikmati oleh kalangan luas, termasuk pemerhati dan aktivis pembela hak-hak masyarakat adat  di Indonesia. Sandra sendiri mencurahkan energinya untuk memfasilitasi penerjemahan, termasuk menghubungi Hivos untuk dana penerbitan buku dan menyunting hasil terjemahannya. Ia juga yang menuliskan kata pengantar di sana.

Sejak September 2003, Sandra Moniaga melakukan penelitian dengan INDIRA (Indonesian-Netherlands studies of Decentralisation of the Indonesian Rechtsstaat and its impact on Agraria) Project. Penelitian doktoral Sandra yang berjudul  Between Adat Laws and State Laws: Finding Ways to Reconcile Land Tenure System Conflicts in Indonesia membahas mengenai konflik land-tenure antara masyarakat adat dan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar