Anda sudah selesai membaca sebuah karya tentang studi agraria? Tuliskan kembali ringkasan bacaan Anda dan kirimkan ke : studiagraria@gmail.com. Kami akan memuatnya di situs ini. Dan, mari kita membicarakannya.

Senin, 25 Oktober 2010

Wawancara Radio Nederland Wereldomroep dengan Prof. Jan Breman (II)

Ini adalah bagian kedua dari wawancara Joss Wibisono dari Radio Nederland Wereldomroep dengan Prof. Jan Breman. Wawancara ini diambil dari laman RNW. (Pengelola)

PREANGER STELSEL DAN ASAL USUL APARTHEID 

Orang Belanda selalu membanggakan kolonialismenya di Indonesia sebagai penjajahan yang tidak langsung, karena melewati penguasa setempat. Dengan demikian tradisi politik lokal tidak dirobah, sesuatu yang, konon, berbeda dengan kolonialisme Prancis atau Inggris.

Tapi menurut profesor Jan Breman, kolonialisme yang melibatkan penguasa setempat itu ternyata membuat rakyat juga makin menderita, karena harus menanggung penjajahan bertingkat dua. Lebih dari itu, dalam buku terbarunya Koloniaal profijt van onvrije arbeid artinya "keuntungan kolonial dari buruh yang tertindas", Jan Breman juga menunjukkan betapa kolonialisme yang terwujud dalam Preanger Stelsel merupakan cikal bakal sistem apartheid yang kemudian berkembang di Afrika Selatan.

Jan Breman [JB]: Bagi saya itu bukannya lebih berat atau kurang berat. Kalau bangsawan setempat sampai dilibatkan dalam pemerintahan kolonial, maka bagi saya itu merupakan wujud keinginan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang murah. Karena biaya melibatkan bangsawan setempat itu tidak dipikul oleh penguasa kolonial, melainkan oleh masyarakat tani yang dikuasai. Rakyatlah yang harus menanggung biaya pemerintahan para bangsawan itu.

Kikir dan hemat
Demikian pula penerapan sistem pemerintahan pedesaan, dengan penunjukan kepala desa dan penguasa pedesaan lainnya, penguasa kolonial tidak membayar mereka sepeserpun. Itu semua harus ditanggung oleh rakyat pedesaan. Mereka harus menyediakan tanah, harus melakukan wajib kerja dalam berbagai bentuk. Dan itu tetap wajib dilakukan rakyat pedesaan walaupun kemudian Indonesia sudah merdeka. Pemerintah pedesaan tidak mendapat gaji.
Hal ini sebenarnya sudah dipertimbangkan masak-masak di zaman kolonial. Waktu itu sudah dipikirkan, apakah tidak sebaiknya menyingkirkan penguasa lokal. Tetapi kemudian dibantah karena kalau penguasa kolonial langsung menguasai pedesaan, maka itu akan butuh biaya banyak. Dan sikap Belanda ini tetap diteruskan walaupun VOC sudah bangkrut, pada intinya adalah setinggi mungkin keuntungan, serendah mungkin ongkos.

Radio Nederland [RNW]: Kikir dan hemat kolonial?

JB: Ya, seperti dikatakan Gubernur Jenderal Baud, kenapa harus membayar lebih banyak kalau kita bisa memperolehnya dengan biaya murah. Waktu itu, di pertengahan Abad 19, Baud harus menghadapi beberapa pembangkang yang menuntut supaya upah petani yang menghasilkan komoditi Tanam Paksa dinaikkan, supaya pendapatan mereka meningkat. Dia ditekan supaya meningkatkan upah itu. Itulah sikap khas penguasa kolonial Belanda.

RNW: Apa dampaknya bagi rakyat Pasundan?


Apartheid

JB: Itu sudah saya ungkapkan dalam buku ini, dan itu juga kesimpulan saya, yang terjadi adalah perbudakan, penindasan dan keadaan yang tidak mungkin dirubah lagi. Mereka dihimpit oleh penguasa setempat dan penguasa kolonial. Penguasa kolonial menutup wilayah tempat tinggal mereka. Pasundan ditutup sampai jauh di abad 19.
Warga Pasundan hanya boleh berada di dua tempat: desanya atau kebun kopi. Mereka tidak boleh ke tempat lain. Kalau ingin ke tempat lain, maka seseorang harus punya pas untuk bepergian. Pertama dia harus mengurusnya ke kepala desa, kemudian juga ke kantor residen untuk minta izin apakah boleh pergi ke tempat lain, untuk urusan keluarga atau urusan pekerjaan. Ini jelas sistem apartheid, seperti yang kemudian kita kenal di Afrika Selatan. Ketidakbebasan yang dialami warga Pasundan sangatlah tinggi.

RNW: Bagaimana ini bisa terjadi? Di wilayah lain banyak suku bangsa, orang Arab, orang Tionghoa dan seterusnya. Bagaimana mungkin orang Tionghoa tidak ada di Pasundan?

JB: Diberlakukan larangan, bukan hanya terhadap orang Tionghoa tapi juga terhadap orang Eropa lain untuk datang ke wilayah itu. Ketika Jalan Raya Pos dibangun oleh Daendels pada awal abad 19, mereka yang ingin melalui jalan itu harus punya pas yang dikeluarkan oleh penguasa kolonial. Warga Tionghoa tidak boleh masuk Pasundan. Dengan kata lain wilayah itu ditutup.
Ada beberapa alasan kenapa wilayah itu ditutup. Pertama, untuk menghindari penyelundupan, terutama penyelundupan kopi. Kopi biasanya diselundupkan keluar dan dijual dengan harga yang lebih mahal di wilayah pesisir. Alasan kedua adalah bahwa warga Pasundan adalah orang-orang yang sederhana. Mereka tidak punya banyak kebutuhan, mau menerima apa saja, dan penurut. Sikap seperti itu harus tetap dijaga, sehingga mereka tidak boleh berhubungan dengan dunia luar. Alasan ketiga adalah penguasa kolonial merasa harus berhati-hati menghadapi perlawanan atau protes. Dan dengan menutup wilayah itu semua ini berupaya dihindari.

RNW: Tapi toh terjadi juga perlawanan itu.

Perlawanan dan kekerasan

JB: Tentu saja. Saya mencurahkan banyak perhatian pada perlawanan ini. Karena bagi saya sangat luar biasa membaca pelbagai pendapat yang sudah terbit mengenai cultuurstelsel. Mereka merasa kaget karena menurut mereka tidak ada perlawanan. Saya menemukan banyak terjadi perlawanan. Dan terhadap perlawanan itu dilakukan tindakan kekerasan yang luar biasa. Salah seorang penulis sejarah Pasundan menyatakan di samping kopi terlihat rotan. Rotan itu sering dipakai, termasuk bentuk-bentuk hukuman lain. Jadi kalau tidak mentaati peratuaran perusahaan dan penguasa maka rakyat akan dihukum.
Kedua, sebenarnya terjadi banyak sabotase, banyak penyelewengan, orang lari dan saya jelaskan bagaimana terjadinya. Itu tidak bisa diabaikan. Dan menurut saya itulah alasannya kenapa akhirnya Tanam Paksa dicabut. Rakyat tidak mau lagi, mereka tidak mau lagi menuruti instruksi atasan.
Yang jelas konsumsi kopi di dunia sangat meningkat. Dunia mulai mengenal kopi pada abad 18, kemudian mulai berkembang. Dan terlihat kebutuhan kopi makin meningkat, karena ekspornya juga meningkat. Karena itu rakyat makin diperas untuk menghasilkan kopi sebanyak mungkin. Penguasa kolonial akhirnya mendirikan NHM, perusahaan yang mengurus lelang produk-produk Tanam Paksa seperti kopi atau nila. Amsterdam menjadi pusat lelang kopi yang dijual ke benua lain seperti Amerika atau ke negara-negara lain di Eropa.

RNW: Tentang penulisan sejarah. Dengan buku ini Anda berupaya menulis kembali sejarah kolonialisme Belanda. Mengapa ini merupakan ambisi Anda?


Visi Indonesia

JB: Bukan karena saya ingin bersikap lain dari yang selama ini sudah dilakukan oleh sesama ilmuwan. Tetapi karena ingin memberi peluang kepada pandangan yang berkembang dalam masyarakat Indonesia tentang apa yang terjadi pada zaman kolonial.
Saya berupaya memperoleh kesempatan sehingga visi Indonesia ini bisa memberi gambaran lain tentang masa lampau dari yang selama ini sudah dilakukan oleh pandangan Belanda. Itulah saripati buku saya. Karena itu saya bisa mengerti seruan teman saya Sediono Tjondronegoro yang ingin supaya edisi bahasa Indonesia buku ini juga terbit.
Saya memang orang Belanda. Tapi itu tidak berarti bahwa orang Belanda selalu harus membela pandangan kolonial. Sebaliknya tidaklah selalu benar bahwa sejarawan Indonesia selalu anti kolonialisme.

RNW: Mengapa Anda anggap penting untuk menunjukkan sisi Indonesia itu bagi publik Belanda?
 
JB: Itu tidak saya lakukan karena saya ingin datang dengan suara lain. Bukan begitu caranya kalau orang ingin mendalami ilmu pengetahuan. Saya ingin melakukannya karena ingin mengkoreksi pandangan sepihak yang ada di Belanda.
Dalam menekuni kolonialisme orang Belanda selalu datang dari atas ke bawah. Selain itu saya juga ingin merangsang penulisan sejarah dengan cara yang lain, misalnya dari bawah ke atas dan dari dalam keluar. Itulah dasar argumen saya dalam buku ini.

RNW: Jadi menurut anda penulisan sejarah Belanda tentang kolonialisme selalu dari atas ke bawah?
 
JB: Ya.

RNW: Dan itu bukan penulisan sejarah yang bagus?

JB: Dari atas ke bawah tidaklah selalu buruk atau salah. Cara demikian ini juga perlu. Tapi kalau hanya penulisan dari atas ke bawah, maka orang akan berpikir, ini ada yang kurang, dan itu dimensi yang juga sangat penting. Itulah dampaknya bagi masyarakat. Bagaimana para petani yang sampai beberapa generasi diperbudak dalam Tanam Paksa itu menyikapi sistem ini? Menjawab pertanyaan itu, memberi peluang bagi sisi mereka menurut saya adalah penting.

RNW: Kalau saya seorang yang ingin tahu sisi Indonesianya, maka saya akan mencarinya pada sejarah Indonesia, bukan pada sejarah Belanda.

Tersurat dan tersirat


JB: Tentu saja, dan di sini akan kita jumpai kekosongan. Karena banyak sumber yang kita gunakan untuk menafsirkan sejarah itu berasal dari aparat kolonial. Tidak banyak petani, untuk bicara terus terang, yang punya kesempatan untuk menuliskan pendapat dan pikiran mereka dengan jelas dan menyimpannya untuk generasi berikut.
Jadi kita harus memanfaatkan sumber-sumber yang sudah ada. Dan banyak sumber, termasuk yang saya gunakan, menunjukkan sudut pandang sepihak itu. Itu menyebabkan kita harus, katakanlah, membaca tidak hanya apa yang tersurat, tapi juga apa yang tersirat. Selain itu kita juga harus mencari sumber-sumber yang tampil dengan suara lain, suara membangkang yang lain dari sejarah arus utama.

RNW: Di sini Anda kemudian menemukan pendapat bahwa kalau petani Belanda di Propinsi Zeeland dipaksa menanam dan hasilnya dibeli dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar maka mereka pasti akan marah menolak. Sementara petani Pasundan dianggap selalu menurut, tapi ternyata mereka berontak juga?

JB: Iya, benar itu. Para penulis Belanda sendiri sebenarnya juga ada yang tidak berpendapat demikian. Mereka menentang gagasan bahwa warga Pasundan mau saja dikuasai. Cara petani ini berhubungan dengan para menak, bangsawan setempat, juga sangat asertif. Mereka tidak tunduk atau menyerah saja, seperti yang digambarkan dalam sejarah kolonial.

RNW: Karena itu Anda merasa perlu adanya koreksi?

JB: Ya, tapi bukan koreksi asal koreksi, atau koreksi karena hanya ingin mengeluarkan pendapat lain. Tapi untuk menunjukkan bahwa sumber-sumber itu banyak yang hanya bersifat sepihak.

RNW: Laporan-laporan yang mengeluarkan pandangan lain, seperti yang ditulis oleh Van Rees atau dalam buku Anda yang lain, seperti yang ditulis oleh Remrhev, laporan-laporan semacam itu selalu ada. Mengapa laporan semacam itu tidak ditindaklanjuti?

JB: Jangan tanya pada saya, karena saya sendiri menekuni laporan-laporan itu. Dan saya melihat ada semacam keengganan yang kemudian menghalangi tampilnya pendapat-pendapat lain. Dan adalah tugas seorang sejarawan, bukan hanya sejarawan Indonesia, untuk juga awas pada hal-hal semacam itu.

Rabu, 20 Oktober 2010

Wawancara Radio Nederland Wereldoroep dengan Prof. Jan Breman (I)

Setelah membaca liputan Ibrahim Isa pada peluncuran buku Koloniaal profijt van onvrije arbeid karya Prof. Jan Breman, baiklah kita ikuti wawancara Joss Wibisono dari Radio Nederland Wereldomroep (RNW) dengan Prof. Jan Breman yang disalin dari laman RNW berikut ini:

PREANGER STELSEL: TANAM PAKSA KOPI DI PASUNDAN

Di Indonesia, Tanam Paksa selalu dikaitkan dengan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch: penggagas cara Belanda mengeruk kekayaan dari koloninya itu. Tanam Paksa ini berlangsung pada abad 19, tepatnya dari tahun 1830 sampai 1870.

Tetapi menurut profesor Jan Breman, gurubesar emiritus pada Universiteit van Amsterdam, Tanam Paksa yang bahasa Belandanya cultuurstelsel itu sudah dimulai pada abad 18, sejak zaman VOC. Dan yang ditanampaksakan bukanlah tebu atau nila, melainkan kopi.

Tanam paksa pendahuluan itu disebut Preanger Stelsel dan diberlakukan di Pasundan, seperti diuraikan panjang lebar pada buku terbarunya Koloniaal profijt van onvrije arbeid yang kira-kira berarti keuntungan kolonial dari buruh yang tertindas. Lebih lanjut tentang sejarah Preanger Stelsel, berikut penjelasan profesor Jan Breman.

Jan Breman [JB]: Bisa dikatakan Tanam Paksa yang oleh orang Belanda selalu disebut Cultuurstelsel adalah kelanjutan Preanger Stelsel yang hanya diterapkan di Pasundan. Sistem ini dimulai sekitar tahun 1720 dan beberapa unsur Preanger Stelsel terlihat kembali pada Cultuurstelsel yang dimulai pada tahun 1830.

Menak dan sentana
Beda antara Preanger Stelsel dengan Cultuurstelsel adalah bahwa kalangan bangsawan Sunda dikerahkan untuk memimpin budidaya kopi, dari awal abad 18 itu. Sedangkan di wilayah Jawa lainnya, pada zaman Cultuurstelsel, para bangsawan, misalnya bupati, tidak diikutkan dalam memimpin produksi tanamannya. Pimpinan budidaya tanaman jatuh ke tangan pemimpin desa, kepala desa dan pimpinan desa lain yang mengendalikan para petani. Tetapi di Pasundan yang berperan adalah para menak dan sentana, yang terakhir ini adalah bangsawan Sunda yang lebih rendah. Bersama, mereka terlibat dalam pengendalian budidaya kopi.
Itu perbedaan pertama, jadi bangsawan setempat dilibatkan. Perbedaan lain juga masih ada. Misalnya akibat pengerahan para bangsawan itu, para petani Sunda juga harus menyerahkan panen tanaman paksa, tetapi juga panen padi mereka dalam jumlah besar. Pada zaman kekuasaan Gubernur Jenderal Daendels jumlah itu meningkat sampai seperlima panen padi. Itu merupakan semacam gaji bagi para menak dan sentana Pasundan. Sedangkan di tempat lain hal semacam itu tidak terjadi.
Itu dua contoh perbedaan utama antara keduanya. Tapi perbedaannya adalah bahwa budidaya beberapa tanaman yang berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Kalau di daerah-daerah lain tanamannya adalah tebu atau indigo, maka di Pasundan budidayanya adalah kopi.

Radio Nederland
[RNW]: VOC itu ke Nusantara karena tertarik rempah-rempah, merica, pala dan cengkeh. Tapi ternyata mereka tertarik juga pada kopi, mengapa kopi? 

VOC kopi? 
JB: Ya, itu sangat menarik. Kalau kita melihat sejarah VOC, terutama sejarah awalnya, maka terlihat bahwa Kumpeni datang ke kepulauan Nusantara karena rempah-rempah, cengkeh, pala dst. Waktu itu VOC menduduki Banda dan pulau-pulau lain di Indonesia timur. Tetapi, sebenarnya sudah sejak awal abad 18, VOC memperkenalkan tanaman-tanaman baru di Nusantara dan yang terpenting adalah kopi.
Tanaman perdu ini berasal dari India selatan dan dibawa ke Batavia, markas besar VOC untuk kemudian disebar ke tempat lain. VOC berminat pada kopi karena sangat laku di pasar dunia. Kolonialisme adalah juga salah bentuk apa yang sekarang kita sebut globalisasi, mondialisasi. Dan yang juga penting adalah percepatan datangnya sistem dunia. Itu bersamaan dengan pemasaran produk terbaru. Kopi adalah salah satu contoh terpentingnya.
Menariknya, sedikit sekali kajian yang terbit tentang Preanger Stelsel. Tidak banyak perhatian orang diarahkan padanya. Dalam buku ini saya berupaya menjelaskan bahwa ini adalah langkah penting dalam penguasaan kolonial.

RNW: Kopi itu sangat laku di pasaran dunia, tetapi butuh waktu lama untuk membudidayakannya, apalagi jika dibandingkan dengan gula atau indigo. Itukah alasannya kenapa akhirnya Preanger Stelsel dihentikan?
 
JB: Memang kopi itu butuh waktu lama untuk menanamnya, sama lamanya dengan teh sebagai pengganti kopi. Dalam buku ini saya tulis bahwa kopi dihapus sebagai akibat perlawanan petani Sunda. Thesis saya adalah bahwa perlawanan itulah penyebab dicabutnya Tanam Paksa, dan bukan pertimbangan-pertimbangan lain yang dilakukan oleh penguasa kolonial. Para petani Pasundan sangat benci tanaman kopi dan menolak membudidayanya, paling sedikit dalam jumlah yang diwajibkan oleh penguasa.
Sesudah itu muncul budidaya teh, setelah hilangnya cultuurstelsel. Teh ditanam bukan hanya di Jawa Barat, melainkan juga di bagian Jawa yang lain. Teh maupun kopi adalah tanaman lama. Tebu misalnya sudah bisa dipanen dalam 14 bulan. Tetapi kopi, kalau dibudidaya dengan baik, dibutuhkan waktu lama. Dan itu sudah terbukti di India selatan dan Sri Lanka. Tapi di Pasundan tidak terjadi karena sangat dibenci oleh petani setempat.

RNW: Sudah dijelaskan bahwa dalam Tanam Paksa kopi ini, bangsawan Sunda, yaitu para menak dan sentana terlibat di dalamnya. Bagaimana mereka bisa tunduk pada VOC?

Mitos kolonial
JB: Cerita yang sampai sekarang dianut adalah bahwa peran para menak itu merupakan kelanjutan politik pemerintahan yang sudah ada, juga di Pasundan. Ini saya juluki mitos kolonial. Dalam buku ini saya tunjukkan bahwa para menak itu dijadikan elite dan memperoleh lebih banyak peluang untuk memperbudak para petani dan memperoleh keuntungan, karena para menak ini juga memperoleh sebagian hasil tanam paksa. Dengan begitu para menak dibuat lebih berkuasa katimbang sebelumnya, ketika masih belum ada kekuasaan kolonial.
Waktu itu lebih banyak terjadi perundingan saling tawar antara elite dan para petani. Sebagai ganti perlindungan dan kesempatan kerja yang diperoleh para petani dari menak dan sentana, para elite memperoleh sebagian panen padi kaum petani. Sebelum Belanda masuk, hubungan keduanya jauh lebih seimbang, katimbang setelah VOC masuk. Waktu itu kekuasaan para bangsawan Sunda meningkat tajam, sedangkan kekuasaan rakyat justru makin berkurang.

RNW: Setelah VOC bubar, Jawa lalu dikuasai oleh Inggris, pada awal abad 19. Bagaimana kekuasaan para menak? Apakah masih sama seperti pada zaman VOC, kan VOCnya sudah tidak ada?

JB: Kekuasaan para menak ini tetap sama, karena Raffles, gubernur jenderal Inggris yang didatangkan dari India untuk menguasai Jawa, tidak berani menggangu perimbangan kekuasaan. Dia takut para bangsawan Sunda itu akan melawannya. Yang berubah pada zaman kekuasaan Inggris itu adalah suasana Eropa. Waktu itu di Eropa berkecamuk perang akibat ulah Napoléon. Prancis berhadap-hadapan dengan Inggris, dan Prancis memperkenalkan sistem kontinental. Ini dilawan oleh Inggris. Akibatnya Inggris menghalangi semua kapal dari wilayah koloni di Asia dan Afrika masuk Eropa.

Kopi berkurang
Kopi tidak bisa dipasarkan lagi, karena Eropa merupakan pasar utama kopi. Karena kopi tidak bisa dipasarkan maka juga tidak ada gunanya mewajibkan para petani untuk membudidaya kopi. Kopinya sendiri teronggok di gudang dan para bangsawan rugi.
Itu berarti bahwa di zaman kekuasaan Inggris, budidaya kopi sangat dikurangi, tetapi situasi politik seperti terlihat pada hubungan tuan tanah dengan para petani tidak banyak berubah. Raffles sebenarnya ingin menghapus peran bangsawan lokal ini. Selain itu dia bisa dikatakan merupakan penemu sistem pemerintahan desa. Di sini peran bangsawan lokal dihapus, dan penguasa kolonial dibuat berhubungan langsung dengan warga pedesaan. Untuk itu dibutuhkan kepala desa supaya bisa mengendalikan warga desa. Tetapi di sebagian besar Jawa sudah tidak ada lagi kalangan bangsawan.

RNW: Soal sejarah dan penulisan sejarah. Setahu saya Anda adalah orang Belanda pertama yang menggunakan istilah tanam paksa. Bagi orang Indonesia yang mengalaminya yang penting memang paksaan itu. Sedangkan bagi orang Belanda yang penting adalah stelselnya, sistemnya. Ini jadi seperti Anda mengambil alih cara orang Indonesia menulis sejarahnya?

JB: Coba baca tulisan teman baik saya Sediono Tjondronegoro di sampul belakang buku ini. Dia menyatakan harapannya supaya edisi bahasa Indonesia buku ini juga terbit. Saya juga berpendapat demikian. Karena menurut saya, sejarah kolonial itu selalu ditulis dari sudut penguasa. Saya sendiri ingin melihat masa lampau ini dari sudut orang Indonesia. Dengan begitu saya bisa mendapatkan gambaran tentang ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh VOC dan kemudian oleh penguasa kolonial.

Petani Zeeland
Seperti bisa dibaca pada notisi seorang pembuat kebijakan Belanda pada awal abad 19. Waktu itu dia sudah mengatakan, apa yang akan dilakukan oleh seorang petani Zeeland (propinsi di Belanda barat daya), kalau dia diwajibkan menghasilkan dan hanya memperoleh seperlima harga pasar bagi hasil budidayanya? Dia pasti akan marah dan menolak melakukannya atau berupaya menolak melakukan hal yang diwajibkan terhadapnya. Saya banyak mencurahkan perhatian pada ketidakbebasan, pada pikiran-pikiran rasis yang beredar di kalangan penguasa kolonial, dan juga pada kekerasan yang digunakan untuk memaksa para petani melakukan apa yang dimaui penguasa kolonial."
Setiap kali mencari bukti bagi thesis-thesis ini, pada setiap periode, saya selalu menemui pendapat-pendapat para pembangkang. Para pembangkang ini ibarat garam pada adonan hambar. Mereka punya pendapat lain. Mereka mengatakan hal-hal yang sebenarnya tidak boleh diucapkan. Pembangkang ini memperlihatkan sisi buruk sebuah peristiwa. Dan pada setiap periode, juga di dalam aparat kolonial, terdengar suara membangkang yang menyatakan, "Ini sesuatu yang terkutuk. Ini ketidakadilan, ini pemerasan, ini penindasan. Perkebunan kopi itu adalah perbudakan. Dan itu tidak boleh dilakukan."

RNW: Dengan kutipan pendapat tentang petani Belanda itu, maka jelas buku ini tidak mengukur masa lampau dengan kearifan masa kini.
 
JB: Tidak, tapi saya juga tidak setuju kalau dikatakan bahwa masa lampau tidak boleh dimengerti dengan pengetahuan masa kini. Itu omong kosong. Mengapa tidak? Itu yang pertama. Yang kedua, harus saya tekankan saya bukan orang pertama yang bicara tentang penindasan dan paksaan, di dalam sejarah pasti ada orang yang mengatakan sistem ini terkutuk.

Asisten residen
RNW: Kalau tidak salah salah satu orang itu adalah Otto van Rees, dan penelitian anda didasarkan pada penemuan-penemuannya. Tapi bagaimana kita bisa mengerti laporan Van Rees ini, konteks politiknya seperti apa?

JB: Ada dua alasan. Pada sekitar tahun 1850, makin jelas bahwa budidaya kopi yang dipaksakan itu tidak bisa memenuhi permintaan pasar dunia. Pemasokannya di pasar internasional mengalami hambatan. Rakyat makin berani menolak perintah. Jadi harus ada jalan keluar lain. Itulah reformasi produksi pertanian. Itu pertama.
Kedua, yang ditemui oleh penguasa kolonial adalah bahwa para bangsawan Sunda itu tidak lagi melayani kepentingan kolonial, melainkan kepentingan mereka sendiri. Misalnya mereka tidak berupaya sekuat tenaga bekerja sebagai pimpinan perusahaan perkebunan. Banyak yang tidak beres pada perusahaan itu. Penguasa kolonial menuduh mereka tidak berupaya sekuat tenaga untuk bekerja seperti yang dimaui oleh penguasa. Kita memang bisa menghargai pendapat Van Rees, tetapi dengan catatan kritis.
Jangan dilupakan bahwa aparat kolonial itu tidak pernah dipermasalahkan. Para bupati terus-terusan dinilai. Tetapi bagaimana dengan asisten residen, residen, dan gubernur jenderal sendiri? Apa yang dikerjakan oleh penguasa kolonial itu tidak pernah dibahas. Sisi lain aparat kolonial itu tidak pernah diteliti dengan baik. Laporan Van Rees juga tidak membahas kerja aparat kolonial ini.
Contohnya, ketika Otto van Rees sedang melakukan penelitian, asisten residen Tjiandjoer dipecat. Dia menghina kepala desa dan menyiksa para petani. Itu jelas sebuah peristiwa yang tidak kecil. Tapi tidak ada laporan mengenai hal ini. Ingat asisten residen itu adalah jabatan yang cukup tinggi. Dia bukan seorang jurutulis, tapi seorang yang penting dengan rayon sendiri. Yang menarik adalah, ketika Van Rees sibuk menulis laporannya, ternyata laporan itu sama sekali tidak menyebut insiden ini.
Asisten residen ini kemudian dikenai sanksi, dia dicopot dari jabatannya. Tapi tidak dikeluarkan dari dinas pemerintahan Hindia. Dia hanya mendapat fungsi lain, fungsi yang tidak membuatnya harus berurusan dengan masyarakat tani. Itulah caranya. Kalau sudah ada kritik dan sudah dijatuhkan sanksi, maka biasanya lembut-lembut saja. Kalau yang tidak memenuhi ketentuan itu adalah kepala desa atau petani, maka mereka dihukum dengan kekerasan.

Demikian bagian pertama wawancara dengan Jan Breman tentang Preanger Stelsel. Pada bagian kedua bisa diikuti bagaimana Belanda selalu membanggakan sistem kolonialismenya di Nusantara.

Kamis, 30 September 2010

Peluncuran Buku Baru Jan Breeman


Judul buku: Koloniaal Profijt Van Onvrije Arbeid
Karya: Jan Breeman
Tebal: 456 halaman
Penerbit: Amsterdam University Press
Tahun: 2010

Posting kali ini berbeda dari biasanya. Ini adalah laporan pandangan mata dari Ibrahim Isa, esais Indonesia yang kini tinggal di Belanda, pada saat peluncuran buku baru Jan Breeman berjudul Koloniaal Profijt Van Onvrije Arbeid. Het Preanger Stelsel van gedwongen Koffiteelt op Java, 22 September lalu di Amsterdam. Selamat menikmati!

PROF. JAN BREMAN:
"LABA KOLONIAL dari KERJA-PAKSA DI JAWA".
Oleh: Ibrahim Isa**

Kemarin malam, Rabu 22 September aku menyempatkan diri pergi ke SPUI 25, Amsterdam. Di pusat kota. Baru pertama kali itu aku berkunjung ke sana. Ternyata gedung yang bernama SPUI 25 itu adalah sebuah gedung pusat budaya (akademis). Dalam bahasa Belanda namanya SPUI - Academisch-cultureel Centrum. Di tempat itu dilakukan pelbagai kegiatan seperti pertemuan, a.l ceramah dan peluncuran buku.

Sehari sebelumnya aku ditilpun sahabatku dr Coen Holtzapple, ketua Stichting Wertheim. Ia mengingatkan agar cepat merespon undangan (jika sudah menerimanya) untuk menghadiri peluncuran buku Prof dr Jan Breman, berjudul Koloniaal Profict van Onvrije Arbeid. Het Preanger Stelsel van gedwongen Koffiteelt op Java. Peluncuran itu dilangsungkan pada hari Rabu malam, 22 September lusa ini. Kita harus hadir, kata Coen. Bukankah Breman sahabat kita? Memang, Prof Jan Breman adalah sahabat kental Stichting Wertheim (Wertheim Foundation). Pada waktu penyampaian Wertheim Award 2008 kepada Benny Setiono, di Universitas Amsterdam yang bicara di situ adalah Prof dr Jan Breman. Aku segera menilpun Nyonya Ebisse Rauw dari SPUI 25 untuk memastikan kedatangan kami berdua. Semua undangan yang hadir malam itu kira-kira 100 orang, terdaftar dalam undangan yang merespon.

Siapa Prof dr Jan Breman?
Baik kutegaskan dengan pasti! Prof Jan Breman, seperti halnya teman-teman dari Stichting Wertheim, Komite Indonesia, Holland, banyak pakar dan sarjana Belanda lainnya di KITLV, IISG dan pelbagai lembaga ilmu Belanda, adalah SAHABAT INDONESIA.

Prof Jan Breman adalah emeritus guru besar Comparative Sociology, tergabung pada Amsterdam Instituut voor Sociaal-Wetenshcap Onderzoek - Lembaga Amsterdam Untuk Penelitian Pengetahuan Sosial - Ia mengambil ilmu-ilmu sosial sebagai mata-pelajaran-utama di Universitas Amsterdam serta mengadakan spesialisasi Studi-studi Asia Tenggara.

Kepindahannya ke Universitas Amsterdam pada 1987 untuk memberikan kuliah comparative sociology berbarengan dengan didirikannya post graduate studies dari Centre For Asian Studies Amsterdam - CASA. Beliau menjabat dekan di CASA. Dalam kaitan ini beliau sering berkunjung ke India dan Indonesia. Dalam kurun waktu lima tahun Prof Breman pernah melakukan kerja lapangan antara lain di Jawa Barat. Terutama mengenai buruh pertanian dan kota serta masalah employment. Karya-karya Breman antara lain Good Times and Bad Times in Rural Java. A Study of Socio-Economic Dynamics toward the End of Twentieth Century (KITLV, Leiden 2002). Juga bisa dibaca karyanya tentang Pengawasan Tanah dan Kerja; Sebuah Kasus Studi Krisis Agraria dan Reform di Daerah Cirebon selama Puluhan Tahun Pertama Abad ke 20. KITLV, Verhandelingen, 1983. Dan banyak lagi tulisannya mengenai hasil risetnya di India dan Indonesia. Sampai sekarang Prof Breman masih duduk di dewan redaksi pelbagai jurnal profesional internasional.

Hadir di panel diskusi peluncuran buku Breman malam itu, a.l. Prof Jan Pronk, mantan menteri kabinet Wim Kok, Adriaan van Dis (penulis) dan Heather Sutherland, gusu besar emeritus sejarah bukan-barat. Diskusi mengenai buku Breman dan karya yang ditekuninya sampai 30 tahun itu, cukup menarik.

Tetapi yang hendak kuceritakan ialah mengenai buku itu sendiri.

Kata-kata yang dikutip Jan Breman pada halaman pertama bukunya, adalah dari penulis besar Multatuli, sbb:

"Namun, datanglah orang-orang asing dari Barat, yang menjadikan dirinya penguasa dan tuan atas negeri ini. Mereka hendak cari untung dari kesuburan tanahnya, dan memerintahkan penduduk agar sebagian dari karya mereka menghasilkan urusan lainnya' -- ketika itu orang bicara soal beras, yang diperlukan bagi orang-orang Jawa untuk hidup -- 'mengenai urusan lainnya, yang bisa memberikan keuntungan lebih besar di pasar-pasar Eropah. Untuk menggerakkan penduduk ke arah itu, tidak lebih banyak diperlukan selain suatu sistim-kenegaraan yang sederhana. Mereka-mereka itu mematuhi Kepala-Kepala mereka (yang dimaksudkan adalah penguasa bumiputera setempat, I.I.). Jadi yang diperlukan adalah merebut/menguasai Kepala-Kepala tsb melalui suatu pembagian keuntungan . . . . dan itu berhasil sepenuhnya".

Khayati isi kutipan Multatuli yang ditempatkan di halaman pertama dari bukunya, dari situ orang bisa mengenal siapa Prof Jan Breman.

Jan Breman mengungkap salah satu dari halaman-halaman hitam sejarah Nederland dan menunjukkan bagaimana VOC dan penguasa negeri yang menyertainya, yang telah meninggalkan jejak-jejak dalam pada organisasi pertanian Jawa. Dalam bukunya ini  Breman membehandel (mengkaji--ed) pelaksanaan dan perluasan penanaman-kopi di dataran tinggi Jawa Barat di bawah kekuasaan kolonial.

Breman memperlihatkan betapa penguasa baru melibatkan penguasa feodal setempat (bumiputera) sebagai bentuk pemerintahan murah untuk memaksa penduduk melakukan kerja paksa. Dan itu berhasil sepenuhnya, seperti yang ditulis Multauli.

Dalam studi ini Breman melakukan penunjangan sebenarnya mengenai gugatan yang dilakukan Multatuli satu setengah abad yang lalu. Apa sebabnya berlaku dan éfék stelsel Preanger mengenai penggunaan kerja-tak-bebas, dengan mana penguasa kolonial unggul, merupakan elemen menyolok dalam pembelaan mengenai politik yang berlangsung.

Studi ini bisa dianggap sebagai peninjauan mengenai penulisan sejarah dan sebagai suatu uraian pengetahuan-sosial mengenai karya Multatuli. Sekaligus terdapat gambaran langka tentang masa awal-kolonial. (Sumber: Amsterdam University Press)

Kalangan perguruan tinggi Belanda, internasional juga memberikan sambutan hangat dengan terbitnya karya Prof Jan Breman ini.

John Ingelson, seorang historikus mengenai masalah kolonial Indonesia, memuji karya ilmiah Breman sebagai - Pernyataan kuat dan berargumentasi mengenai politik kolonial yang berlangsung dan éféknya, yang menunjukkan bagaimana penduduk 'inlander' dipaksa kerja untuk menciptakan hasil-surplus yang telah menjadikan mereka miskin-papa, di lain fihak menjadikan penguasa kaya-raya, sehingga memberikan syarat bagi negeri penjajah untuk mengadakan modernisasi.

Marcel van de Linden dari ISSG Amsterdam, menyatakan a.l: Buku yang merupakan perintis dari seorang sosiolog-pertumbuhan Nederland terpenting menunjukkan bagaimana suatu rezim kolonial di Hindia-Belanda 'menangani kerja-paksa' sebagai dasar pelaksanaan pertanian yang berorientasi ekspor. Tak pernah sebelumnya, -- berfungsinya kerja-paksa dikonstruksi sedemikian gablangnya.

S.M.P. Tjondronegoro, gurubesar emeritus IPB dan wakil ketua Akademi Pengetahuan Indonesia, menyatakan bahwa buku Breman merupakan laporan mengesankan mengenai penderitaan dan ketidak-adilan masa-lampau yang tak boleh dilupakan. Suatu edisi Indonesia dari buku ini akan sangat disambut.

Heather Sutherland, gurubesar emeritus sejarah bukan-barat, Vrije Universiteit Amstedam (VU) menandaskan a.l.: Studi yang baik ditunjang ini mempersoalkan muncul dan kerjanya suatu sistim pemerasan luarbiasa, yang telah mengubah suatu daerah 'frontir' menjadi leveransir utama kopi untuk pasar dunia. Membaca buku ini merupakan sesuatu yang memuaskan, menguntungkan bagi pakar sejarah Indonesia dan bagi siapa saja yang peduli perubahan agraria, kerja dan pembentukan negara di periode kolonial.

Demikianlah malam peluncuran buku Prof Jan Breman telah berlangsung dengan lancar dan sukes. Aku sempat membeli buku Breman itu. Sambil mengucapkan selamat kepada Prof Breman, aku minta ia menandatangi bukunya yang baru kumiliki itu.

Breman tersenyum. Diambilnya sebuah ballpoint dan menuliskan di buku baru itu, kalimat berikut ini: 'Voor Isa, die volhoudt!' -- Breman, 22/09/2010. Membaca tulisan-tangan Breman itu, aku senyum dan mengucapkan terima kasih kepada beliau.*

**Tulisan ini diambil dari blog Ibrahim Isa dengan seizin Ibrahim Isa sendiri. 

Liputan lain mengenai peluncuran buku baru Jan Breman juga bisa Anda ikuti di situs Radio Nederland Wereldomroep (RNW) di sini.  Dan jika Anda mengerti bahasa Belanda, ikuti wawancara Prof. Jan Breman mengenai bukunya di sini. (Pengelola)

Minggu, 25 Juli 2010

Tania Li 2009 “To Make Live or Let Die? Rural Dispossession and the Protection of the Surplus Population”, Antipode 41(s1): 66-93.



Penyumbang naskah: Elisabet Tata & Noer Fauzi Rachman

Tulisan Tania Li ini adalah salah satu tulisan yang dipublikasikan dalam rangka perayaan ulang tahun ke 40 jurnal Antipode pada 2009 lalu. Ini jurnal akademis yang membahas isu-isu geografi manusia. Di sepanjang tahun itu, sejumlah ilmuwan sosial kritis dari berbagai lintas disiplin ilmu – umumnya kritis terhadap pembangunan kapitalis – diundang menulis beragam tema aktual menggunakan pendekatan baru.

Di sini Tania Li mengajak kita melihat akibat kapitalisme di berbagai wilayah pedesaan di Asia. Juga menyimak pilihan politik yang diambil pemerintah untuk menyikapinya.

Menurut Li, perkembangan kapitalisme bukan suatu perjalanan yang dirancang dengan master-plan yang sudah jadi. Li menganjurkan agar kita melihat situasi ekonomi politik yang sedang berlangsung sebagai sesuatu yang perlu dianalisis baik dalam kontek ketidaksamaan ruang (spatial) dan waktu (temporal) dalam konjungtur (conjuncture) tertentu dimana pemutusan hubungan antara modal dan buruh, berbagai kontradiksi ataupun kejanggalan muncul dan dilembagakan.

Pada intinya, melalui tulisan ini, sebenarnya Li tengah berupaya mencari jalan untuk mewujudkan keadilan sosial dengan mentransformasikan kapitalisme melalui pengamatan dan keterlibatan di lapangan dalam konjungtur tertentu.

Li berangkat dari adanya kenyataan dua kekuatan baru di masa kini yang “menyerang” wilayah pedesaan di Asia. Mereka adalah: (i) hilangnya akses rakyat pedesaan atas tanah di suatu wilayah akibat penutupan akses (enclosure) baik oleh proyek atau badan usaha industri ataupun kegiatan konservasi milik pemerintah atau swasta, dan (ii) rendahnya daya serap tenaga kerja lokal oleh industri yang dibangun di sekitarnya.

Bukannya menjadi cadangan tenaga kerja, mereka yang terlempar dari usaha pertanian karena tidak terserap industri kemudian menjadi apa yang disebut Karl Marx dalam Das Capital Volume 1 sebagai relative surplus population. Mereka menjadi pengangguran yang terlempar dari pertanian, tak sanggup masuk ke lapisan tenaga kerja industrial, lalu terlunta-lunta di pedesaan dan perkotaan. Menjadi kaum telantar.

Lantas, mampukah kaum telantar itu bertahan hidup? Siapa yang bertanggung jawab untuk menanggung hidup mereka? Mengapa mereka perlu menjalankan kewajiban menanggung hidup kaum telantar itu?

Rangkaian pertanyaan itulah yang menggoda Li untuk mencari alat konseptual yang memadai untuk menjelaskannya.

Biopolitics, politik yang mengatur kehidupan orang banyak


Untuk mendiskusikan pertanyaan tadi, Tania Li memulai dengan tinjauan atas sumbangan Michael Foucault yang memperkenalkan konsep “biopolitics” - politik-mengatur-kehidupan-orang-banyak - dalam negara modern.

Di Eropa, konsep itu mulanya dilakukan para pejabat dan lembaga-lembaga pemerintahan untuk mencampuri kehidupan satu orang, beberapa orang, atau semua penduduk dari berbagai golongan dalam urusan kesehatan dan kesejahteraan. Dalam perjalanan waktu, kita menyaksikan bahwa semua negara modern dimana pun mengusahakan, mengharuskan, dan membenarkan adanya kekuasaan pemerintah untuk menjalankan biopolitics ini.

Sayangnya, menurut Li, Foucault tidak menyebut dalam kondisi seperti apa dan kapan sebaiknya konsep itu dilaksanakan. Foucault juga tak banyak cerita soal adanya skenario politik pembiaran mati. Seperti misalnya, mengapa pemerintah memilih untuk tidak campur tangan ketika mereka mampu, atau mengapa pemerintah memilih untuk mempertahankan kehidupan lapisan masyarakat tertentu dan membiarkan yang lain mati?

Di masa kini, pilihan untuk menjalankan skenario pembiaran mati tidak dilakukan secara kasat mata. Ia menjadi kekerasan diam-diam dengan cara membiarkan sejumlah orang hidup singkat dalam kondisi serba kekurangan. Di negara-negara Asia, indikasinya bisa dibaca dari berapa angka harapan hidup dan berapa orang yang mampu bertahan hidup dengan kurang dari satu dolar per hari.

Li berpendapat mencampuri kehidupan masyarakat menjadi penting ketika mereka tak lagi punya akses terhadap alat produksi ataupun upah sebagai dua syarat untuk menghasilkan kondisi agar bisa melanjutkan hidup.

Jika kelompok yang tergolong surplus population itu mampu bertahan hidup, itu bukan karena mereka telah menjadi pekerja upahan melainkan karena biopolitics yang bekerja untuk memastikan keberlanjutan hidup mereka. Dan, kekuatan sosial seperti apa yang mampu melakukan hal itu?

Gagal-sambung dalam Transisi Agraria

Tania Li memulai kajian dengan menelusuri cara-cara penempatan surplus population ini dalam konteks transisi agraria dengan meramu pemikiran Karl Marx hingga teorisasi terbaru yang disumbang oleh, antara lain, Jan Breman, Henry Bernstein, Michael Watts, Jason Read, Akram-Lodhi, dan Cris Kay.

Li kemudian menyimpulkan bahwa sejumlah gagal-sambung bisa terjadi antara usaha pemilik modal untuk memutus ikatan petani dengan tanahnya dan usaha memasukkan petani sebagai cadangan tenaga kerja untuk industri. Gagal sambung ini bisa berakibat fatal bagi rakyat yang kemudian menjadi surplus population itu.

Namun, terbitnya laporan Bank Dunia pada 2008 yang berjudul “Agriculture for Development” seolah menyatakan bahwa surplus population bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.

Li menyayangkan pendapat Bank Dunia.

Ia mengkritik Bank Dunia hanya menggunakan narasi linear. Ini pendekatan yang mengasumsikan fenomena transisi agraria berjalan linear dan sama di semua tempat. Artinya, fenomena yang terjadi dan yang berlangsung di semua tempat adalah perubahan dari pertanian ke perindustrian, dari desa menjadi kota, dari petani menjadi petani pengusaha.

Apa yang membuat Li kecewa adalah bahwa laporan itu tidak secara detil membicarakan usaha untuk mensejahterakan orang-orang yang telanjur tercabut dari akarnya. Seolah ratusan juta penduduk desa diasumsikan akan menemukan caranya sendiri di jalur transisi.

Dalam tulisan ini, Li menyebut ada narasi tandingan lain untuk menjelaskan fenomena transisi agraria. Narasi yang terinspirasi Marx ini menghubungkan proses pengusiran penduduk desa dengan munculnya kapitalisme yang disebabkan tiga hal yaitu: penyerobotan tanah dan sumber daya lain untuk menciptakan modal awal, penciptaan kaum proletar, dan pembentukan cadangan buruh.

Cadangan buruh diperlukan sebagai simpanan tenaga kerja yang bisa dimanfaatkan sewaktu-waktu jika diperlukan dengan upah yang rendah. Oleh karena itu, mereka yang dijadikan sebagai cadangan buruh dijaga supaya tetap hidup.

Sejarah kemudian membuktikan bahwa penciptaan cadangan buruh tak selamanya berfungsi. Pengusiran terhadap orang-orang kulit hitam yang dibuat untuk menciptakan cadangan buruh di Bantustan, Afrika Selatan misalnya, ternyata malah menghasilkan surplus population karena orang-orang itu tidak pernah dipekerjakan dan dibiarkan begitu saja.

Menurut Li, pada 2000-an, terdapat tiga penyebab utama terjadinya penghilangan akses tanah di wilayah pedesaan Asia. Tak satupun terkait dengan prospek daya serap buruh. Pertama, pengambilalihan tanah oleh negara, atau oleh negara yang didukung perusahaan, praktik yang terjadi di China, India, dan Asia Tenggara. Kedua, ketidakmampuan sekelompok petani kecil korban pengusiran untuk melawan sistem pertanian yang didukung subsidi dan tarif yang memihak. Ketiga, penutupan akses di wilayah perbatasan hutan untuk konservasi.

Usulan untuk Memahami Program-program Biopolitics


Proses penghilangan akses tanah yang dikombinasikan dengan rendahnya daya serap buruh, dan sejumlah skenario politik yang memengaruhi seperti pengkotak-kotakan, diskriminasi ras, ataupun stigma penggolongan penduduk menciptakan pola-pola penderitaannya masing-masing.

Sebanyak 700 juta orang di Asia bertahan hidup dengan pendapatan di bawah satu dolar per hari. Namun, bagi mereka yang kehilangan hak kepemilikan atas tanah dan tak punya akses terhadap upah, perlu ada jalan keluar yang lain. Tania Li menyediakan satu bahasan tersendiri soal bagaimana pengalaman gerakan sosial pada 2001 di India memperjuangkan “hak atas pangan” (right to food) menghadapi dan menangani masalah ini.

Li usul untuk memahami program biopolitics sebagai sebuah kombinasi dari berbagai elemen yang bertemu dalam suatu konjungtur tertentu dimana berbagai kekuatan sosial tampil untuk mengartikulasikan dan melembagakan beragam kontradiksi yang berlangsung di suatu wilayah tertentu dalam ruang dan waktu tertentu pula.

Sebagaimana hubungan antara kapital dan buruh yang membuat “pembangunan kapitalis” perlu dikaji sepanjang sejarah, demikian pula halnya dengan program biopolitics yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan.

Meski demikian, program biopolitics yang dimaksud Li bukan seperti yang digagas Foucault yang merujuk pada dasar penciptaan sebuah “pemerintahan.”

Program ini bertujuan untuk melihat bagaimana berbagai kekuatan sosial ikut bekerja. Ini seperti yang ditunjukkan Karl Polanyi dalam Great Transformation (1994) mengenai persekutuan lintas kelas untuk menghadapi kecenderungan perusakan oleh pasar yang dikendalikan oleh dirinya sendiri, ibarat pesawat yang terbang dengan pilot otomatis.

Sayangnya lagi, menurut Li, Polanyi menyimpulkan bahwa “masyarakat secara keseluruhan” memiliki kapasitas untuk menyeimbangkan dirinya sendiri saat menghadapi daya rusak pasar itu. Padahal, kenyataan sejarah tidak membuktikan kebenaran terhadap kesimpulan itu.

Li merujuk Mike Davis dalam Late Victoria Holocaust: El Nino Famines and the Making of the Third World (2002). Dalam buku ini terlihat bahwa kebijakan pembiaran-rakyat-mati di akhir jaman Victoria dibuat dengan perhitungan dan memiliki dasar pemikiran tertentu.

Dalam karyanya yang lain Planet of Slums (2006), Davis bilang kondisi serupa terulang lagi. Program penyesuaian struktural (structural adjustment program) pada 1980an – 1990an dengan sengaja melempar penduduk pedesaan negara-negara Dunia Selatan untuk memenuhi kebutuhan pasar industri di kota-kota sembari mengetatkan biaya kesejahteraan sosial. Kebijakan “pembiaran mati” yang menjadi pilihan utama saat itu kemudian dihadapi oleh gerakan tandingan seperti jaring pengaman sosial, skema-skema padat karya, dan Millenium Development Goal.


Bagi mereka yang punya pemahaman atas apa yang pernah terjadi di negara-negara Selatan pada masa kolonial, bisa melihat bahwa ini bukan hal yang sama sekali baru. Ia mirip seperti saat rezim kolonial yang memiliki cita-cita perlindungan sekaligus kebutuhan mencari keuntungan, stabilitas, dan agenda-agenda lainnya. Ugh, bagaimana memahami kontradiksi ini?

Li menulis, pendekatan yang bisa digunakan untuk memahami adalah dengan melihat bagaimana kontradiksi itu dipertahankan melalui praktik-praktik kompromi yang membuat kita pada akhirnya mampu melakukan penyangkalan (Moose 2008, Watts 2009). Atau kita bisa mendekatinya dengan pendekatan nasib buruk: bahwa penghilangan hak kepemilikan itu nyata sementara perlindungan sosial sekedar satu pembicaraan. Atau lagi, perlindungan itu nyata tapi minimal: swalayan dan mencegah terjadinya pemberontakan (Cowen dan Shenton 1996, Peck dan Tickell 2002).

Li sendiri memiliki pendekatan lain seperti yang sudah dituliskannya dalam The Will to Improve (2007). Ia berpendapat bahwa kaum telantar atau surplus population itu perlu membuat cita-cita hidup dalam bahasa mereka sendiri, sembari mengenali apa saja kontradiksi-kontradiksi yang membuat mereka lekas gagal.

Dalam perspektif ini, lanjut Li, tidak ada master plan. Program biopolitics hanya sebuah perkumpulan yang mampu mengajak seperangkat kekuatan sosial untuk bekerjasama, entah sekadar untuk memecah belah maupun menyatukannya kembali.

Pendeknya, program biopolitics ini bisa mengambil bentuk tertentu yang khas dalam menghadapi kontradiksi-kontradiksi yang sedang dihadapi dalam konteks pembangunan kapitalis dan pembentukan negara. Ia bisa berjalan dengan baik karena kondisi yang memungkinkannya tersedia. Biarpun pada kesempatan lain, program ini bisa jadi merosot tampilannya, atau bahkan bubar, karena kondisi yang menghidupkannya tidak lagi tersedia.*

Tambahan Informasi Terkait

Mau mendengarkan ceramah Tania Li mengenai topik ini secara langsung? Silakan klik di sini. Ini adalah ceramah Tania Li saat menjadi keynote lecture dalam salah satu sesi dari CCIG (the Center for Citizenship, Identities and Governance) Forum 10, pada 2 Februari 2010 lalu.

Jika berminat untuk memiliki artikel Tania Li ini dalam versi pdf, silakan kirim permohonan ke pengelola studi agraria dotkom melalui email: studiagraria@blogspot.com

Untuk merayakan ulang tahunnya yang ke 40, jurnal Antipode memberikan akses gratis kepada siapa saja untuk mengakses 40 key articles yang pernah diterbitkan sepanjang 1969-2009. Silakan klik di sini untuk mengunggah semua artikel tersebut.

Senin, 19 Juli 2010

Land Reform in Developing Countries: Property Rights and Property Wrongs

Judul buku: Land Reform in Developing Countries: Property Rights and Property Wrongs
Karya: Michael Lipton
Penerbit: Routledge
Tanggal terbit: 23 Juni 2009
Tebal buku: 384 halaman

Penyumbang Naskah: Noer Fauzi Rachman

Di awal abad 21 ini, agenda penguatan akses rakyat miskin pedesaan pada tanah dan kekayaan alam (land reform/agrarian reforms/reforma agraria) telah kembali menjadi salah satu pokok bahasan terdepan dalam agenda pembangunan berbagai badan internasional, dan sejumlah negara, serta organisasi gerakan sosial di Asia, Afrika dan Amerika Latin hingga negara-negara bekas komunis di Eropa Timur.

Karya baru Michael Lipton ini dikerjakan selama lebih dari duabelas tahun semenjak ia meninggalkan posisi resminya sebagai profesor di Institute of Development Studies (IDS), Sussex University. Saya menduga buku ini akan segera menjadi bahan bacaan utama dan perdebatan dalam studi dan kebijakan pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang. Tentunya, buku ini akan menguatkan agenda reforma agraria itu, khususnya pada badan-badan pembangunan internasional.

Lipton menganggap penting definisi objek karyanya (reforma agraria), dan karenanya dalam lampiran ia membuat uraian khusus perihal definisi reforma agraria yang ia pergunakan (halaman321-330).

Di halaman 328 ia mendefinisikan reforma agraria sebagai “legislation intended and likely to directly redistribute ownership of, claims on, or rights to farmland, and thus to benefit the poor by raising their absolute and relative status, power, and income, compared with likely situations without the legislation”  (peraturan perundang-undangan yang diniatkan dan memungkinkan untuk meredistribusi secara langsung kepemilikan, klaim, atau hak atas tanah pertanian, dan karenanya memberi manfaat bagi kaum miskin dengan meningkatkan status, kekuatan, dan pendapatannya secara relatif maupun absolut, dibandingkan dengan situasi sebelum adanya peraturan tersebut).

Sungguh sulit membuat suatu uraian ringkas yang adil untuk isi buku yang tiap babnya dipenuhi dengan kajian-kajian mendalam atas studi-studi terdahulu, tampilan ekstensif dari data longitudinal, perbandingan antar-negara dan kondisi kontemporer. Di masing-masing bab, Lipton menyajikan argumen-argumennya tersediri.

Berikut adalah uraian isi buku itu, untuk sekedar memberikan gambaran tentang isinya.

Selain pendahuluan dan lampiran, isi buku terdiri dari tujuh bab. Bab 1, dengan judul Goals, membedah apa saja tujuan reforma agraria, siapa yang akan menikmatinya, dan apa saja implikasi-implikasi dari kebijakan reforma agraria; tujuan utamanya berupa pengurangan kemiskinan dan mengatasi ketimpangan yang jomplang, serta hubungannya dengan perjuangan kebebasan; tujuan-tujuan lain yang berkait dengan reforma agraria, seperti peningkatan hasil pertanian, efisiensi dan pertumbuhan, stabilitas lingkungan ekologis dan keberlanjutan, stabilitas politik; tujuan-tujuan pemerintah dan badan donor pembangunan dalam membuat reforma agraria, serta tujuan-tujuan para pihak yang akan diuntungkan.

Bab 2, diberi judul Output, Efficiency and Growth Goals: Beyond the Inverse Relationship. Pertama-tama Lipton mensarikan relevansi debat perihal inverse relationship, yakni hubungan terbalik antara keluaran atau produktivitas pertanian dengan besaran usaha pertanian (farm size). Saya yakin, pembaca akan terpesona dengan bab ini. Kajian yang dibuat oleh Lipton pada bagian ini sangat kaya karena mendasarkan pada data perbandingan lintas waktu dan negara, serta implikasi dari tema-tema dalam inverse-relationship terhadap kebijakan reforma agraria saat ini dan mendatang.

Bab 3, 4, 5 dan 6 berisikan uraian mendetail dari tipe-tipe Reforma Agraria. Bab-bab ini mengkaji ulang pengalaman berbagai negara dalam melaksanakan reforma agraria selama sepanjang setengah abad lebih. Jangan khawatir kesulitan karena Lipton mempermudah pembaca dengan menyajikan tipologinya dan menguraikannya satu persatu tipe itu secara anatomis, historis dan komparatif.

Tipe-tipe itu digolongkan ke dalam reforma agraria klasik, yang dibahas dalam bab 3 dimana pemerintah menetapkan batas maksimum pengusaan tanah pertanian, lalu memaksa penguasa tanah memberikan tanah kelebihannya kepada badan pemerintah yang berwenan untuk meredistribusikannya untuk petani miskin.

Bab 4 menguraikan pengaturan sewa-menyewa (tenancy), legalisasi penguasan tanah (titling), dan apa yang disebut sebagai patrialisation, yakni pembatasan penguasaan tanah komunal yang biasanya dikuasai oleh kelompok-kelompok etnis, kemudian diredistribusikan pemerintah kepada orang miskin di luar kelompok etnis tersebut.

Bab 5 secara khusus mengkaji kolektifisasi dan dekolektifisasi. Perjalanan panjang kebijakan reforma agraria tipe kolektivisasi di negeri-negeri di bawah rejim komunis harus berakhir dengan dekolektifisasi, seperti yang terjadi di negara-negara Eropa Timur, seperti Albania, Rumania, atau Asia Tenggara Vietnam, Laos, dan Kamboja.

Bab 6 yang diberi judul Alternatives, Complements, Diversions, 'New Wave' Land Reform mencakup lima jenis pengaturan untuk mencapai tujuan-tujuan reforma agraria tanpa pengalihan langsung hak-hak atas tanah untuk kaum miskin di pedesaan.

Kelima jenis itu adalah: konsolidasi tanah dan pengaturan pemukiman kembali yang diharapkan dapat meningkatkan produktifitas dan meningkatkan pendapatan serta akses tanah bagi kaum miskin pedesaan; dan tiga yang terakhir adalah pengaturan pajak tanah, peningkatan akses petani pada kredit, pendidikan, teknologi pertanian, dan lainnya; serta yang terakhir adalah peralihan penguasaan tanah melalui mekanisme pasar yang terdesentralisasi dan berdasarkan konsensus antara peminat dan penyedia tanah. Yang terakhir ini terkenal dengan istilah “market-driven land reform” atau yang diistilahkan oleh Lipton sebagai new wafe land reform (NWLR).

Bab 7 diberi judul The Alleged Death of Land Reform. Di bab akhir dari buku ini, sepanjang lima puluh halaman ia mengemukakan kembali argumen-argumen pokok pihak yang anti reforma agraria dan mengemukakan bantahan berdasar penelitian-penelitian empiris yang panjang selama ini.

Adapun argument yang ditinjau kembali oleh Lipton dibagi dua, yakni : (i) Mereka yang menganggap “land reform was always dead, or is dying now”; dan (ii) Mereka yang menganggap “land reform, even if not death, ought to be”.

Untuk kasus yang pertama, Lipton menyebutnya sebagai “the gravediggers’s case" atau mereka menggali kuburan untuk memakamkan reforma agraria. Kepada mereka ini, Lipton menunjukkan suatu liputan terseleksi atas apa yang terjadi di berbagai belahan dunia, negara sedang berkembang di Latin Amerika, Asia Selatan dan Tenggara, Afrika dan Bekas negera-negara Komunis di Eropa Timur.

Kejadian di berbagai negara itu menurut Lipton tidak bisa digunakan untuk mendukung argumen para penggali kubur di atas. Justru sebaliknya lah yang terjadi, “Reforma agraria tidak mati atau sekarat. Banyak yang sedang terjadi; sesuatu sedang berjalan sekarang; banyak lagi yang masih relevan. Secara global, dan khususnya di darah-daerah tertentu, reforma agraria hidup kembali dan berkembang maju, dijalankan sepenuhnya atau diabaikan, menginspirasikan tekanan-tekanan dan program-program baru atau tidur untuk sementara. Reforma agraria memang dapat juga di-nomor-belakang-kan … Tapi reforma agraria, sebagai suatu gagasan pengurangan kemiskinan yang utama untuk situasi ekonomi pertanian yang sangat timpang, tidak lah ‘mati’ hingga situasi ekonominya menjadi tidak demikian timpang, atau semakin tidak bergantung pada usaha pertanian” (halaman 297).

Pada kasus yang kedua, yang disebut sebagai “the opponents’ case” adalah mereka yang menentang reforma agraria. Argumen utamanya: reforma agraria tidak berguna untuk mengatasi ketimpangan pedesaan, kemiskinan dan kemacetan/stagnasi, ada banyak cara selain reforma agraria untuk mengatasinya, seperti misalnya pembangunan infrastruktur, pasar, bibit unggul dsb.

Lipton mendaftar satu per satu rincian argumen detilnya, dan dengan sangat meyakinkan mendudukkan argumen contra-land reform itu. Ia mengkaji apakah memang benar mereka menyerang reforma agraria sebagai resep kebijakan atau menyasar sesuatu yang lain tapi diarahkan ke kebijakan reforma agraria. Bagian ini memang diniatkannya untuk membantah argumen-argumen yang menyatakan bahwa reforma agraria tidak lagi relevan secara sosial, tidak manjur untuk mengatasi kemiskinan, dan karenanya sebagai isu kebijakan dia telah mati.

Di akhir bukunya, Lipton menunjukkan bahwa dii banyak negara berkembang, reforma agraria adalah isu yang hidup, dan sering juga merupakan isu yang membara, dua puluh tahun setelah perang dingin usai. Debat tentang reforma agraria sungguh hidup dan berjalan baik. Dan memang seharusnya demikian.” (halaman 322).

Kalimat itu dengan sengaja ia tampilkan, nampaknya untuk menyempurnakan kalimat bahwa reforma agraria adalah urusan yang belum selesai, land reform is an unfinished business, seperti yang dikemukakan oleh Wolf Ladejinsky – konsultan utama pemerintah Amerika untuk negara-negara yang menjalan reforma agraria di tahun 1960-an dan 1970-an. Kumpulan nasehat Ladejinki dikumpulkan dan diedit oleh Louis J. Walinsky (1977) menjadi Agrarian Reform as Unfinished Business: The Selected Papers of Wolf Ladejinsky.

Namun, Lipton menunjukkan lebih dari itu. Ia berpendapat bahwa  land reform is both ‘unfinished business’ and alive and well.

Di awal abad 21 ini, saat dimana agenda reforma agraria kembali masuk menjadi agenda pembangunan nasional dan internasional, saya berpendapat buku ini wajib dibaca para pemikir pembangunan yang serius. Saya sendiri membaca buku ini dengan penuh antusiasme.

Saya yakin, secara khusus para pembuat kebijakan reforma agraria, para aktivis organisasi non-pemerintah yang mempromosikan reforma agraria, serta para peneliti dan dosen pembangunan pedesaan akan mendapat banyak inspirasi dan pelajaran dari kedalaman, keluasan, perspektif perbandingan dan teori-teori yang disajikan buku ini.

Maka, tak berlebihan bila buku ini mendapakan pujian antara lain dari pemenang hadiah Nobel Ekonomi, Amartya Sen sebagaimana tercantum dalam blurb buku sebagai berikut: “Reforma agraria dapat membuat sumbangan besar bagi pemberantasan kemiskinan, tetapi sayangnya hal ini tidak banyak dicoba secara efektif di berbagai wilayah dunia. Cerita demikian itu harus diakhiri, dan dalam buku yang penting ini seorang ekonom pembangunan terkemuka menyajikan pada kita mengapa (harus dilakukan) dan bagaimana (melakukannya).”

Untuk mengenal Michael Lipton lebih jauh, silakan klik disini.

Michael Lipton, Sang Penganjur Reforma Agraria

Penyumbang naskah: Noer Fauzi Rachman

Siapakah yang tidak mengenal Michael Lipton? Lipton lahir tahun 1937 di London, Inggris. Karir terakhirnya sebagai professor riset pada Institute of Development Studies, University of Sussex, khususnya pada Unit Penelitian Kemiskinan (Poverty Research Unit) yang ia dirikan. Kaliber, pengaruh dan kemashurannya melebihi disiplin ekonomi pembangunan, tempat ia berangkat.

David Simon, penulis buku Fifty Key Thinkers on Development (2006) memasukkan Michael Lipton dalam daftar limapuluh Pemikir Pembangunan terkemuka di dunia.

John Harris yang menulis entri mengenai Lipton dalam buku itu menguraikan perjalanan karir intelektualnya semenjak menjadi murid Paul Streeten, membantu Gunnar Myrdal menuliskan draf bagian apendiks 10 mengenai iklim, menyiapkan analisis yang intensif mengenai data-data akunting nasional dari negara-negara Asia Selatan, dan analisis perbandingan mengenai pembangunan Asia Selatan yang kemudian menghasilkan buku yang penting Why Poor People Stay Poor: Urban Bias and World Development (1977), hingga menjadi penganjur land reform (atau agrarian reform, reforma agraria) dan pengkritik revolusi hijau.

Setelah memeriksa karya-karya utamanya, Harris menyimpulkan bahwa di sepanjang karirnya baik sebagai peneliti, penulis, maupun konsultan badan-badan pembangunan internasional, Lipton punya keteguhan untuk membela produser pertanian skala kecil dan peran pertanian dalam pembangunan. Dalam hal ini, Lipton sangat dipengaruhi oleh pemikiran Alexander Chayanov, seorang ekonom dan sosiolog agraria dan pedesaan dari Rusia.

Salah satu argumen utama yang dikedepankan Lipton, dan yang terinspirasi oleh pemikiran Chayanov (1888–1937) adalah prinsip inverse relationship between productivity and farm size. Pada pokoknya, ia menyatakan bahwa unit produksi pertanian skala kecil jauh lebih efisien – perbandingan hasil panen per satuan wilayah – dibandingkan unit produksi pertanian skala besar.

Belum lama ini prinsip tersebut dikemas dan ditampilkan kembali dengan bahan-bahan penelitian kontemporer oleh Keith Griffin, Azizur Rahman Khan and Amy Ickowitz. Di bawah pengaruh Lipton, mereka bertiga menulis artikel yang terkenal yaitu Poverty and the Distribution of Land dalam Journal of Agrarian Change No. 2(3): 279-330. Artikel ini mendapatkan apresiasi dan kritik yang serius dari kalangan Marxis dalam Journal of Agrarian Change 2004 No.4 (1&2). Mereka bertiga kemudian menanggapi kritik-kritik tersebut dalam karya In Defence of Neo-Classical Neo-Populism, Journal of Agrarian Change 2004 No. 4(3):361–386.

Sumbangan lain dari Lipton yang banyak mendapat perhatian kalangan akademis dan pembuat kebijakan adalah konsep bias kota (urban bias), yakni ide bahwa kebijakan pembangunan di negara-negara berkembang mengutamakan produksi dan harga bahan makanan murah dibuat dalam rangka melayani kepentingan-kepentingan penduduk kota. Kebijakan ini pada gilirannya akan mendukung bekerjanya kapitalisme industri, namun ia berjalan dengan pengorbanan para petani kecil dan pekerja pertanian lainnya yang miskin.

Pengaruh Lipton dan sarjana neo-populis lainnya bisa dilihat dalam sebuah laporan pembangunan yang sangat terkenal di kalangan badan-badan internasional yakni Rural Poverty Report 2001: The Challenge of Ending Rural Poverty, yang diterbitkan oleh IFAD (International Fund for Agricultural Development).

Laporan tersebut menganjurkan keunggulan dari pertanian skala kecil (small-farm/smallholder) yang dapat diandalkan dalam upaya peningkatan produktifitas, dan karenanya mereka menganjurkan untuk meredistribusikan tanah-tanah tidak produktif, baik yang dikuasai oleh negara, tuan tanah, atau pengusaha perkebunan skala besar  bagi para petani melalui kebijakan reforma agraria sebagai strategi yang handal untuk pemberantasan kemiskinan.

Karya utama Lipton sebelumnya mengenai reforma agraria adalah (i) "Towards a Theory of Land Reform", dalam D. Lehmann (Ed.) Agrarian Reform and Agrarian Reformism (Cambridge: Cambridge University Press, 1974); dan (ii) “Land reform as commenced business: the evidence against stopping” yang dimuat dalam jurnal World Development No. 21/1993.

Dalam karyanya “Towards a Theory of Land Reform”, Lipton berangkat dengan suatu kepercayaan bahwa reforma agraria adalah “jalan utama yang perlu ditempuh menuju pemerataan dalam kehidupan pedesaan dengan menganggap bahwa tanah adalah sumber daya utama yang terbatas dan karenanya merupakan sumber utama pula dalam ketidaksamaan dan ketimpangan kekuasaan di pedesaan” (Lipton 1974:271).

Di sini pula Lipton mendefinisikan reforma agraria yang “mencakup (1) pengambilalihan tanah secara paksa, yang sering kali (a)oleh negara, (b)dari pemilik tanah luas, dan (c)dengan kompensasi sebagian; dan (2) penggarapan tanah pertanian tersebut dengan cara sedemikian rupa untuk memperluas keuntungan dari hubungan baru manusia pedesaan dengan tanah dibanding sebelum pengambilalihan tanah tersebut. Negara dapat memberikan, menjual atau menyewakan tanah tersebut untuk penggarapan individual (distributivist reform) atau tanah-tanah itu dikelompokkan secara bersatu dan pemanfaatannya dilakukan secara bersama melalui koperasi, kolektif, maupun usaha pertanian negara (collectivist reform)” (Lipton 1974:270).

Reforma agraria yang memang merupakan suatu kebijakan pemerataan, setidaknya diniatkan demikian,dapat saja meningkatkan memacu pertumbuhan, tapi pertumbuhan bukanlah motivasi utama dari dijalankan kebijakan reforma agraria. Motivasi utamanya adalah untuk mengurangi kemiskinan melalui mengurangan ketimpangan, meskipun tidak niscaya menolong mereka yang paling miskin, atau semua orang miskin di pedesaan.

Dalam karya berikutnya, "Land Reform as Commenced Business: The Evidence against Stopping”, Lipton mendebat argumen-argumen para sarjana yang merendahkan pentingnya reforma agraria sebagai suatu jalan untuk meningkatkan pendapatan dan memberdayakan kaum miskin pedesaan. Bagi Lipton, reforma agraria adalah urusan yang baru saja dimulai, yang sama sekali tidak relevan untuk dihentikan.

Memang, dalam karya-karya terdahulunya Lipton belum mempertimbangkan kemudahan akses orang miskin di pedesaan pada sumber pendapatan dari kota. Tapi dalam karya barunya Reform in Developing Countries: Property Rights and Property Wrongs (2009), Lipton menjawab bahwa situasi ketimpangan kekayaan yang mencolok di pedesaan yang dilandasi oleh ketimpangan penguasaan tanah, sama sekali tidak berarti hilangnya reforma agraria sebagai prioritas kebijakan pembangunan pedesaan. Urbanisasi tidaklah menghilangkan andil yang menentukan dari pekerjaan pertanian skala kecil dalam menyangga kehidupan kaum miskin pedesaan.

Membaca karya barunya ini, kita akan menikmati karya puncak dari seorang Guru, penganjur reforma agraria ternama di dunia.

Selasa, 29 Juni 2010

Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro, Cendekiawan Berdedikasi 2010 versi Kompas


Pengelola blog Studi Agraria dotkom mengucapkan SELAMAT kepada Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro yang terpilih sebagai Cendekiawan Berdedikasi 2010 versi Kompas sebagaimana termuat di harian Kompas edisi Senin, 28 Juni 2010.

Ini adalah penghargaan yang diberikan Kompas sejak 2008. Pada tahun ini kriteria pemilihan diperluas pada mereka yang berupaya membangun budaya akademis agar masyarakat semakin menyadari pentingnya penelitian. Selain Prof. Sediono M.P Tjondronegoro, yang terpilih lainnya adalah: Adnan Buyung Nasution, Bambang Hidayat, Mely G Tan, dan Raden Panji Soejono 

Untuk membaca berita ini lebih lanjut, silakan klik di sini dan di sini.  

Kami memberikan apresiasi terhadap  penghargaan ini dengan memuat sebuah ikhtisar yang ditulis oleh Ahmad Nashih Luthfi mengenai otobiografi Profesor Tjondronegoro di sini.*

Profesor dengan Imajinasi Kaum Tani

Judul : Mencari Ilmu di Tiga Zaman dan Tiga Benua, Otobiografi Prof. Dr. Sediono M. P. Tjondronegoro
Penulis : Prof. Dr. Sediono M. P. Tjondronegoro
Penyunting : Ahmad Nashih Luthfi
Penerbit : SAINS Press
Tahun terbit : April, 2008
Tebal : xxii + 188 hlm.

Penyumbang Naskah: Ahmad Nashih Luthfi

“Saya mempunyai kesan bahwa generasi sekarang tidak mengenal pertanian, bahkan pedesaan. Mereka mengenal dusun, dukuh, desa, dan kecamatan dari buku saja, tidak dari pengalaman langsung dengan mengunjunginya. Padahal dengan menetap di desa, mahasiswa dapat menghayati kehidupan tani: apa saja yang mereka keluhkan; jalan pikirannya; adat istiadatnya; masalah apa saja di sana dan kebahagiaan macam apa yang mereka rasakan. Ini tidak bisa didapatkan dari laporan lurah atau camat” (hlm 123). Demikian, dengan nada lirih Prof. Dr. Sediono M.P Tjondronegoro, Guru Besar Sosiologi Pedesaan IPB, menutup otobiografinya.

Buku ini menyajikan gambaran pergulatan sosok ilmuwan yang dimatangkan melalui berbagai perjuangan, mulai dari pertempuran fisik bersenjata, bergerak di “bawah tanah”, studi di luar negeri, bertahan hidup di negeri orang, berdiplomasi, berdemonstrasi, sampai dengan perjuangan keilmuan seperti mengajar, meneliti, merumuskan kebijakan dan mendampingi masyarakat. Meminjam istilah Gramsci, agaknya tepat menyebut sosok ini sebagai intelektual organik, yakni mereka yang menggulatkan diri pada problem-problem kerakyatan.

Memfokuskan tulisannya ini pada pengalaman mencari ilmu, Prof. Tjondro membandingkan pendidikan Eropa yang sifatnya elit dengan pendidikan di Amerika yang massif. Dua gaya itu memberi pengaruh berbeda pada sistem belajar, misalnya dalam hal ujian serta adanya credit points. Eropa menekankan ujian bergaya uraian (kualitatif) sementara Amerika bergaya multiple choice.

Pergeseran orientasi sistem pendidikan di Indonesia juga diamati secara apik. Di kampusnya ia merasakan perubahan itu dalam bentuk penghilangan beberapa jenis matakuliah serta kuliah lapang yang memberi cukup waktu berhadapan langsung dengan masyarakat pedesaan. Fenomena itu bukanlah gejala parsial.

Dibaca secara lebih luas, penghilangan di atas patut disesalkan. Sebab dapat menghilangkan imajinasi sosiologis akan massa, satu paradigma penting dalam bidang sosiologi. Menurut Wertheim (1984), salah satu kekeliruan yang dilakukan oleh ilmuwan sosial adalah tindakan represi atas kesadaran seseorang. Sesat pikir itu terjadi karena keengganan untuk mengetahui aspek dari realitas dan subyek yang lebih luas, atau bisa juga karena menyembunyikan pengetahuan.

Wertheim, guru besar Universitas Amsterdam itu, menyebut proses itu sebagai sosiologi ketidaktahuan (sociology of ignorance). Suatu proses pengabaian yang dilakukan oleh sebagian kalangan ilmuwan sosial Orde Baru dengan tidak membicarakan masalah kemiskinan yang identik dengan petani lapis bawah dan persoalan agraria (landreform). Padahal, dua hal ini tidak dapat ditangkap bila hanya mengandalkan data makro dan mengabaikan data mikro. Maka, Wertheim pun menganjurkan agar sociology of ignorance ini dibongkar.

Namun, kesan yang jauh berbeda kita tangkap jika membaca buku otobiografi ini.

Noer Fauzi (2008) menyebut Prof. Tjondronegoro sebagai ideological broker of agrarian reform. Fauzi berpendapat, Prof. Tjondro adalah salah satu ilmuwan sosial Indonesia yang berperan besar dalam menghidupkan kembali isu Reforma Agraria. Bersama dua koleganya yakni Prof. Dr. Sajogyo dan Gunawan Wiradi, mereka menjadi jembatan penyambung aspirasi Reforma Agraria di masa kebangsaan dahulu dengan sekarang.

Salah satu tugas penting yang pernah diemban Prof. Tjondro adalah sebagai Sekretaris Eksekutif dalam penyusunan Laporan Interim (1978) tentang “masalah pertanahan”. Saat itu pemerintahan presiden Soeharto merasa perlu menengok kembali isu pertanahan setelah didera berbagai protes dalam peristiwa Malari. Tujuannya tentu adalah stabilisasi.

Ketika diserahkan kepada presiden, laporan tersebut merekomendasikan dilakukannya pembaruan Reforma Agraria. Namun sebagaimana dijelaskan, “pada hemat penulis, pelaksanaan Reforma Agraria tak kunjung dilaksanakan di Indonesia. Bahkan pemerintah Orde Baru sebenarnya tidak ada niat ....” (hlm. 48).

Meski tidak dijalankan, menurut Gunawan Wiradi (2008) laporan itu memberi efek manfaat. Pertama, Reforma Agraria tidak lagi identik dengan agenda komunis. Kedua, ilmuwan-ilmuwan sosial yang sebelumnya “tiarap” mulai berani muncul berbicara tentang Reforma Agraria.

Semasa menjadi mahasiswa di Belanda, Tjondronegoro dkk. diberi tugas mengumpulkan informasi tentang Irian Barat serta memengaruhi mahasiswa Irian Barat yang belajar di Belanda. Mereka mencari informasi di perpustakaan, kedutaan, dan kelompok progresif Belanda. Mendekati serdadu-serdadu Belanda yang baru pulang dari Irian Barat dan mengajak makan-makan di restoran, atau bahkan sambil minum-minum bir. Dengan cara semacam itulah mereka mengorek informasi rahasia.

Pada 1962, upaya pemerintah Republik Indonesia merebut kembali Irian Barat membuahkan hasil. Pertemuan Frits Kirihio dengan Bung Karno di Jakarta, disertai beberapa mahasiswa Irian Barat yang menyatakan berdiri di belakang RI merupakan peristiwa bersejarah.

Cerita tentang upaya mahasiswa di Belanda itu memang tak banyak diketahui. Dan di sinilah pentingnya otobiografi. Bukan pada penonjolan tokohnya secara subyektif, namun pada fakta-fakta sejarah yang terselip, yang abai ditulis dalam narasi besar.

Selasa, 22 Juni 2010

Resep de Soto Gugur di Kampung Rawa?

Judul Buku: Sertifikat tanah dan orang miskin: Pelaksanaan proyek ajudikasi di Kampung Rawa, Jakarta

Tebal: xx + 190 halaman
Penulis: Djaka Soehendera (alm.)
Penerbit: HuMa Jakarta,  Van Vollenhoven Universitas Leiden, dan KITLV Jakarta.
Tahun terbit: 2010, edisi pertama

Penyumbang naskah: R. Yando Zakaria

Dalam pustaka studi pembangunan dikenal apa yang saya sebut sebagai ‘resep de Soto’. Resep ini hasil racikan Hernando de Soto, seorang ekonom terkemuka asal Peru.

Ringkasnya, ia mengusulkan agar orang miskin mendapat kepastian hukum atas tanah mereka. Selanjutnya, orang miskin bisa mengagunkan tanah untuk mendapat dana segar sebagai modal (tunai) untuk memulai usaha. Dari sini mereka bisa tersambung ke mekanisme pasar yang dipercaya de Soto sebagai jalan meningkatkan kesejahteraan.

Bagaimana jejak ‘resep de Soto’ ini di Indonesia?

Setelah membaca buku karya Soehendera ini, saya bisa menjawab pertanyaan di atas dengan kalimat: “Jauh panggang dari api.”

Begitu burukkah reputasi ilmuwan terkemuka asal Amerika Latin yang pernah disanjung Bill Clinton sebagai ‘the world’s greatest living economist’ itu?

Hmm..sepertinya, ya.

Berdasar penelitian mendalam terhadap penyelenggaraan Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) atau Land Administration Project (LAP) di Indonesia yang mendapat dukungan dana dari Bank Dunia dan Ausaid, Soehendera sampai pada kesimpulan berikut:

“... pembangunan bisa memberi dampak positip bagi warga yang tidak miskin, dan sebaliknya justru menghadirkan kendala bagi mereka-mereka yang miskin. Hal itu terjadi karena warga yang miskin tidak memiliki kapital yang cukup dan yang dibutuhkan oleh pembangunan."


Rabu, 02 Juni 2010

James C. Scott dan Karya Agraria-nya

Penyumbang Naskah: Ronny Agustinus

Apakah James C. Scott masih menarik bagi ranah pemikiran sosial di Indonesia? Dua bukunya, yakni Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts (1992) dan Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed (1998) tidak diterjemahkan.  sementara dua buku klasiknya, yakni Moral Ekonomi Petani: Pergerakan dan Subsistensi di Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1981) dan Senjatanya Orang-Orang yang Kalah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000) tidak diterbitkan ulang. Padahal pemikiran Scott sangat relevan, terutama menyangkut pergolakan kekuasaan di pedesaan, perubahan agraria, dan nasib petani.

Jurnal Wacana terbitan INSIST adalah salah satu yang berupaya menyebarkan pemikiran James Scott. Dalam edisi 10 tahun III 2002, ia memuat terjemahan dari makalah James Scott, (1995) “State simplifications: Some applications to Southeast Asia”, yang disampaikan dalam kuliah umum The Wertheim Lecture 1995 di Centre for Asian Studies Amsterdam.

Buku terbaru James Scott, The Art of Not Being Governed yang diterbitkan tahun 2009 sekali lagi menunjukkan kalibernya sebagai pembentuk kecenderungan dalam studi-studi agraria di Asia Tenggara.

Jika mencermati karya-karya James Scott dari awal hingga yang terbaru, sebenarnya kita bisa menarik benang merah perkembangan pemikirannya.

Dalam Moral Ekonomi Petani: Pergerakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, Scott mengemukakan pertama kali teorinya tentang bagaimana “etika subsistensi” (etika untuk bertahan hidup dalam kondisi minimal) melandasi segala perilaku kaum tani dalam hubungan sosial mereka di pedesaan, termasuk pembangkangan mereka terhadap inovasi yang datang dari penguasa mereka.

Itulah yang disebut sebagai “moral ekonomi”, yang membimbing mereka sebagai warga desa dalam mengelola kelanjutan kehidupan kolektif dan hubungan sosial resiprokal saat menghadapi tekanan-tekanan struktural dari hubungan kekuasaan baru yang mencengkam. Tekanan struktural dari pasar kapitalistik, pengorganisasian negara kolonial dan paskakolonial, dan proses modernisasi di Asia Tenggara mengacaukan “moral ekonomi” itu dan menyebabkan kaum tani berontak.

Mahakarya kedua Scott, Senjatanya Orang-Orang yang Kalah, membawa topik di atas selangkah lebih jauh. Scott mendokumentasikan penelitian bertahun-tahunnya tentang perlawanan keseharian kaum tani yang tak tercatat sejarah. Buku Perlawanan Kaum Tani mengusung tema serupa. Namun demikian, buku ini bukan terjemahan langsung dari buku Scott, melainkan terjemahan kumpulan artikel Scott yang disunting oleh Prof. Sajogyo. Nah, Senjatanya Orang-Orang yang Kalah menjelaskan posisi dan perilaku politik kaum tani.

Sejak jaman kolonial, protes dan perlawanan kaum tani dipandang bukan sebagai gerakan terorganisir, melainkan sekedar pelampiasan kemarahan secara destruktif dan membabi buta akibat eksploitasi yang kelewatan, misalnya pajak yang teramat tinggi. Namun pada kehidupan sehari-hari, kaum tani nampak pasrah, nrimo dan tergantung pada alam. Tidak nampak revolusioner sama sekali.

Penelitian Scott atas petani Asia Tenggara mematahkan mitos ini. Ia membuktikan bahwa apa yang disebut sebagai ‘kepasrahan kaum tani’ bukanlah benar-benar kepasrahan, melainkan aksi-aksi perlawanan anonim dalam diam yang berlangsung saban harinya, yang bahkan telah menjadi suatu subkultur. Dari Scott lah kita mendapat analisa yang jenius tentang apa yang disebutnya ‘bentuk-bentuk perjuangan kelas gaya Brechtian’ (Brechtian modes of resistance), yakni "senjata-senjata biasa yang dimiliki kelompok-kelompok yang relatif tanpa kekuatan: menghambat, berpura-pura, pura-pura menurut, mencopet, pura-pura tidak tahu, memfitnah, pembakaran, sabotase, dan sebagainya" (Perlawanan Kaum Tani, halaman 271).

Istilah "Brechtian" berasal dari Bertold Brech, seorang seniman cum aktivis gerakan kiri di Jerman. Dalam Kumpulan Cerita tentang Tuan Keuner karya Bertold Brech, ada satu cerita mini yang sangat terkenal yakni ketika Tuan Keuner diperlakukan sewenang-wenang bak jongos di rumahnya sendiri oleh seorang tentara fasis. Tuan Keuner tidak melawan. Ia layani apa saja permintaan si tentara. Karena terbiasa dilayani sebagai majikan selama bertahun-tahun, si tentara akhirnya menjadi pemalas lalu mati. Dan saat itulah Tuan Keuner yang dianiaya berteriak “merdeka!”

Pesan Scott jelas: hanya karena perlawanan kaum tani ini tak kasat mata, tak tercatat dalam sejarah, bukan berarti mereka tidak punya kesadaran kritis dan tidak melawan. Saya kutip dari buku Perlawanan Kaum Tani, halaman 314-315: "Banyak dari bentuk perlawanan yang telah kita pelajari itu mungkin aksi-aksi ‘perorangan’, tetapi itu tidak berarti bahwa aksi itu tidak terkoordinasi.

Di sini, sebuah konsep koordinasi yang berasal dari rakitan formal dan birokratis tidak banyak membantu untuk memahami aksi-aksi yang dilakukan dalam komunitas-komunitas dengan jaringan-jaringan informasi yang padat dan subkultur-subkultur perlawanan yang kaya, dan historis dalam, terhadap tuntutan-tuntutan dari luar […:] subkultur pedesaan membantu membenarkan kepura-puraan, perburuan tanpa izin, pencurian, penghindaran pajak, penghindaran wajib militer dan sebagainya […:] Tidak ada organisasi formal yang dibuat karena tidak ada satu pun yang diperlukan; namun, suatu bentuk koordinasi telah dicapai yang mengisyaratkan kepada kita bahwa apa yang sedang terjadi itu bukan sekedar aksi perorangan."

James C. Scott bukan cuma cendekiawan brilian, namun juga penulis ulung. Seperti buku-bukunya yang lain, The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia ditulis dengan sangat jernih (sampai-sampai memperoleh penghargaan PROSE Award in Goverment and Politics - sebuah penghargaan yang diberikan para penerbit Amerika setiap tahunnya kepada para profesional dan intelektual atas karya mereka yang diterbitkan dalam bentuk buku, jurnal, dan media elektronik)

Scott sendiri sadar akan kelihaiannya ini. Di halaman xi ia tulis, “Saya sering dituding keliru, tapi jarang dibilang tidak jelas atau tidak mudah dipahami. Buku ini juga begitu.”

Keunikan Scott lainnya, sehari-harinya selain meriset dan mengajar ia memelihara domba! Mengapa domba? Dalam sebuah wawancara ia utarakan filosofikasinya untuk kegiatannya ini: “Domba sering dipakai sebagai metafor untuk kebloonan dan kepatuhan. Tapi orang yang pernah melihat domba liar beraksi akan tahu bahwa domba itu sebenarnya individualistik. Kita telah beternak domba selama 8.000 tahun dan memilih yang patuh. Kita yang menjadikan mereka begitu!”

Dengan kata lain, masyarakat yang direkayasa oleh skema-skema pembangunan hanya akan menghasilkan manusia-manusia pasif yang tak sejalan dengan tujuan pembangunan itu sendiri. Masyarakat yang berhasil hanyalah masyarakat yang bebas untuk menentukan cara meraih keberhasilannya sendiri, bukan yang direkayasa dari atas.

Ya, barang siapa masih menganggap domba itu makhluk bloon, coba saja tonton Shaun the Sheep. *

The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia

Karya: James C. Scott
Penerbit: Yale University, 2009
Tebal: 442 halaman

Penyumbang Naskah: Ronny Agustinus

Buku Scott yang terbaru ini terbit pada Agustus 2009. Ia menelusuri sejarah dan geografi dari penduduk dan wilayah yang disebut Zomia. Zomia merujuk pada dataran tinggi yang mencakup sebagian wilayah Vietnam, Thailand, Kamboja, Laos, Birma, sampai empat provinsi Cina. Istilah Zomia sendiri dicetuskan pada 2002 oleh sejarawan Willem van Schendel dari Universitas Amsterdam. Argumen utama Scott adalah penduduk dan wilayah dataran tinggi pedesaan Zomia ini selalu melakukan perlawanan sistematis agar tak ditaklukan dan tercakup dalam penguasaan atau negara-bangsa.

Memang, tema tarik ulur antara pusat dan daerah pinggiran selalu terjadi dan bukan hal baru. Tapi yang dimaksud Scott di sini bukanlah semata-mata ketidakpuasan daerah atas sentralisme politik atau sumber daya. Lebih dari itu, Scott menguraikan bahwa seluruh aspek kehidupan sosial di desa-desa Zomia (misalnya sistem perladangan berpindah, agama mileniarisnya, bahkan tradisi lisannya) sengaja dirancang agar mereka tak bisa dicaplok ke dalam negara-bangsa dan untuk mencegah agar dalam masyarakat mereka tidak tumbuh bibit-bibit negara-bangsa. Sepanjang sejarah, penduduk dataran tinggi ini adalah “pelarian sengaja” dari pusat-pusat ekonomi-politik di dataran rendah.

Berikut adalah sekilas isi buku dalam tiap bab:

Bab 1 memaparkan tegangan antara wilayah pegunungan dengan lembah. Peradaban atau negara selalu dimulai di wilayah lembah, dan selalu terjadi proyek kolonisasi (yang sebagian di antaranya gagal) ke wilayah pegunungan. Scott mendekonstruksi bagaimana kerajaan-kerajaan Tiongkok menjuluki orang-orang gunung ini sebagai “leluhur kita sebelum mengenal peradaban dan agama Budha”, yang sebenarnya justru sebaliknya.

Orang-orang gunung bukannya belum mengenal peradaban melainkan justru sengaja kabur menghindar darinya. Bentuk masyarakatnya yang terpencar-pencar dan tak teratur (tak bisa diatur) adalah suatu taktik tersendiri buat mereka yang sering membikin pusing para kolonialis. Scott mengutip catatan Raffles untuk menunjukkan bagaimana para kolonialis harus berpikir keras bagaimana cara menundukkan orang-orang gunung dalam suatu pemerintahan terpusat: “Di sini Sumatra saya menyokong despotisme. Tangan besi kekuasaan perlu untuk menyatukan orang-orang, memusatkan mereka ke dalam masyarakat-masyarakat...” (halaman 39).

Harus ditambahkan di sini bahwa analisa lembah vs. pegunungan juga berlaku bagi daratan vs. pesisir. Semakin dekat laut, pengaruh pusat kekuasaan di darat semakin kendur, dan masyarakat jadi lebih bebas dan egaliter (atau “tak beradab” dalam pandangan penguasa). Orang Tuban misalnya, jelas lebih egaliter daripada orang Mataram, sebagaimana tergambar dalam bahasa Jawa mereka yang tanpa hirarki, berbeda dengan bahasa Mataraman. Cara hidup orang laut mempunyai keserupaan mendasar dengan penduduk dataran tinggi Zomia yang melarikan dari pusat-pusat kekuasaan.

Dalam hal itu, Ben Anderson secara khusus menyarankan agar Scott memperluas kajiannya ke wilayah pesisir dan laut, terutama kehidupan bajak laut. Namun Scott dengan rendah hati mengakui bahwa kajian untuk itu telah dirintis oleh cendekiawan yang lebih kompeten: Eric Tagliacozzo

Bab 2 dan 3 mengulas bagaimana ruang-ruang pemerintahan itu akhirnya terbentuk; yaitu melalui pelembagaan sistem persawahan. Lokasi sawah-sawah padi lah yang akhirnya memunculkan pusat-pusat pemerintahan kota. Sawah membuat hasil panen stabil dan mudah dihitung. Dari sini timbul kebutuhan untuk memulai penguasaan tenaga kerja manusia dan sistem produksi. Dinasti Tang misalnya, melarang perladangan berpindah sekalipun sesungguhnya sistem perladangan berpindah memberi lebih banyak hasil bagi petaninya. Masalahnya, kerajaan tidak bisa mengakses hasil itu. Masyarakat pun dipaksa bercocok tanam, dan dengan demikian masuk ke dalam ruang kelola negara.

Bab 4 mengulas bagaimana kekuasaan dikonstruksi secara kultural, misalnya lewat pembedaan antara siapa yang disebut “beradab” dan siapa yang “barbar”.

Bab 5 sampai 6 1/2 - ya, saya tidak mengada-ada, di antara bab 6 – bab 7, ada bab 6 1/2. Dua bab ini mengulas proses konstruksi kekuasaan itu dari sudut pandang sebaliknya. Yaitu sudut pandang orang-orang gunung yang melawan itu. Sebagian cara perlawanan mereka tempuh lewat, yakni pemilihan jenis tanaman pangan yang memungkinkan mereka terus lolos dari cengkeraman negara.

Contohnya, saat petani-petani Birma melawan kesemena-menaan tentara dengan menanam ketela rambat yang mustahil dirampas. Pemerintah militer Birma pun pada tahun 1980-an akhirnya mengeluarkan dekrit pelarangan ketela rambat.

Ini mirip tulisan Robert Hefner dalam Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Ia mengulas tentang bagaimana penanaman jagung membantu petani-petani Hindu pindah ke tempat yang lebih tinggi lagi di Tengger untuk bertahan diri setelah Majapahit jatuh ke pengaruh Islam.

Secara khusus, bab 6 1/2 mengulas bagaimana kelisanan juga dipakai sebagai praktik tersendiri untuk menghindari caplokan negara. Scott mengajukan pertanyaan menarik: bagaimana bila orang-orang ini bukan pra-literer, melainkan pasca-literer? Mereka bukan tuna aksara, melainkan kehidupan yang mereka pilih mengharuskan mereka untuk meninggalkan aksara.

Contoh hipotetis menarik yang diajukannya adalah bahwa upaya kolonial yang paling pertama dan utama dari suatu pemerintahan terpusat adalah “pemberian nama”: menamai wilayah yang sebelumnya tak bernama menjadi sebuah desa, dan mungkin pula membagi-baginya dalam satuan-satuan tertentu.

Dengan nama itulah kekuasaan dipatenkan. Sebaliknya bila timbul perlawanan tani, dalam kebanyakan kasus, kaum tani melakukan pembakaran terhadap arsip-arsip dan catatan-catatan desa. Aksi dan reaksi ini bagi Scott memiliki makna yang lebih dari sekadar simbolik.

Scott mengutip renungan antropolog strukturalis Claude Levi-Strauss: “Tulisan sepertinya niscaya bagi negara terpusat yang terstratifikasi untuk mereproduksi dirinya sendiri. Tulisan itu aneh ... Fenomena yang tak pelak lagi selalu menyertai kemunculannya adalah terbentuknya kota-kota dan imperium: integrasi ke dalam sistem politik, artinya, pembentukan hirarki dan sistem kasta.”

Scott telah mewanti-wanti sejak di bagian Pengantar bahwa analisa historisnya ini “kurang berlaku untuk periode sesudah Perang Dunia II” (halaman xii). Karena bisa dibilang cengkeraman negara-bangsa sangat kuat sesudah periode itu dengan munculnya nasionalisme negara-negara Dunia Ketiga.

Meski begitu, kurang berlaku bukan berarti tidak berguna. Justru analisa sejarah Scott bisa memberi masukan pada kondisi Indonesia kontemporer yang masih tidak punya bayangan tentang apa yang harus dilakukan pada masyarakat adatnya.

Di satu sisi kita meninggi-ninggikan adat sebagai dasar kebudayaan kita. Di sisi lain, bila masyarakat adat menerapkan cara hidupnya yang asali (misalnya perladangan berpindah), negara mencapnya sebagai kriminal dan perambah hutan. Kita tidak punya rencana jelas apakah kita hendak menjadi “nasional” seutuhnya atau mengakomodir adat dan sepertinya apa caranya?

Ketidakjelasan tersebut berdampak pada banyak hal, misalnya legalitas tanah.

Di Bali, sekalipun secara diakui banyak tanah komunal yang dimiliki warga secara adat, namun menurut penelusuran teman saya yang sedang melakukan riset doktoralnya di sana, ternyata secara tanah-tanah itu tak punya ketetapan hukum resmi sebagai tanah komunal.

Secara hukum tak ada perlindungan apapun yang dipunyai warga. Sementara negara sendiri berkilah memberikan sertifikat resmi atas tanah itu sama artinya dengan mendorong pluralisme hukum. Masalah-masalah inilah yang membuat persoalan agraria di Indonesia tidak bisa didekati dari sudut pandang hukum saja, namun harus secara sosiologis. Analisa Scott bisa memberi masukan berguna untuk itu.

Untuk mengenal James C. Scott lebih jauh, silakan baca James C. Scott dan Karya Agraria-nya.*