Anda sudah selesai membaca sebuah karya tentang studi agraria? Tuliskan kembali ringkasan bacaan Anda dan kirimkan ke : studiagraria@gmail.com. Kami akan memuatnya di situs ini. Dan, mari kita membicarakannya.

Selasa, 29 Juni 2010

Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro, Cendekiawan Berdedikasi 2010 versi Kompas


Pengelola blog Studi Agraria dotkom mengucapkan SELAMAT kepada Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro yang terpilih sebagai Cendekiawan Berdedikasi 2010 versi Kompas sebagaimana termuat di harian Kompas edisi Senin, 28 Juni 2010.

Ini adalah penghargaan yang diberikan Kompas sejak 2008. Pada tahun ini kriteria pemilihan diperluas pada mereka yang berupaya membangun budaya akademis agar masyarakat semakin menyadari pentingnya penelitian. Selain Prof. Sediono M.P Tjondronegoro, yang terpilih lainnya adalah: Adnan Buyung Nasution, Bambang Hidayat, Mely G Tan, dan Raden Panji Soejono 

Untuk membaca berita ini lebih lanjut, silakan klik di sini dan di sini.  

Kami memberikan apresiasi terhadap  penghargaan ini dengan memuat sebuah ikhtisar yang ditulis oleh Ahmad Nashih Luthfi mengenai otobiografi Profesor Tjondronegoro di sini.*

Profesor dengan Imajinasi Kaum Tani

Judul : Mencari Ilmu di Tiga Zaman dan Tiga Benua, Otobiografi Prof. Dr. Sediono M. P. Tjondronegoro
Penulis : Prof. Dr. Sediono M. P. Tjondronegoro
Penyunting : Ahmad Nashih Luthfi
Penerbit : SAINS Press
Tahun terbit : April, 2008
Tebal : xxii + 188 hlm.

Penyumbang Naskah: Ahmad Nashih Luthfi

“Saya mempunyai kesan bahwa generasi sekarang tidak mengenal pertanian, bahkan pedesaan. Mereka mengenal dusun, dukuh, desa, dan kecamatan dari buku saja, tidak dari pengalaman langsung dengan mengunjunginya. Padahal dengan menetap di desa, mahasiswa dapat menghayati kehidupan tani: apa saja yang mereka keluhkan; jalan pikirannya; adat istiadatnya; masalah apa saja di sana dan kebahagiaan macam apa yang mereka rasakan. Ini tidak bisa didapatkan dari laporan lurah atau camat” (hlm 123). Demikian, dengan nada lirih Prof. Dr. Sediono M.P Tjondronegoro, Guru Besar Sosiologi Pedesaan IPB, menutup otobiografinya.

Buku ini menyajikan gambaran pergulatan sosok ilmuwan yang dimatangkan melalui berbagai perjuangan, mulai dari pertempuran fisik bersenjata, bergerak di “bawah tanah”, studi di luar negeri, bertahan hidup di negeri orang, berdiplomasi, berdemonstrasi, sampai dengan perjuangan keilmuan seperti mengajar, meneliti, merumuskan kebijakan dan mendampingi masyarakat. Meminjam istilah Gramsci, agaknya tepat menyebut sosok ini sebagai intelektual organik, yakni mereka yang menggulatkan diri pada problem-problem kerakyatan.

Memfokuskan tulisannya ini pada pengalaman mencari ilmu, Prof. Tjondro membandingkan pendidikan Eropa yang sifatnya elit dengan pendidikan di Amerika yang massif. Dua gaya itu memberi pengaruh berbeda pada sistem belajar, misalnya dalam hal ujian serta adanya credit points. Eropa menekankan ujian bergaya uraian (kualitatif) sementara Amerika bergaya multiple choice.

Pergeseran orientasi sistem pendidikan di Indonesia juga diamati secara apik. Di kampusnya ia merasakan perubahan itu dalam bentuk penghilangan beberapa jenis matakuliah serta kuliah lapang yang memberi cukup waktu berhadapan langsung dengan masyarakat pedesaan. Fenomena itu bukanlah gejala parsial.

Dibaca secara lebih luas, penghilangan di atas patut disesalkan. Sebab dapat menghilangkan imajinasi sosiologis akan massa, satu paradigma penting dalam bidang sosiologi. Menurut Wertheim (1984), salah satu kekeliruan yang dilakukan oleh ilmuwan sosial adalah tindakan represi atas kesadaran seseorang. Sesat pikir itu terjadi karena keengganan untuk mengetahui aspek dari realitas dan subyek yang lebih luas, atau bisa juga karena menyembunyikan pengetahuan.

Wertheim, guru besar Universitas Amsterdam itu, menyebut proses itu sebagai sosiologi ketidaktahuan (sociology of ignorance). Suatu proses pengabaian yang dilakukan oleh sebagian kalangan ilmuwan sosial Orde Baru dengan tidak membicarakan masalah kemiskinan yang identik dengan petani lapis bawah dan persoalan agraria (landreform). Padahal, dua hal ini tidak dapat ditangkap bila hanya mengandalkan data makro dan mengabaikan data mikro. Maka, Wertheim pun menganjurkan agar sociology of ignorance ini dibongkar.

Namun, kesan yang jauh berbeda kita tangkap jika membaca buku otobiografi ini.

Noer Fauzi (2008) menyebut Prof. Tjondronegoro sebagai ideological broker of agrarian reform. Fauzi berpendapat, Prof. Tjondro adalah salah satu ilmuwan sosial Indonesia yang berperan besar dalam menghidupkan kembali isu Reforma Agraria. Bersama dua koleganya yakni Prof. Dr. Sajogyo dan Gunawan Wiradi, mereka menjadi jembatan penyambung aspirasi Reforma Agraria di masa kebangsaan dahulu dengan sekarang.

Salah satu tugas penting yang pernah diemban Prof. Tjondro adalah sebagai Sekretaris Eksekutif dalam penyusunan Laporan Interim (1978) tentang “masalah pertanahan”. Saat itu pemerintahan presiden Soeharto merasa perlu menengok kembali isu pertanahan setelah didera berbagai protes dalam peristiwa Malari. Tujuannya tentu adalah stabilisasi.

Ketika diserahkan kepada presiden, laporan tersebut merekomendasikan dilakukannya pembaruan Reforma Agraria. Namun sebagaimana dijelaskan, “pada hemat penulis, pelaksanaan Reforma Agraria tak kunjung dilaksanakan di Indonesia. Bahkan pemerintah Orde Baru sebenarnya tidak ada niat ....” (hlm. 48).

Meski tidak dijalankan, menurut Gunawan Wiradi (2008) laporan itu memberi efek manfaat. Pertama, Reforma Agraria tidak lagi identik dengan agenda komunis. Kedua, ilmuwan-ilmuwan sosial yang sebelumnya “tiarap” mulai berani muncul berbicara tentang Reforma Agraria.

Semasa menjadi mahasiswa di Belanda, Tjondronegoro dkk. diberi tugas mengumpulkan informasi tentang Irian Barat serta memengaruhi mahasiswa Irian Barat yang belajar di Belanda. Mereka mencari informasi di perpustakaan, kedutaan, dan kelompok progresif Belanda. Mendekati serdadu-serdadu Belanda yang baru pulang dari Irian Barat dan mengajak makan-makan di restoran, atau bahkan sambil minum-minum bir. Dengan cara semacam itulah mereka mengorek informasi rahasia.

Pada 1962, upaya pemerintah Republik Indonesia merebut kembali Irian Barat membuahkan hasil. Pertemuan Frits Kirihio dengan Bung Karno di Jakarta, disertai beberapa mahasiswa Irian Barat yang menyatakan berdiri di belakang RI merupakan peristiwa bersejarah.

Cerita tentang upaya mahasiswa di Belanda itu memang tak banyak diketahui. Dan di sinilah pentingnya otobiografi. Bukan pada penonjolan tokohnya secara subyektif, namun pada fakta-fakta sejarah yang terselip, yang abai ditulis dalam narasi besar.

Selasa, 22 Juni 2010

Resep de Soto Gugur di Kampung Rawa?

Judul Buku: Sertifikat tanah dan orang miskin: Pelaksanaan proyek ajudikasi di Kampung Rawa, Jakarta

Tebal: xx + 190 halaman
Penulis: Djaka Soehendera (alm.)
Penerbit: HuMa Jakarta,  Van Vollenhoven Universitas Leiden, dan KITLV Jakarta.
Tahun terbit: 2010, edisi pertama

Penyumbang naskah: R. Yando Zakaria

Dalam pustaka studi pembangunan dikenal apa yang saya sebut sebagai ‘resep de Soto’. Resep ini hasil racikan Hernando de Soto, seorang ekonom terkemuka asal Peru.

Ringkasnya, ia mengusulkan agar orang miskin mendapat kepastian hukum atas tanah mereka. Selanjutnya, orang miskin bisa mengagunkan tanah untuk mendapat dana segar sebagai modal (tunai) untuk memulai usaha. Dari sini mereka bisa tersambung ke mekanisme pasar yang dipercaya de Soto sebagai jalan meningkatkan kesejahteraan.

Bagaimana jejak ‘resep de Soto’ ini di Indonesia?

Setelah membaca buku karya Soehendera ini, saya bisa menjawab pertanyaan di atas dengan kalimat: “Jauh panggang dari api.”

Begitu burukkah reputasi ilmuwan terkemuka asal Amerika Latin yang pernah disanjung Bill Clinton sebagai ‘the world’s greatest living economist’ itu?

Hmm..sepertinya, ya.

Berdasar penelitian mendalam terhadap penyelenggaraan Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) atau Land Administration Project (LAP) di Indonesia yang mendapat dukungan dana dari Bank Dunia dan Ausaid, Soehendera sampai pada kesimpulan berikut:

“... pembangunan bisa memberi dampak positip bagi warga yang tidak miskin, dan sebaliknya justru menghadirkan kendala bagi mereka-mereka yang miskin. Hal itu terjadi karena warga yang miskin tidak memiliki kapital yang cukup dan yang dibutuhkan oleh pembangunan."


Rabu, 02 Juni 2010

James C. Scott dan Karya Agraria-nya

Penyumbang Naskah: Ronny Agustinus

Apakah James C. Scott masih menarik bagi ranah pemikiran sosial di Indonesia? Dua bukunya, yakni Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts (1992) dan Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed (1998) tidak diterjemahkan.  sementara dua buku klasiknya, yakni Moral Ekonomi Petani: Pergerakan dan Subsistensi di Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1981) dan Senjatanya Orang-Orang yang Kalah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000) tidak diterbitkan ulang. Padahal pemikiran Scott sangat relevan, terutama menyangkut pergolakan kekuasaan di pedesaan, perubahan agraria, dan nasib petani.

Jurnal Wacana terbitan INSIST adalah salah satu yang berupaya menyebarkan pemikiran James Scott. Dalam edisi 10 tahun III 2002, ia memuat terjemahan dari makalah James Scott, (1995) “State simplifications: Some applications to Southeast Asia”, yang disampaikan dalam kuliah umum The Wertheim Lecture 1995 di Centre for Asian Studies Amsterdam.

Buku terbaru James Scott, The Art of Not Being Governed yang diterbitkan tahun 2009 sekali lagi menunjukkan kalibernya sebagai pembentuk kecenderungan dalam studi-studi agraria di Asia Tenggara.

Jika mencermati karya-karya James Scott dari awal hingga yang terbaru, sebenarnya kita bisa menarik benang merah perkembangan pemikirannya.

Dalam Moral Ekonomi Petani: Pergerakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, Scott mengemukakan pertama kali teorinya tentang bagaimana “etika subsistensi” (etika untuk bertahan hidup dalam kondisi minimal) melandasi segala perilaku kaum tani dalam hubungan sosial mereka di pedesaan, termasuk pembangkangan mereka terhadap inovasi yang datang dari penguasa mereka.

Itulah yang disebut sebagai “moral ekonomi”, yang membimbing mereka sebagai warga desa dalam mengelola kelanjutan kehidupan kolektif dan hubungan sosial resiprokal saat menghadapi tekanan-tekanan struktural dari hubungan kekuasaan baru yang mencengkam. Tekanan struktural dari pasar kapitalistik, pengorganisasian negara kolonial dan paskakolonial, dan proses modernisasi di Asia Tenggara mengacaukan “moral ekonomi” itu dan menyebabkan kaum tani berontak.

Mahakarya kedua Scott, Senjatanya Orang-Orang yang Kalah, membawa topik di atas selangkah lebih jauh. Scott mendokumentasikan penelitian bertahun-tahunnya tentang perlawanan keseharian kaum tani yang tak tercatat sejarah. Buku Perlawanan Kaum Tani mengusung tema serupa. Namun demikian, buku ini bukan terjemahan langsung dari buku Scott, melainkan terjemahan kumpulan artikel Scott yang disunting oleh Prof. Sajogyo. Nah, Senjatanya Orang-Orang yang Kalah menjelaskan posisi dan perilaku politik kaum tani.

Sejak jaman kolonial, protes dan perlawanan kaum tani dipandang bukan sebagai gerakan terorganisir, melainkan sekedar pelampiasan kemarahan secara destruktif dan membabi buta akibat eksploitasi yang kelewatan, misalnya pajak yang teramat tinggi. Namun pada kehidupan sehari-hari, kaum tani nampak pasrah, nrimo dan tergantung pada alam. Tidak nampak revolusioner sama sekali.

Penelitian Scott atas petani Asia Tenggara mematahkan mitos ini. Ia membuktikan bahwa apa yang disebut sebagai ‘kepasrahan kaum tani’ bukanlah benar-benar kepasrahan, melainkan aksi-aksi perlawanan anonim dalam diam yang berlangsung saban harinya, yang bahkan telah menjadi suatu subkultur. Dari Scott lah kita mendapat analisa yang jenius tentang apa yang disebutnya ‘bentuk-bentuk perjuangan kelas gaya Brechtian’ (Brechtian modes of resistance), yakni "senjata-senjata biasa yang dimiliki kelompok-kelompok yang relatif tanpa kekuatan: menghambat, berpura-pura, pura-pura menurut, mencopet, pura-pura tidak tahu, memfitnah, pembakaran, sabotase, dan sebagainya" (Perlawanan Kaum Tani, halaman 271).

Istilah "Brechtian" berasal dari Bertold Brech, seorang seniman cum aktivis gerakan kiri di Jerman. Dalam Kumpulan Cerita tentang Tuan Keuner karya Bertold Brech, ada satu cerita mini yang sangat terkenal yakni ketika Tuan Keuner diperlakukan sewenang-wenang bak jongos di rumahnya sendiri oleh seorang tentara fasis. Tuan Keuner tidak melawan. Ia layani apa saja permintaan si tentara. Karena terbiasa dilayani sebagai majikan selama bertahun-tahun, si tentara akhirnya menjadi pemalas lalu mati. Dan saat itulah Tuan Keuner yang dianiaya berteriak “merdeka!”

Pesan Scott jelas: hanya karena perlawanan kaum tani ini tak kasat mata, tak tercatat dalam sejarah, bukan berarti mereka tidak punya kesadaran kritis dan tidak melawan. Saya kutip dari buku Perlawanan Kaum Tani, halaman 314-315: "Banyak dari bentuk perlawanan yang telah kita pelajari itu mungkin aksi-aksi ‘perorangan’, tetapi itu tidak berarti bahwa aksi itu tidak terkoordinasi.

Di sini, sebuah konsep koordinasi yang berasal dari rakitan formal dan birokratis tidak banyak membantu untuk memahami aksi-aksi yang dilakukan dalam komunitas-komunitas dengan jaringan-jaringan informasi yang padat dan subkultur-subkultur perlawanan yang kaya, dan historis dalam, terhadap tuntutan-tuntutan dari luar […:] subkultur pedesaan membantu membenarkan kepura-puraan, perburuan tanpa izin, pencurian, penghindaran pajak, penghindaran wajib militer dan sebagainya […:] Tidak ada organisasi formal yang dibuat karena tidak ada satu pun yang diperlukan; namun, suatu bentuk koordinasi telah dicapai yang mengisyaratkan kepada kita bahwa apa yang sedang terjadi itu bukan sekedar aksi perorangan."

James C. Scott bukan cuma cendekiawan brilian, namun juga penulis ulung. Seperti buku-bukunya yang lain, The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia ditulis dengan sangat jernih (sampai-sampai memperoleh penghargaan PROSE Award in Goverment and Politics - sebuah penghargaan yang diberikan para penerbit Amerika setiap tahunnya kepada para profesional dan intelektual atas karya mereka yang diterbitkan dalam bentuk buku, jurnal, dan media elektronik)

Scott sendiri sadar akan kelihaiannya ini. Di halaman xi ia tulis, “Saya sering dituding keliru, tapi jarang dibilang tidak jelas atau tidak mudah dipahami. Buku ini juga begitu.”

Keunikan Scott lainnya, sehari-harinya selain meriset dan mengajar ia memelihara domba! Mengapa domba? Dalam sebuah wawancara ia utarakan filosofikasinya untuk kegiatannya ini: “Domba sering dipakai sebagai metafor untuk kebloonan dan kepatuhan. Tapi orang yang pernah melihat domba liar beraksi akan tahu bahwa domba itu sebenarnya individualistik. Kita telah beternak domba selama 8.000 tahun dan memilih yang patuh. Kita yang menjadikan mereka begitu!”

Dengan kata lain, masyarakat yang direkayasa oleh skema-skema pembangunan hanya akan menghasilkan manusia-manusia pasif yang tak sejalan dengan tujuan pembangunan itu sendiri. Masyarakat yang berhasil hanyalah masyarakat yang bebas untuk menentukan cara meraih keberhasilannya sendiri, bukan yang direkayasa dari atas.

Ya, barang siapa masih menganggap domba itu makhluk bloon, coba saja tonton Shaun the Sheep. *

The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia

Karya: James C. Scott
Penerbit: Yale University, 2009
Tebal: 442 halaman

Penyumbang Naskah: Ronny Agustinus

Buku Scott yang terbaru ini terbit pada Agustus 2009. Ia menelusuri sejarah dan geografi dari penduduk dan wilayah yang disebut Zomia. Zomia merujuk pada dataran tinggi yang mencakup sebagian wilayah Vietnam, Thailand, Kamboja, Laos, Birma, sampai empat provinsi Cina. Istilah Zomia sendiri dicetuskan pada 2002 oleh sejarawan Willem van Schendel dari Universitas Amsterdam. Argumen utama Scott adalah penduduk dan wilayah dataran tinggi pedesaan Zomia ini selalu melakukan perlawanan sistematis agar tak ditaklukan dan tercakup dalam penguasaan atau negara-bangsa.

Memang, tema tarik ulur antara pusat dan daerah pinggiran selalu terjadi dan bukan hal baru. Tapi yang dimaksud Scott di sini bukanlah semata-mata ketidakpuasan daerah atas sentralisme politik atau sumber daya. Lebih dari itu, Scott menguraikan bahwa seluruh aspek kehidupan sosial di desa-desa Zomia (misalnya sistem perladangan berpindah, agama mileniarisnya, bahkan tradisi lisannya) sengaja dirancang agar mereka tak bisa dicaplok ke dalam negara-bangsa dan untuk mencegah agar dalam masyarakat mereka tidak tumbuh bibit-bibit negara-bangsa. Sepanjang sejarah, penduduk dataran tinggi ini adalah “pelarian sengaja” dari pusat-pusat ekonomi-politik di dataran rendah.

Berikut adalah sekilas isi buku dalam tiap bab:

Bab 1 memaparkan tegangan antara wilayah pegunungan dengan lembah. Peradaban atau negara selalu dimulai di wilayah lembah, dan selalu terjadi proyek kolonisasi (yang sebagian di antaranya gagal) ke wilayah pegunungan. Scott mendekonstruksi bagaimana kerajaan-kerajaan Tiongkok menjuluki orang-orang gunung ini sebagai “leluhur kita sebelum mengenal peradaban dan agama Budha”, yang sebenarnya justru sebaliknya.

Orang-orang gunung bukannya belum mengenal peradaban melainkan justru sengaja kabur menghindar darinya. Bentuk masyarakatnya yang terpencar-pencar dan tak teratur (tak bisa diatur) adalah suatu taktik tersendiri buat mereka yang sering membikin pusing para kolonialis. Scott mengutip catatan Raffles untuk menunjukkan bagaimana para kolonialis harus berpikir keras bagaimana cara menundukkan orang-orang gunung dalam suatu pemerintahan terpusat: “Di sini Sumatra saya menyokong despotisme. Tangan besi kekuasaan perlu untuk menyatukan orang-orang, memusatkan mereka ke dalam masyarakat-masyarakat...” (halaman 39).

Harus ditambahkan di sini bahwa analisa lembah vs. pegunungan juga berlaku bagi daratan vs. pesisir. Semakin dekat laut, pengaruh pusat kekuasaan di darat semakin kendur, dan masyarakat jadi lebih bebas dan egaliter (atau “tak beradab” dalam pandangan penguasa). Orang Tuban misalnya, jelas lebih egaliter daripada orang Mataram, sebagaimana tergambar dalam bahasa Jawa mereka yang tanpa hirarki, berbeda dengan bahasa Mataraman. Cara hidup orang laut mempunyai keserupaan mendasar dengan penduduk dataran tinggi Zomia yang melarikan dari pusat-pusat kekuasaan.

Dalam hal itu, Ben Anderson secara khusus menyarankan agar Scott memperluas kajiannya ke wilayah pesisir dan laut, terutama kehidupan bajak laut. Namun Scott dengan rendah hati mengakui bahwa kajian untuk itu telah dirintis oleh cendekiawan yang lebih kompeten: Eric Tagliacozzo

Bab 2 dan 3 mengulas bagaimana ruang-ruang pemerintahan itu akhirnya terbentuk; yaitu melalui pelembagaan sistem persawahan. Lokasi sawah-sawah padi lah yang akhirnya memunculkan pusat-pusat pemerintahan kota. Sawah membuat hasil panen stabil dan mudah dihitung. Dari sini timbul kebutuhan untuk memulai penguasaan tenaga kerja manusia dan sistem produksi. Dinasti Tang misalnya, melarang perladangan berpindah sekalipun sesungguhnya sistem perladangan berpindah memberi lebih banyak hasil bagi petaninya. Masalahnya, kerajaan tidak bisa mengakses hasil itu. Masyarakat pun dipaksa bercocok tanam, dan dengan demikian masuk ke dalam ruang kelola negara.

Bab 4 mengulas bagaimana kekuasaan dikonstruksi secara kultural, misalnya lewat pembedaan antara siapa yang disebut “beradab” dan siapa yang “barbar”.

Bab 5 sampai 6 1/2 - ya, saya tidak mengada-ada, di antara bab 6 – bab 7, ada bab 6 1/2. Dua bab ini mengulas proses konstruksi kekuasaan itu dari sudut pandang sebaliknya. Yaitu sudut pandang orang-orang gunung yang melawan itu. Sebagian cara perlawanan mereka tempuh lewat, yakni pemilihan jenis tanaman pangan yang memungkinkan mereka terus lolos dari cengkeraman negara.

Contohnya, saat petani-petani Birma melawan kesemena-menaan tentara dengan menanam ketela rambat yang mustahil dirampas. Pemerintah militer Birma pun pada tahun 1980-an akhirnya mengeluarkan dekrit pelarangan ketela rambat.

Ini mirip tulisan Robert Hefner dalam Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Ia mengulas tentang bagaimana penanaman jagung membantu petani-petani Hindu pindah ke tempat yang lebih tinggi lagi di Tengger untuk bertahan diri setelah Majapahit jatuh ke pengaruh Islam.

Secara khusus, bab 6 1/2 mengulas bagaimana kelisanan juga dipakai sebagai praktik tersendiri untuk menghindari caplokan negara. Scott mengajukan pertanyaan menarik: bagaimana bila orang-orang ini bukan pra-literer, melainkan pasca-literer? Mereka bukan tuna aksara, melainkan kehidupan yang mereka pilih mengharuskan mereka untuk meninggalkan aksara.

Contoh hipotetis menarik yang diajukannya adalah bahwa upaya kolonial yang paling pertama dan utama dari suatu pemerintahan terpusat adalah “pemberian nama”: menamai wilayah yang sebelumnya tak bernama menjadi sebuah desa, dan mungkin pula membagi-baginya dalam satuan-satuan tertentu.

Dengan nama itulah kekuasaan dipatenkan. Sebaliknya bila timbul perlawanan tani, dalam kebanyakan kasus, kaum tani melakukan pembakaran terhadap arsip-arsip dan catatan-catatan desa. Aksi dan reaksi ini bagi Scott memiliki makna yang lebih dari sekadar simbolik.

Scott mengutip renungan antropolog strukturalis Claude Levi-Strauss: “Tulisan sepertinya niscaya bagi negara terpusat yang terstratifikasi untuk mereproduksi dirinya sendiri. Tulisan itu aneh ... Fenomena yang tak pelak lagi selalu menyertai kemunculannya adalah terbentuknya kota-kota dan imperium: integrasi ke dalam sistem politik, artinya, pembentukan hirarki dan sistem kasta.”

Scott telah mewanti-wanti sejak di bagian Pengantar bahwa analisa historisnya ini “kurang berlaku untuk periode sesudah Perang Dunia II” (halaman xii). Karena bisa dibilang cengkeraman negara-bangsa sangat kuat sesudah periode itu dengan munculnya nasionalisme negara-negara Dunia Ketiga.

Meski begitu, kurang berlaku bukan berarti tidak berguna. Justru analisa sejarah Scott bisa memberi masukan pada kondisi Indonesia kontemporer yang masih tidak punya bayangan tentang apa yang harus dilakukan pada masyarakat adatnya.

Di satu sisi kita meninggi-ninggikan adat sebagai dasar kebudayaan kita. Di sisi lain, bila masyarakat adat menerapkan cara hidupnya yang asali (misalnya perladangan berpindah), negara mencapnya sebagai kriminal dan perambah hutan. Kita tidak punya rencana jelas apakah kita hendak menjadi “nasional” seutuhnya atau mengakomodir adat dan sepertinya apa caranya?

Ketidakjelasan tersebut berdampak pada banyak hal, misalnya legalitas tanah.

Di Bali, sekalipun secara diakui banyak tanah komunal yang dimiliki warga secara adat, namun menurut penelusuran teman saya yang sedang melakukan riset doktoralnya di sana, ternyata secara tanah-tanah itu tak punya ketetapan hukum resmi sebagai tanah komunal.

Secara hukum tak ada perlindungan apapun yang dipunyai warga. Sementara negara sendiri berkilah memberikan sertifikat resmi atas tanah itu sama artinya dengan mendorong pluralisme hukum. Masalah-masalah inilah yang membuat persoalan agraria di Indonesia tidak bisa didekati dari sudut pandang hukum saja, namun harus secara sosiologis. Analisa Scott bisa memberi masukan berguna untuk itu.

Untuk mengenal James C. Scott lebih jauh, silakan baca James C. Scott dan Karya Agraria-nya.*