Anda sudah selesai membaca sebuah karya tentang studi agraria? Tuliskan kembali ringkasan bacaan Anda dan kirimkan ke : studiagraria@gmail.com. Kami akan memuatnya di situs ini. Dan, mari kita membicarakannya.

Rabu, 02 Juni 2010

The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia

Karya: James C. Scott
Penerbit: Yale University, 2009
Tebal: 442 halaman

Penyumbang Naskah: Ronny Agustinus

Buku Scott yang terbaru ini terbit pada Agustus 2009. Ia menelusuri sejarah dan geografi dari penduduk dan wilayah yang disebut Zomia. Zomia merujuk pada dataran tinggi yang mencakup sebagian wilayah Vietnam, Thailand, Kamboja, Laos, Birma, sampai empat provinsi Cina. Istilah Zomia sendiri dicetuskan pada 2002 oleh sejarawan Willem van Schendel dari Universitas Amsterdam. Argumen utama Scott adalah penduduk dan wilayah dataran tinggi pedesaan Zomia ini selalu melakukan perlawanan sistematis agar tak ditaklukan dan tercakup dalam penguasaan atau negara-bangsa.

Memang, tema tarik ulur antara pusat dan daerah pinggiran selalu terjadi dan bukan hal baru. Tapi yang dimaksud Scott di sini bukanlah semata-mata ketidakpuasan daerah atas sentralisme politik atau sumber daya. Lebih dari itu, Scott menguraikan bahwa seluruh aspek kehidupan sosial di desa-desa Zomia (misalnya sistem perladangan berpindah, agama mileniarisnya, bahkan tradisi lisannya) sengaja dirancang agar mereka tak bisa dicaplok ke dalam negara-bangsa dan untuk mencegah agar dalam masyarakat mereka tidak tumbuh bibit-bibit negara-bangsa. Sepanjang sejarah, penduduk dataran tinggi ini adalah “pelarian sengaja” dari pusat-pusat ekonomi-politik di dataran rendah.

Berikut adalah sekilas isi buku dalam tiap bab:

Bab 1 memaparkan tegangan antara wilayah pegunungan dengan lembah. Peradaban atau negara selalu dimulai di wilayah lembah, dan selalu terjadi proyek kolonisasi (yang sebagian di antaranya gagal) ke wilayah pegunungan. Scott mendekonstruksi bagaimana kerajaan-kerajaan Tiongkok menjuluki orang-orang gunung ini sebagai “leluhur kita sebelum mengenal peradaban dan agama Budha”, yang sebenarnya justru sebaliknya.

Orang-orang gunung bukannya belum mengenal peradaban melainkan justru sengaja kabur menghindar darinya. Bentuk masyarakatnya yang terpencar-pencar dan tak teratur (tak bisa diatur) adalah suatu taktik tersendiri buat mereka yang sering membikin pusing para kolonialis. Scott mengutip catatan Raffles untuk menunjukkan bagaimana para kolonialis harus berpikir keras bagaimana cara menundukkan orang-orang gunung dalam suatu pemerintahan terpusat: “Di sini Sumatra saya menyokong despotisme. Tangan besi kekuasaan perlu untuk menyatukan orang-orang, memusatkan mereka ke dalam masyarakat-masyarakat...” (halaman 39).

Harus ditambahkan di sini bahwa analisa lembah vs. pegunungan juga berlaku bagi daratan vs. pesisir. Semakin dekat laut, pengaruh pusat kekuasaan di darat semakin kendur, dan masyarakat jadi lebih bebas dan egaliter (atau “tak beradab” dalam pandangan penguasa). Orang Tuban misalnya, jelas lebih egaliter daripada orang Mataram, sebagaimana tergambar dalam bahasa Jawa mereka yang tanpa hirarki, berbeda dengan bahasa Mataraman. Cara hidup orang laut mempunyai keserupaan mendasar dengan penduduk dataran tinggi Zomia yang melarikan dari pusat-pusat kekuasaan.

Dalam hal itu, Ben Anderson secara khusus menyarankan agar Scott memperluas kajiannya ke wilayah pesisir dan laut, terutama kehidupan bajak laut. Namun Scott dengan rendah hati mengakui bahwa kajian untuk itu telah dirintis oleh cendekiawan yang lebih kompeten: Eric Tagliacozzo

Bab 2 dan 3 mengulas bagaimana ruang-ruang pemerintahan itu akhirnya terbentuk; yaitu melalui pelembagaan sistem persawahan. Lokasi sawah-sawah padi lah yang akhirnya memunculkan pusat-pusat pemerintahan kota. Sawah membuat hasil panen stabil dan mudah dihitung. Dari sini timbul kebutuhan untuk memulai penguasaan tenaga kerja manusia dan sistem produksi. Dinasti Tang misalnya, melarang perladangan berpindah sekalipun sesungguhnya sistem perladangan berpindah memberi lebih banyak hasil bagi petaninya. Masalahnya, kerajaan tidak bisa mengakses hasil itu. Masyarakat pun dipaksa bercocok tanam, dan dengan demikian masuk ke dalam ruang kelola negara.

Bab 4 mengulas bagaimana kekuasaan dikonstruksi secara kultural, misalnya lewat pembedaan antara siapa yang disebut “beradab” dan siapa yang “barbar”.

Bab 5 sampai 6 1/2 - ya, saya tidak mengada-ada, di antara bab 6 – bab 7, ada bab 6 1/2. Dua bab ini mengulas proses konstruksi kekuasaan itu dari sudut pandang sebaliknya. Yaitu sudut pandang orang-orang gunung yang melawan itu. Sebagian cara perlawanan mereka tempuh lewat, yakni pemilihan jenis tanaman pangan yang memungkinkan mereka terus lolos dari cengkeraman negara.

Contohnya, saat petani-petani Birma melawan kesemena-menaan tentara dengan menanam ketela rambat yang mustahil dirampas. Pemerintah militer Birma pun pada tahun 1980-an akhirnya mengeluarkan dekrit pelarangan ketela rambat.

Ini mirip tulisan Robert Hefner dalam Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Ia mengulas tentang bagaimana penanaman jagung membantu petani-petani Hindu pindah ke tempat yang lebih tinggi lagi di Tengger untuk bertahan diri setelah Majapahit jatuh ke pengaruh Islam.

Secara khusus, bab 6 1/2 mengulas bagaimana kelisanan juga dipakai sebagai praktik tersendiri untuk menghindari caplokan negara. Scott mengajukan pertanyaan menarik: bagaimana bila orang-orang ini bukan pra-literer, melainkan pasca-literer? Mereka bukan tuna aksara, melainkan kehidupan yang mereka pilih mengharuskan mereka untuk meninggalkan aksara.

Contoh hipotetis menarik yang diajukannya adalah bahwa upaya kolonial yang paling pertama dan utama dari suatu pemerintahan terpusat adalah “pemberian nama”: menamai wilayah yang sebelumnya tak bernama menjadi sebuah desa, dan mungkin pula membagi-baginya dalam satuan-satuan tertentu.

Dengan nama itulah kekuasaan dipatenkan. Sebaliknya bila timbul perlawanan tani, dalam kebanyakan kasus, kaum tani melakukan pembakaran terhadap arsip-arsip dan catatan-catatan desa. Aksi dan reaksi ini bagi Scott memiliki makna yang lebih dari sekadar simbolik.

Scott mengutip renungan antropolog strukturalis Claude Levi-Strauss: “Tulisan sepertinya niscaya bagi negara terpusat yang terstratifikasi untuk mereproduksi dirinya sendiri. Tulisan itu aneh ... Fenomena yang tak pelak lagi selalu menyertai kemunculannya adalah terbentuknya kota-kota dan imperium: integrasi ke dalam sistem politik, artinya, pembentukan hirarki dan sistem kasta.”

Scott telah mewanti-wanti sejak di bagian Pengantar bahwa analisa historisnya ini “kurang berlaku untuk periode sesudah Perang Dunia II” (halaman xii). Karena bisa dibilang cengkeraman negara-bangsa sangat kuat sesudah periode itu dengan munculnya nasionalisme negara-negara Dunia Ketiga.

Meski begitu, kurang berlaku bukan berarti tidak berguna. Justru analisa sejarah Scott bisa memberi masukan pada kondisi Indonesia kontemporer yang masih tidak punya bayangan tentang apa yang harus dilakukan pada masyarakat adatnya.

Di satu sisi kita meninggi-ninggikan adat sebagai dasar kebudayaan kita. Di sisi lain, bila masyarakat adat menerapkan cara hidupnya yang asali (misalnya perladangan berpindah), negara mencapnya sebagai kriminal dan perambah hutan. Kita tidak punya rencana jelas apakah kita hendak menjadi “nasional” seutuhnya atau mengakomodir adat dan sepertinya apa caranya?

Ketidakjelasan tersebut berdampak pada banyak hal, misalnya legalitas tanah.

Di Bali, sekalipun secara diakui banyak tanah komunal yang dimiliki warga secara adat, namun menurut penelusuran teman saya yang sedang melakukan riset doktoralnya di sana, ternyata secara tanah-tanah itu tak punya ketetapan hukum resmi sebagai tanah komunal.

Secara hukum tak ada perlindungan apapun yang dipunyai warga. Sementara negara sendiri berkilah memberikan sertifikat resmi atas tanah itu sama artinya dengan mendorong pluralisme hukum. Masalah-masalah inilah yang membuat persoalan agraria di Indonesia tidak bisa didekati dari sudut pandang hukum saja, namun harus secara sosiologis. Analisa Scott bisa memberi masukan berguna untuk itu.

Untuk mengenal James C. Scott lebih jauh, silakan baca James C. Scott dan Karya Agraria-nya.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar