Anda sudah selesai membaca sebuah karya tentang studi agraria? Tuliskan kembali ringkasan bacaan Anda dan kirimkan ke : studiagraria@gmail.com. Kami akan memuatnya di situs ini. Dan, mari kita membicarakannya.

Senin, 01 Maret 2010

Li, Tania. 2002. “Local Histories, Global Markets: Cocoa and Class in Upland Sulawesi”. Development and Change 33(3):415-437.



Penyumbang Naskah: Andree Eka Dinata Putra

Kasus pemindahan hak kepemilikan tanah dari penduduk asli ke pihak luar komunitas lokal seperti perusahaan, pemerintah atau pendatang merupakan gejala umum di Indonesia. Kasus yang terjadi di dataran tinggi Sulawesi sebagaimana dipaparkan oleh Tania Li dalam tulisannya ini merupakan kasus yang penting untuk dipelajari. Tidak ada perusahaan besar yang merebut hak rakyat atas tanah, atau penyerobotan tanah oleh pihak swasta sebagaimana yang banyak terjadi dalam kasus-kasus konflik agraria. Yang ada adalah perubahan penggunaan tanah secara gradual oleh masyarakat, yang kemudian mengakibatkan terjadinya diferensiasi akses terhadap tanah dan akhirnya menghilangkan hak kepemilikan masyarakat asal itu terhadap tanahnya.

Tulisan Tania Li memberikan pemahaman bahwa transformasi agraria yang berdampak negatif dapat terjadi melalui sistem pertanian skala kecil (smallholder agriculture) yang umumnya dipandang menguntungkan petani.

Pedesaan di dataran tinggi Indonesia dalam berbagai penelitian umumnya selalu dihubungkan dengan permasalahan perbedaan kultur dan kebudayaan, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas.

Dalam tulisan ini, Tania Li memaparkan bahwa dimensi permasalahan pada daerah dataran tinggi sebenarnya jauh lebih kompleks. Di dalamnya tercakup diferensiasi akses terhadap tanah pada berbagai kelas sosial yang ada akibat proses perubahan penggunaan tanah yang secara gradual mengubah peta kepemilikan tanah. Proses ini membawa dampak negatif yang di antaranya adalah terputusnya akses masyarakat asal yang secara adat memiliki hak penguasaan mula-mula atas tanah itu. Tania Li memaparkan kasus diferensiasi akses terhadap tanah di dua daerah di dataran tinggi Sulawesi yaitu Lauje dan daerah sekitar Taman Nasional Lore Lindu dengan menggunakan pendekatan sejarah atas penggunaan tanah.

Transformasi agraria di kedua daerah ini terjadi melalui media pertanian coklat skala kecil yang mengalami peningkatan luasan secara tajam di tahun 90-an. Proses transformasi agraria di kedua daerah ini terjadi dalam alur yang berbeda tetapi akhirnya berujung pada kondisi yang sama yaitu hilangnya akses masyarakat asal terhadap tanah.

Proses transformasi agraria di daerah Lauje terjadi dalam proses panjang selama bertahun-tahun (Gambar 1). Tanah di dalam kawasan tersebut telah lama dikuasai secara adat melalui pembukaan tanah yang dilakukan oleh para pionir pembuka hutan dari suku Lauje. Tanah yang dibuka kemudian digunakan dalam pertanian ladang berpindah. Tanah tersebut secara adat dikuasai dan diwariskan kepada ahli waris dari para pionir tersebut. Dalam prosesnya, para ahli waris tidak melakukan pembagian penguasaan atas tanah sehingga akhirnya tanah dikelola secara kolektif. Pengusahaan tanah dilakukan oleh keluarga ahli waris atau keluarga lain yang diberikan izin untuk bercocok tanam di atas tanah tersebut.

Pada saat tanaman coklat diperkenalkan di daerah ini, terjadi perubahan secara drastis. Harga coklat yang sangat tinggi di pasar internasional mengundang para petani di daerah tersebut untuk mulai menanam coklat di kebunnya. Secara sederhana, praktik ini menghentikan siklus pertanian ladang berpindah karena tidak mungkin membuka tanah baru dengan menebang tanaman coklat yang bernilai tinggi. Apa yang terjadi kemudian adalah tiga proses transformasi agraria yang berujung pada diferensiasi akses petani lokal terhadap tanah.

Ketiga proses tersebut adalah:

1. Privatisasi tanah oleh petani non ahli waris. Bayangan keuntungan dari pertanian coklat mengundang para petani yang sebenarnya tidak memiliki hak adat atas tanah untuk menanam tanaman coklat di kebunnya. Dalam pertanahan, perilaku ini menghentikan siklus ladang berpindah yang akhirnya berakhir dengan kondisi sebidang tanah dikuasai oleh satu orang saja. Situasi ini berjalan dengan atau atas ijin dari para ahli waris yang secara adat menguasai tanah tersebut. Kondisi ini berlangsung terutama karena sulitnya mebuktikan batas kepemilikan dari seorang ahli waris terhadap tanah yang dibuka oleh nenek moyangnya.

2. Tanah diperlakukan sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Proses privatisasi tanah selanjutnya adalah dimulainya sistem jual beli terhadap tanah. Petani yang membutuhkan modal atau terdesak oleh kebutuhan tertentu akan menjual tanahnya untuk mendapatkan uang. Secara bertahap, ini menyebabkan terjadinya akumulasi penguasaan tanah di tangan beberapa orang saja. Petani yang sebelumnya memiliki tanah kemudian bekerja sebagai buruh upahan di tanah yang semula dimilikinya.

3. Akumulasi tanah dan perpindahan kepemilikan. Akumulasi tanah yang terjadi kenudian membuka pintu bagi investor dari luar masyarakat adat untuk melakukan pembelian tanah yang telah ditanami coklat. Perlahan namun pasti hal ini berlangsung hingga membuat penguasaan tanah di Lauje berada di tangan orang-orang yang sebenarnya berada di luar kelompok masyarakat adat Lauje. Inilah yang menimbulkan terjadinya diferensiasi akses tanah. Masyarakat adat yang semula memiliki hak atas tanah tersebut kini berada pada kondisi tak bertanah dan harus rela melihat kemajuan yang diperoleh oleh masyarakat luar dari hasil tanaman coklat.

Transformasi agraria di daerah perbatasan taman nasional Lore Lindu terjadi dengan alur yang berbeda dengan apa yang terjadi di Lauje. Secara umum, transformasi agraria di Lauje terjadi akibat proses perubahan penggunaan tanah yang dilakukan oleh petani sendiri. Di Lindu, transformasi agraria terjadi akibat pengaruh dari luar, dalam hal ini pemerintah dan pendatang dari Bugis. Secara umum proses transformasi agraria di daerah ini ditunjukkan oleh gambar 2.

Sebagaimana yang terjadi di daerah Lauje, para pionir di daerah Lindu membuka tanah dan melakukan pertanian ladang berpindah selama berpuluh-puluh tahun. Di masa pemerintahan kolonial Belanda, masyarakat di daerah ini mengalami proses relokasi pemukiman ke daerah dataran rendah yang lebih mudah diakses. Perpindahan ini menjauhkan para petani dari tanah yang secara adat menjadi haknya.

Dengan demikian, meski secara ekonomi petani tetap mengusahakan peladangan di daerah Lindu, namun secara fisik mereka terputus dari tanahnya.

Di masa pemerintahan orde baru, sebagian tanah masyarakat Lindu dimasukkan kedalam area Taman Nasional Lore Lindu karena dianggap memiliki fungsi perlindunga keanekaragaman hayati yang tinggi. Lepas dari benar atau tidaknya tindakan pemerintah, kondisi ini menyebabkan adanya ketidakpastian hak atas tanah di kawasan Lindu. Ketidakpastian tersebut bertambah parah dengan adanya permintaan tanah dalam jumlah besar oleh pendatang dari Bugis untuk membuka perkebunan coklat.

Sementara itu, di satu sisi keadaan ini dimanfaatkan oleh pemerintah (para kepala desa) untuk menjual tanah yang statusnya tidak pasti karena berada dalam kawasan taman nasional. Petani yang masih memiliki kepastian akan hak atas tanahnya pun banyak yang memilih untuk menjual tanahnya kepada pendatang dari Bugis. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa jika tidak dijual mungkin saja tanahnya diklaim oleh pemerintah sebagai wilayah taman nasional.

Hal-hal seperti tersebut di atas itulah yang menyebabkan akumulasi tanah yang sangat besar kemudian berada di tangan para pendatang dari Bugis. Akibatnya, kondisi akhir di daerah Lindu pun tak jauh berbeda dengan di daerah Lauje: masyarakat lokal terputus dari tanah yang secara adat menjadi haknya.


Gambar 1. Proses transformasi agraria di daerah Lauje, Sulawesi Tengah (Klik gambar untuk melihat lebih jelas)




Gambar 2. Proses transformasi agraria di perbatasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah (Klik gambar untuk melihat lebih jelas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar