Anda sudah selesai membaca sebuah karya tentang studi agraria? Tuliskan kembali ringkasan bacaan Anda dan kirimkan ke : studiagraria@gmail.com. Kami akan memuatnya di situs ini. Dan, mari kita membicarakannya.

Senin, 19 Juli 2010

Land Reform in Developing Countries: Property Rights and Property Wrongs

Judul buku: Land Reform in Developing Countries: Property Rights and Property Wrongs
Karya: Michael Lipton
Penerbit: Routledge
Tanggal terbit: 23 Juni 2009
Tebal buku: 384 halaman

Penyumbang Naskah: Noer Fauzi Rachman

Di awal abad 21 ini, agenda penguatan akses rakyat miskin pedesaan pada tanah dan kekayaan alam (land reform/agrarian reforms/reforma agraria) telah kembali menjadi salah satu pokok bahasan terdepan dalam agenda pembangunan berbagai badan internasional, dan sejumlah negara, serta organisasi gerakan sosial di Asia, Afrika dan Amerika Latin hingga negara-negara bekas komunis di Eropa Timur.

Karya baru Michael Lipton ini dikerjakan selama lebih dari duabelas tahun semenjak ia meninggalkan posisi resminya sebagai profesor di Institute of Development Studies (IDS), Sussex University. Saya menduga buku ini akan segera menjadi bahan bacaan utama dan perdebatan dalam studi dan kebijakan pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang. Tentunya, buku ini akan menguatkan agenda reforma agraria itu, khususnya pada badan-badan pembangunan internasional.

Lipton menganggap penting definisi objek karyanya (reforma agraria), dan karenanya dalam lampiran ia membuat uraian khusus perihal definisi reforma agraria yang ia pergunakan (halaman321-330).

Di halaman 328 ia mendefinisikan reforma agraria sebagai “legislation intended and likely to directly redistribute ownership of, claims on, or rights to farmland, and thus to benefit the poor by raising their absolute and relative status, power, and income, compared with likely situations without the legislation”  (peraturan perundang-undangan yang diniatkan dan memungkinkan untuk meredistribusi secara langsung kepemilikan, klaim, atau hak atas tanah pertanian, dan karenanya memberi manfaat bagi kaum miskin dengan meningkatkan status, kekuatan, dan pendapatannya secara relatif maupun absolut, dibandingkan dengan situasi sebelum adanya peraturan tersebut).

Sungguh sulit membuat suatu uraian ringkas yang adil untuk isi buku yang tiap babnya dipenuhi dengan kajian-kajian mendalam atas studi-studi terdahulu, tampilan ekstensif dari data longitudinal, perbandingan antar-negara dan kondisi kontemporer. Di masing-masing bab, Lipton menyajikan argumen-argumennya tersediri.

Berikut adalah uraian isi buku itu, untuk sekedar memberikan gambaran tentang isinya.

Selain pendahuluan dan lampiran, isi buku terdiri dari tujuh bab. Bab 1, dengan judul Goals, membedah apa saja tujuan reforma agraria, siapa yang akan menikmatinya, dan apa saja implikasi-implikasi dari kebijakan reforma agraria; tujuan utamanya berupa pengurangan kemiskinan dan mengatasi ketimpangan yang jomplang, serta hubungannya dengan perjuangan kebebasan; tujuan-tujuan lain yang berkait dengan reforma agraria, seperti peningkatan hasil pertanian, efisiensi dan pertumbuhan, stabilitas lingkungan ekologis dan keberlanjutan, stabilitas politik; tujuan-tujuan pemerintah dan badan donor pembangunan dalam membuat reforma agraria, serta tujuan-tujuan para pihak yang akan diuntungkan.

Bab 2, diberi judul Output, Efficiency and Growth Goals: Beyond the Inverse Relationship. Pertama-tama Lipton mensarikan relevansi debat perihal inverse relationship, yakni hubungan terbalik antara keluaran atau produktivitas pertanian dengan besaran usaha pertanian (farm size). Saya yakin, pembaca akan terpesona dengan bab ini. Kajian yang dibuat oleh Lipton pada bagian ini sangat kaya karena mendasarkan pada data perbandingan lintas waktu dan negara, serta implikasi dari tema-tema dalam inverse-relationship terhadap kebijakan reforma agraria saat ini dan mendatang.

Bab 3, 4, 5 dan 6 berisikan uraian mendetail dari tipe-tipe Reforma Agraria. Bab-bab ini mengkaji ulang pengalaman berbagai negara dalam melaksanakan reforma agraria selama sepanjang setengah abad lebih. Jangan khawatir kesulitan karena Lipton mempermudah pembaca dengan menyajikan tipologinya dan menguraikannya satu persatu tipe itu secara anatomis, historis dan komparatif.

Tipe-tipe itu digolongkan ke dalam reforma agraria klasik, yang dibahas dalam bab 3 dimana pemerintah menetapkan batas maksimum pengusaan tanah pertanian, lalu memaksa penguasa tanah memberikan tanah kelebihannya kepada badan pemerintah yang berwenan untuk meredistribusikannya untuk petani miskin.

Bab 4 menguraikan pengaturan sewa-menyewa (tenancy), legalisasi penguasan tanah (titling), dan apa yang disebut sebagai patrialisation, yakni pembatasan penguasaan tanah komunal yang biasanya dikuasai oleh kelompok-kelompok etnis, kemudian diredistribusikan pemerintah kepada orang miskin di luar kelompok etnis tersebut.

Bab 5 secara khusus mengkaji kolektifisasi dan dekolektifisasi. Perjalanan panjang kebijakan reforma agraria tipe kolektivisasi di negeri-negeri di bawah rejim komunis harus berakhir dengan dekolektifisasi, seperti yang terjadi di negara-negara Eropa Timur, seperti Albania, Rumania, atau Asia Tenggara Vietnam, Laos, dan Kamboja.

Bab 6 yang diberi judul Alternatives, Complements, Diversions, 'New Wave' Land Reform mencakup lima jenis pengaturan untuk mencapai tujuan-tujuan reforma agraria tanpa pengalihan langsung hak-hak atas tanah untuk kaum miskin di pedesaan.

Kelima jenis itu adalah: konsolidasi tanah dan pengaturan pemukiman kembali yang diharapkan dapat meningkatkan produktifitas dan meningkatkan pendapatan serta akses tanah bagi kaum miskin pedesaan; dan tiga yang terakhir adalah pengaturan pajak tanah, peningkatan akses petani pada kredit, pendidikan, teknologi pertanian, dan lainnya; serta yang terakhir adalah peralihan penguasaan tanah melalui mekanisme pasar yang terdesentralisasi dan berdasarkan konsensus antara peminat dan penyedia tanah. Yang terakhir ini terkenal dengan istilah “market-driven land reform” atau yang diistilahkan oleh Lipton sebagai new wafe land reform (NWLR).

Bab 7 diberi judul The Alleged Death of Land Reform. Di bab akhir dari buku ini, sepanjang lima puluh halaman ia mengemukakan kembali argumen-argumen pokok pihak yang anti reforma agraria dan mengemukakan bantahan berdasar penelitian-penelitian empiris yang panjang selama ini.

Adapun argument yang ditinjau kembali oleh Lipton dibagi dua, yakni : (i) Mereka yang menganggap “land reform was always dead, or is dying now”; dan (ii) Mereka yang menganggap “land reform, even if not death, ought to be”.

Untuk kasus yang pertama, Lipton menyebutnya sebagai “the gravediggers’s case" atau mereka menggali kuburan untuk memakamkan reforma agraria. Kepada mereka ini, Lipton menunjukkan suatu liputan terseleksi atas apa yang terjadi di berbagai belahan dunia, negara sedang berkembang di Latin Amerika, Asia Selatan dan Tenggara, Afrika dan Bekas negera-negara Komunis di Eropa Timur.

Kejadian di berbagai negara itu menurut Lipton tidak bisa digunakan untuk mendukung argumen para penggali kubur di atas. Justru sebaliknya lah yang terjadi, “Reforma agraria tidak mati atau sekarat. Banyak yang sedang terjadi; sesuatu sedang berjalan sekarang; banyak lagi yang masih relevan. Secara global, dan khususnya di darah-daerah tertentu, reforma agraria hidup kembali dan berkembang maju, dijalankan sepenuhnya atau diabaikan, menginspirasikan tekanan-tekanan dan program-program baru atau tidur untuk sementara. Reforma agraria memang dapat juga di-nomor-belakang-kan … Tapi reforma agraria, sebagai suatu gagasan pengurangan kemiskinan yang utama untuk situasi ekonomi pertanian yang sangat timpang, tidak lah ‘mati’ hingga situasi ekonominya menjadi tidak demikian timpang, atau semakin tidak bergantung pada usaha pertanian” (halaman 297).

Pada kasus yang kedua, yang disebut sebagai “the opponents’ case” adalah mereka yang menentang reforma agraria. Argumen utamanya: reforma agraria tidak berguna untuk mengatasi ketimpangan pedesaan, kemiskinan dan kemacetan/stagnasi, ada banyak cara selain reforma agraria untuk mengatasinya, seperti misalnya pembangunan infrastruktur, pasar, bibit unggul dsb.

Lipton mendaftar satu per satu rincian argumen detilnya, dan dengan sangat meyakinkan mendudukkan argumen contra-land reform itu. Ia mengkaji apakah memang benar mereka menyerang reforma agraria sebagai resep kebijakan atau menyasar sesuatu yang lain tapi diarahkan ke kebijakan reforma agraria. Bagian ini memang diniatkannya untuk membantah argumen-argumen yang menyatakan bahwa reforma agraria tidak lagi relevan secara sosial, tidak manjur untuk mengatasi kemiskinan, dan karenanya sebagai isu kebijakan dia telah mati.

Di akhir bukunya, Lipton menunjukkan bahwa dii banyak negara berkembang, reforma agraria adalah isu yang hidup, dan sering juga merupakan isu yang membara, dua puluh tahun setelah perang dingin usai. Debat tentang reforma agraria sungguh hidup dan berjalan baik. Dan memang seharusnya demikian.” (halaman 322).

Kalimat itu dengan sengaja ia tampilkan, nampaknya untuk menyempurnakan kalimat bahwa reforma agraria adalah urusan yang belum selesai, land reform is an unfinished business, seperti yang dikemukakan oleh Wolf Ladejinsky – konsultan utama pemerintah Amerika untuk negara-negara yang menjalan reforma agraria di tahun 1960-an dan 1970-an. Kumpulan nasehat Ladejinki dikumpulkan dan diedit oleh Louis J. Walinsky (1977) menjadi Agrarian Reform as Unfinished Business: The Selected Papers of Wolf Ladejinsky.

Namun, Lipton menunjukkan lebih dari itu. Ia berpendapat bahwa  land reform is both ‘unfinished business’ and alive and well.

Di awal abad 21 ini, saat dimana agenda reforma agraria kembali masuk menjadi agenda pembangunan nasional dan internasional, saya berpendapat buku ini wajib dibaca para pemikir pembangunan yang serius. Saya sendiri membaca buku ini dengan penuh antusiasme.

Saya yakin, secara khusus para pembuat kebijakan reforma agraria, para aktivis organisasi non-pemerintah yang mempromosikan reforma agraria, serta para peneliti dan dosen pembangunan pedesaan akan mendapat banyak inspirasi dan pelajaran dari kedalaman, keluasan, perspektif perbandingan dan teori-teori yang disajikan buku ini.

Maka, tak berlebihan bila buku ini mendapakan pujian antara lain dari pemenang hadiah Nobel Ekonomi, Amartya Sen sebagaimana tercantum dalam blurb buku sebagai berikut: “Reforma agraria dapat membuat sumbangan besar bagi pemberantasan kemiskinan, tetapi sayangnya hal ini tidak banyak dicoba secara efektif di berbagai wilayah dunia. Cerita demikian itu harus diakhiri, dan dalam buku yang penting ini seorang ekonom pembangunan terkemuka menyajikan pada kita mengapa (harus dilakukan) dan bagaimana (melakukannya).”

Untuk mengenal Michael Lipton lebih jauh, silakan klik disini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar