Judul : Mencari Ilmu di Tiga Zaman dan Tiga Benua, Otobiografi Prof. Dr. Sediono M. P. Tjondronegoro
Penulis : Prof. Dr. Sediono M. P. Tjondronegoro
Penyunting : Ahmad Nashih Luthfi
Penerbit : SAINS Press
Tahun terbit : April, 2008
Tebal : xxii + 188 hlm.
Penyumbang Naskah: Ahmad Nashih Luthfi
“Saya mempunyai kesan bahwa generasi sekarang tidak mengenal pertanian, bahkan pedesaan. Mereka mengenal dusun, dukuh, desa, dan kecamatan dari buku saja, tidak dari pengalaman langsung dengan mengunjunginya. Padahal dengan menetap di desa, mahasiswa dapat menghayati kehidupan tani: apa saja yang mereka keluhkan; jalan pikirannya; adat istiadatnya; masalah apa saja di sana dan kebahagiaan macam apa yang mereka rasakan. Ini tidak bisa didapatkan dari laporan lurah atau camat” (hlm 123). Demikian, dengan nada lirih Prof. Dr. Sediono M.P Tjondronegoro, Guru Besar Sosiologi Pedesaan IPB, menutup otobiografinya.
Buku ini menyajikan gambaran pergulatan sosok ilmuwan yang dimatangkan melalui berbagai perjuangan, mulai dari pertempuran fisik bersenjata, bergerak di “bawah tanah”, studi di luar negeri, bertahan hidup di negeri orang, berdiplomasi, berdemonstrasi, sampai dengan perjuangan keilmuan seperti mengajar, meneliti, merumuskan kebijakan dan mendampingi masyarakat. Meminjam istilah Gramsci, agaknya tepat menyebut sosok ini sebagai intelektual organik, yakni mereka yang menggulatkan diri pada problem-problem kerakyatan.
Memfokuskan tulisannya ini pada pengalaman mencari ilmu, Prof. Tjondro membandingkan pendidikan Eropa yang sifatnya elit dengan pendidikan di Amerika yang massif. Dua gaya itu memberi pengaruh berbeda pada sistem belajar, misalnya dalam hal ujian serta adanya credit points. Eropa menekankan ujian bergaya uraian (kualitatif) sementara Amerika bergaya multiple choice.
Pergeseran orientasi sistem pendidikan di Indonesia juga diamati secara apik. Di kampusnya ia merasakan perubahan itu dalam bentuk penghilangan beberapa jenis matakuliah serta kuliah lapang yang memberi cukup waktu berhadapan langsung dengan masyarakat pedesaan. Fenomena itu bukanlah gejala parsial.
Dibaca secara lebih luas, penghilangan di atas patut disesalkan. Sebab dapat menghilangkan imajinasi sosiologis akan massa, satu paradigma penting dalam bidang sosiologi. Menurut Wertheim (1984), salah satu kekeliruan yang dilakukan oleh ilmuwan sosial adalah tindakan represi atas kesadaran seseorang. Sesat pikir itu terjadi karena keengganan untuk mengetahui aspek dari realitas dan subyek yang lebih luas, atau bisa juga karena menyembunyikan pengetahuan.
Wertheim, guru besar Universitas Amsterdam itu, menyebut proses itu sebagai sosiologi ketidaktahuan (sociology of ignorance). Suatu proses pengabaian yang dilakukan oleh sebagian kalangan ilmuwan sosial Orde Baru dengan tidak membicarakan masalah kemiskinan yang identik dengan petani lapis bawah dan persoalan agraria (landreform). Padahal, dua hal ini tidak dapat ditangkap bila hanya mengandalkan data makro dan mengabaikan data mikro. Maka, Wertheim pun menganjurkan agar sociology of ignorance ini dibongkar.
Namun, kesan yang jauh berbeda kita tangkap jika membaca buku otobiografi ini.
Noer Fauzi (2008) menyebut Prof. Tjondronegoro sebagai ideological broker of agrarian reform. Fauzi berpendapat, Prof. Tjondro adalah salah satu ilmuwan sosial Indonesia yang berperan besar dalam menghidupkan kembali isu Reforma Agraria. Bersama dua koleganya yakni Prof. Dr. Sajogyo dan Gunawan Wiradi, mereka menjadi jembatan penyambung aspirasi Reforma Agraria di masa kebangsaan dahulu dengan sekarang.
Salah satu tugas penting yang pernah diemban Prof. Tjondro adalah sebagai Sekretaris Eksekutif dalam penyusunan Laporan Interim (1978) tentang “masalah pertanahan”. Saat itu pemerintahan presiden Soeharto merasa perlu menengok kembali isu pertanahan setelah didera berbagai protes dalam peristiwa Malari. Tujuannya tentu adalah stabilisasi.
Ketika diserahkan kepada presiden, laporan tersebut merekomendasikan dilakukannya pembaruan Reforma Agraria. Namun sebagaimana dijelaskan, “pada hemat penulis, pelaksanaan Reforma Agraria tak kunjung dilaksanakan di Indonesia. Bahkan pemerintah Orde Baru sebenarnya tidak ada niat ....” (hlm. 48).
Meski tidak dijalankan, menurut Gunawan Wiradi (2008) laporan itu memberi efek manfaat. Pertama, Reforma Agraria tidak lagi identik dengan agenda komunis. Kedua, ilmuwan-ilmuwan sosial yang sebelumnya “tiarap” mulai berani muncul berbicara tentang Reforma Agraria.
Semasa menjadi mahasiswa di Belanda, Tjondronegoro dkk. diberi tugas mengumpulkan informasi tentang Irian Barat serta memengaruhi mahasiswa Irian Barat yang belajar di Belanda. Mereka mencari informasi di perpustakaan, kedutaan, dan kelompok progresif Belanda. Mendekati serdadu-serdadu Belanda yang baru pulang dari Irian Barat dan mengajak makan-makan di restoran, atau bahkan sambil minum-minum bir. Dengan cara semacam itulah mereka mengorek informasi rahasia.
Pada 1962, upaya pemerintah Republik Indonesia merebut kembali Irian Barat membuahkan hasil. Pertemuan Frits Kirihio dengan Bung Karno di Jakarta, disertai beberapa mahasiswa Irian Barat yang menyatakan berdiri di belakang RI merupakan peristiwa bersejarah.
Cerita tentang upaya mahasiswa di Belanda itu memang tak banyak diketahui. Dan di sinilah pentingnya otobiografi. Bukan pada penonjolan tokohnya secara subyektif, namun pada fakta-fakta sejarah yang terselip, yang abai ditulis dalam narasi besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar