Anda sudah selesai membaca sebuah karya tentang studi agraria? Tuliskan kembali ringkasan bacaan Anda dan kirimkan ke : studiagraria@gmail.com. Kami akan memuatnya di situs ini. Dan, mari kita membicarakannya.

Selasa, 22 Juni 2010

Resep de Soto Gugur di Kampung Rawa?

Judul Buku: Sertifikat tanah dan orang miskin: Pelaksanaan proyek ajudikasi di Kampung Rawa, Jakarta

Tebal: xx + 190 halaman
Penulis: Djaka Soehendera (alm.)
Penerbit: HuMa Jakarta,  Van Vollenhoven Universitas Leiden, dan KITLV Jakarta.
Tahun terbit: 2010, edisi pertama

Penyumbang naskah: R. Yando Zakaria

Dalam pustaka studi pembangunan dikenal apa yang saya sebut sebagai ‘resep de Soto’. Resep ini hasil racikan Hernando de Soto, seorang ekonom terkemuka asal Peru.

Ringkasnya, ia mengusulkan agar orang miskin mendapat kepastian hukum atas tanah mereka. Selanjutnya, orang miskin bisa mengagunkan tanah untuk mendapat dana segar sebagai modal (tunai) untuk memulai usaha. Dari sini mereka bisa tersambung ke mekanisme pasar yang dipercaya de Soto sebagai jalan meningkatkan kesejahteraan.

Bagaimana jejak ‘resep de Soto’ ini di Indonesia?

Setelah membaca buku karya Soehendera ini, saya bisa menjawab pertanyaan di atas dengan kalimat: “Jauh panggang dari api.”

Begitu burukkah reputasi ilmuwan terkemuka asal Amerika Latin yang pernah disanjung Bill Clinton sebagai ‘the world’s greatest living economist’ itu?

Hmm..sepertinya, ya.

Berdasar penelitian mendalam terhadap penyelenggaraan Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) atau Land Administration Project (LAP) di Indonesia yang mendapat dukungan dana dari Bank Dunia dan Ausaid, Soehendera sampai pada kesimpulan berikut:

“... pembangunan bisa memberi dampak positip bagi warga yang tidak miskin, dan sebaliknya justru menghadirkan kendala bagi mereka-mereka yang miskin. Hal itu terjadi karena warga yang miskin tidak memiliki kapital yang cukup dan yang dibutuhkan oleh pembangunan."


Begitulah Djaka Soehendera mengawali pembahasannya seputar masalah ‘sertifikasi tanah, orang miskin, dan pembangunan’ yang menjadi pokok bahasan buku yang terdiri dari 4 bagian dan 7 bab ini. Buku ini diangkat dari disertasi doktoral Soehendra pada Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Jakarta. Inilah salah satu dari empat buku yang dilabel sebagai Seri Sosio-Legal Indonesia yang diluncurkan bulan April 2010 lalu.

Bagi pengkaji atau sekedar pemerhati masalah ‘ayudikasi/sertifikasi tanah, orang miskin, dan pembangunan’, boleh jadi, kesimpulan Soehendera diterima dengan senyum penuh makna. Sebab ia telah menyumbang koleksi data dan analisis bagi para pengamat, yang dalam satu dasa warsa terakhir, mulai tidak percaya dan karenanya mempertanyakan kemujaraban ‘resep de Soto’.

Mike Davis, ilmuwan Amerika yang mendalami teori-teori urban, yang menyebut de Soto sebagai the global guru of neo-liberal populism mengatakan  apa yang dilakukan de Soto pada dasarnya adalah mempromosikan sertifikasi individual yang ditentang kalangan kiri di Amerika Selatan dan India. Davis berpendapat pemberian sertifikat yang menjadi penghubung antara seseorang dengan ekonomi formal perkotaan hanya menguntungkan penghuni liar yang relatif berada. Sertifikasi menjadi bencana bagi penghuni liar yang miskin, terutama bagi para penyewa yang sama sekali tidak mampu bergabung ke dalam ekonomi formal yang sepenuhnya terstandarisasi itu (lihat juga Mike Davis, Planet of Slums, Verso, 2006).

Gerakan akar rumput yang solid semacam Abahlali baseMjondolo, kelompok penghuni gubuk di Afrika Selatan, dan Movimento dos Trabalhadores Sem Teto (MTST) atau Gerakan Buruh Tunawisma di Brasil, lantang menentang sistem kepemilikan individu ini. Mereka lebih menyukai dan memperjuangkan sistem kepemilikan tanah kolektif (komunal). Sistem kolektif dianggap lebih demokratis karena memberikan perlindungan kepada pihak yang paling miskin. Sistem ini juga mereka yakini dapat mencegah penyerbuan orang kaya terhadap tanah-tanah liar orang miskin yang telah telah dilegal-formalkan itu.

Kedua ‘serangan’ terhadap ‘resep de Soto’ itu seperti mendapat data pendukung tambahan dari studi yang dikerjakan Soehendera.

Di dalam tesis yang dikembangkan Soehendera, menurut hemat saya, memang terselip argumen yang menggugurkan ‘resep de Soto’ sebagaimana telah disinggung di atas. Meski tanah telah disertifikasi, toh, Soehendera berketetapan bahwa orang miskin tetap tidak bisa menikmati pembangunan karena tidak memiliki kapital yang cukup. Sesuatu yang menyimpang dari bayangan de Soto semula.

Lalu apa artinya sertifikat yang diperoleh melalui program ajudikasi (baca: sertifikasi individual) yang diikutinya itu? Tentu banyak argument yang bisa dikemukakan. Namun, yang jelas, seperti dilaporkan Soehendera, lebih dari 35% dari sekitar 4000 persil yang menjadi objek Proyek PAP, justru dinyatakan/berstatus tanah ‘tidak dikenal’. Padahal status hukum ‘tidak dikenal’ justru tidak dikenal dalam peraturan-perundang-undangan tentang tanah di negeri ini. Jumlah itu tentulah bukan jumlah yang kecil. Itu bisa berarti, bila ekstrapolasi, menyangkut permasalahan sepertiga penduduk kota (Jakarta).

Maka, alih-alih mendapatkan modal, sebagaimana yang dibayangkan oleh ‘resep de Soto’, status penguasaan yang tadinya masih bersifat abu-abu dan tidak jelas kini menjadi terang-benderang sebagai tanah ‘tidak dikenal.’ Status baru itu, bisa diduga, justru akan mempermudah – setidaknya dari sisi legalitas -- masuknya kekuasaan dan modal untuk menguasai asset yang dikuasai orang miskin itu. Bukankah itu ‘nada dasar’ dari berbagai konflik lahan di daerah perkotaan, yang tersaji hampir setiap hari di media massa Indonesia saat ini?

Selain itu, dilaporkan pula, tidak semua sertifikat yang akhirnya diperoleh dapat menjadi paspor untuk memperoleh dana tunai. Termasuk juga tidak dari proyek-proyek penanggulangan kemiskinan yang juga disponsori Bank Dunia, semacam Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), yang kini telah menjadi program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.

Belajar dari kasus Kampung Rawa, nyatalah bahwa sertifikat memang bukan segala-galanya. Studi Soehendera menunjukkan bahwa status sebagai ‘orang miskin’ justru lebih kuat sebagai penghalang akses menuju modal. Ada ketidakpercayaan yang begitu besar terhadap orang-orang yang dikategorikan miskin. Jadi, penghalang bagi kemajuan (ekonomi) orang miskin bukanlah soal penguasaan asset yang masih bersifat extralegal itu saja. Melainkan jauh lebih kompleks dari itu.

Jika kemudian kenyataan sebaliknya yang terjadi, sebagaimana ditunjukkan oleh Soehendera, lalu kita dapat mempertanyakan’resep de Soto’ lebih jauh. Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah tesis de Soto keliru total? Atau sebenarnya ia masih butuh sejumlah syarat cukup, di samping sejumlah syarat penting lainnya? Apakah syarat cukup dan syarat penting itu justru telah ‘gagal’ dipenuhi oleh proyek ayudikasi yang diselenggarakan oleh Bank Dunia di Indonesia? Apakah gagalnya resep de Soto di Indonesia terjadi secara by design (nature of its concept) atau by accident (Indonesia case specific)?

Merujuk pada temuan Soehendera, dalam Kata Pengantar, Sulistyowati Irianto, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengatakan standar kemiskinan dalam hitungan sekedar ”dua dolar sehari” memang harus dipermasalahkan. Masalah kemiskinan jauh lebih kompleks karena juga mencakup soal kebudayaan kemiskinan.

Konsep kebudayaan kemiskinan sendiri muncul pertama kali dalam studi etnografi karya antropolog Oscar Lewis (lihat Oscar Lewis, Five Families: Mexican Case Studies in the Culture of Poverty,1959). Teori kebudayaan kemiskinan menjelaskan bahwa masyarakat miskin memiliki sistem nilai yang unik, dan percaya bahwa masyarakat miskin tetap miskin karena adaptasi mereka terhadap beban kemiskinan itu sendiri.

Sejak 1960-an, sebagaimana tercatat dalam Wikipedia, teori budaya kemiskinan mendapat kritik dari sejumlah pihak. Meskipun begitu, para akademisi, termasuk para pengkritik itu sendiri, berpendapat bahwa deskripsi masyarakat miskin sebagai budaya yang unik memiliki kekuatan penjelas yang kuat.

Dalam versi temuan Soehendera, sebagaimana disarikan Irianto, dan saya tambahkan, kebudayaan kemiskinan tergambarkan dalam ciri-ciri, pertama, tidak efektifnya partisipasi dan integrasi orang miskin dalam pranata utama masyarakat luas, karena kelangkaan sumber daya ekonomi menyebabkan segregasi dan diskiriminasi, ketakutan, kecurigaan dan apatisme.

Kedua, berkembangnya pranata hutang, gadai dan tidak adanya kesetiaan kerja terhadap jenis pekerjaan yang ditekuni karena yang mereka butuhkan adalah ”asal menguntungkan”. Ketiga, adanya pemberontakan terhadap diri mereka sendiri, pasrah/penurut terhadap nasib maupun mereka yang memiliki kekuasaan sosial ekonomi.

Keempat, perempuan dan anak diperlakukan sebagai penghasil nafkah dalam rumah tangga orang miskin. Kelima, sikap tidak percaya dari pihak luar terhadap orang-orang yang dikategorikan miskin itu.

Kelima ciri di atas menjelaskan mengapa program pengentasan kemiskinan yang semula diperkirakan ”membahagiakan” orang miskin, semacam program sertifikasi tanah itu, belum maksimal capaiannya.

Syarat “cukup” yang lain, jika dapat dikatakan begitu, adalah soal keterlibatan para birokrat tingkat paling bawah (street level bureaucrat) yang menjalankan proyek di tingkat lapangan. Studi Soehendera menunjukkan bahwa posisi dan peranan mereka di tingkat pelaksanaan proyek tidak netral, sehingga sulit memberi bantuan kepada warga secara signifikan dan berkelanjutan. Penyebabnya, mereka harus berpihak pada pembangunan itu sendiri. Belum lagi, motivasi staf birokrasi di tingkat lapangan itu sangat beragam dan cenderung melakukan kegiatan yang menguntungkan diri sendiri melalui pemungutan ’biaya administrasi’ yang merugikan warga.

Dari sisi kajian sosiolegal, menurut Irianto, kajian Soehendera ini “… tidak hanya menarik, tetapi juga sangat penting bagi para legal reformist, pengambil keputusan, dan para akademisi sosiolegal, dalam rangka memahami bagaimana implikasi pemberlakuan hukum dan kebijakan di kalangan masyarakat miskin, apakah menguntungkan atau merugikan mereka.”

Irianto pun menyebut koleganya itu sebagai salah seorang pendahulu kajian hukum tentang masalah-masalah kemiskinan di perkotaan.

Soehendera sendiri sebenarnya tidak mempertanyakan tesis de Soto ini. Juga tidak mempertentangkannya dengan tesis yang dikembangkan di akhir kajiannya. Tesis de Soto hanya dirujuk dalam beberapa kesempatan, dan juga disinggung secara sambil lalu saja. Ia digunakan Soehendera untuk menjelaskan fenomena yang ada di tengah sistem tenurial orang miskin di perkotaan.

Saya tidak mengerti mengapa Soehendro tidak menggunakan ‘resep de Soto’ saja untuk ‘menguji’ keandalan program PAP yang menjadi objek utama kajiannya? Padahal, jelas bahwa program PAP berakar kuat pada tesis yang dikembangkan de Soto dan sejalan dengan ranah kajian sosiolegal yang dilakukan Soehendera.

Sayangnya, Soehendera telah berpulang ke pangkuan-Nya lebih setahun lalu. Jika tidak, saya percaya Soehendera akan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan karya tulis yang lain. Soehendera memang termasuk seorang dosen yang rajin menulis.

Demikian pula, Soehendera tidak akan pernah bisa menjawab serangkaian pertanyaan lain yang muncul belakangan. Misalnya, yang terpokok, jika sertifikasi (individual) tanah orang miskin di perkotaan tidak bisa digunakan sebagai strategi pengentasan kemiskinan, lalu jalan apa yang harus ditempuh?

Maka, untuk konteks Indonesia, sebuah analisis ‘pasca disertasi Soehendera’, yang menggunakan data dan juga analisis yang telah dikembangkan Soehendera dan lainnya, saya kira akan bermanfaat untuk dilakukan. Toh, buku ini menghimpun data detil yang amat kaya. Yang dihasilkan melalui penelitian yang teruji secara metodologi. Jadi, mengapa tidak? *** R. Yando Zakaria, praktisi antropolog, menetap di Yogyakarta.
Email: r.y.zakaria@gmail.com

Sekilas Tentang Buku
Buku ini sejatinya adalah sebuah disertasi yang dikerjakan Djaka Soehendera pada 2006, tiga tahun sebelum ia meninggal karena sakit. Semasa hidupnya almarhum yang bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Hukum di Universitas Pancasila dan Universitas Indonesia, Jakarta ini telah menghasilkan banyak tulisan yang dimuat di berbagai media baik buku maupun jurnal.

Penerbitan buku ini diprakarsai oleh teman-temannya sesama aktivis dan akademis dengan dukungan tiga lembaga sekaligus: Perkumpulan HuMa, Van Vollenhoven Institute Universitas Leiden, dan KITLV Jakarta.

Soehendera melakukan penelitian pada Juli 2004 hingga Juni 2005. Ia memilih kelurahan Kampung Rawa di Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat yang menurut Bappeda Jakarta (2003) adalah kampung dengan kepadatan tertinggi di DKI Jakarta yakni 761 jiwa/hektar.

Dalam kata pengantarnya, Soehendera bilang disertasinya membahas tentang respon yang beragam dari warga miskin Kampung Rawa, Jakarta Pusat terhadap proyek ajudikasi pertanahan.

Proyek ajudikasi pertanahan di Kampung Rawa sendiri berlangsung pada 1999-2000. Ia telah menghasilkan 1.992 sertifikat. Beragam respon kemudian dilakukan warga, ada yang menjaminkan pada bank, lembaga keuangan lokal (Badan Keswadayaan Masyarakat), bahkan rentenir. Ada pula yang hanya menyimpannya. Beragam respon inilah yang membuat Soehendera berpendapat bahwa dalam hal peminjaman dana bagi warga, keberadaan sertifikat ternyata kurang fungsional.***

1 komentar:

  1. Untuk melihat beberapa komentar terhadap posting ini silahkan lihat notes dan link Yando Zakaria dan Elisabet Tata di jejaring Facebook... Terima kasih.

    BalasHapus