Anda sudah selesai membaca sebuah karya tentang studi agraria? Tuliskan kembali ringkasan bacaan Anda dan kirimkan ke : studiagraria@gmail.com. Kami akan memuatnya di situs ini. Dan, mari kita membicarakannya.

Minggu, 25 Juli 2010

Tania Li 2009 “To Make Live or Let Die? Rural Dispossession and the Protection of the Surplus Population”, Antipode 41(s1): 66-93.



Penyumbang naskah: Elisabet Tata & Noer Fauzi Rachman

Tulisan Tania Li ini adalah salah satu tulisan yang dipublikasikan dalam rangka perayaan ulang tahun ke 40 jurnal Antipode pada 2009 lalu. Ini jurnal akademis yang membahas isu-isu geografi manusia. Di sepanjang tahun itu, sejumlah ilmuwan sosial kritis dari berbagai lintas disiplin ilmu – umumnya kritis terhadap pembangunan kapitalis – diundang menulis beragam tema aktual menggunakan pendekatan baru.

Di sini Tania Li mengajak kita melihat akibat kapitalisme di berbagai wilayah pedesaan di Asia. Juga menyimak pilihan politik yang diambil pemerintah untuk menyikapinya.

Menurut Li, perkembangan kapitalisme bukan suatu perjalanan yang dirancang dengan master-plan yang sudah jadi. Li menganjurkan agar kita melihat situasi ekonomi politik yang sedang berlangsung sebagai sesuatu yang perlu dianalisis baik dalam kontek ketidaksamaan ruang (spatial) dan waktu (temporal) dalam konjungtur (conjuncture) tertentu dimana pemutusan hubungan antara modal dan buruh, berbagai kontradiksi ataupun kejanggalan muncul dan dilembagakan.

Pada intinya, melalui tulisan ini, sebenarnya Li tengah berupaya mencari jalan untuk mewujudkan keadilan sosial dengan mentransformasikan kapitalisme melalui pengamatan dan keterlibatan di lapangan dalam konjungtur tertentu.

Li berangkat dari adanya kenyataan dua kekuatan baru di masa kini yang “menyerang” wilayah pedesaan di Asia. Mereka adalah: (i) hilangnya akses rakyat pedesaan atas tanah di suatu wilayah akibat penutupan akses (enclosure) baik oleh proyek atau badan usaha industri ataupun kegiatan konservasi milik pemerintah atau swasta, dan (ii) rendahnya daya serap tenaga kerja lokal oleh industri yang dibangun di sekitarnya.

Bukannya menjadi cadangan tenaga kerja, mereka yang terlempar dari usaha pertanian karena tidak terserap industri kemudian menjadi apa yang disebut Karl Marx dalam Das Capital Volume 1 sebagai relative surplus population. Mereka menjadi pengangguran yang terlempar dari pertanian, tak sanggup masuk ke lapisan tenaga kerja industrial, lalu terlunta-lunta di pedesaan dan perkotaan. Menjadi kaum telantar.

Lantas, mampukah kaum telantar itu bertahan hidup? Siapa yang bertanggung jawab untuk menanggung hidup mereka? Mengapa mereka perlu menjalankan kewajiban menanggung hidup kaum telantar itu?

Rangkaian pertanyaan itulah yang menggoda Li untuk mencari alat konseptual yang memadai untuk menjelaskannya.

Biopolitics, politik yang mengatur kehidupan orang banyak


Untuk mendiskusikan pertanyaan tadi, Tania Li memulai dengan tinjauan atas sumbangan Michael Foucault yang memperkenalkan konsep “biopolitics” - politik-mengatur-kehidupan-orang-banyak - dalam negara modern.

Di Eropa, konsep itu mulanya dilakukan para pejabat dan lembaga-lembaga pemerintahan untuk mencampuri kehidupan satu orang, beberapa orang, atau semua penduduk dari berbagai golongan dalam urusan kesehatan dan kesejahteraan. Dalam perjalanan waktu, kita menyaksikan bahwa semua negara modern dimana pun mengusahakan, mengharuskan, dan membenarkan adanya kekuasaan pemerintah untuk menjalankan biopolitics ini.

Sayangnya, menurut Li, Foucault tidak menyebut dalam kondisi seperti apa dan kapan sebaiknya konsep itu dilaksanakan. Foucault juga tak banyak cerita soal adanya skenario politik pembiaran mati. Seperti misalnya, mengapa pemerintah memilih untuk tidak campur tangan ketika mereka mampu, atau mengapa pemerintah memilih untuk mempertahankan kehidupan lapisan masyarakat tertentu dan membiarkan yang lain mati?

Di masa kini, pilihan untuk menjalankan skenario pembiaran mati tidak dilakukan secara kasat mata. Ia menjadi kekerasan diam-diam dengan cara membiarkan sejumlah orang hidup singkat dalam kondisi serba kekurangan. Di negara-negara Asia, indikasinya bisa dibaca dari berapa angka harapan hidup dan berapa orang yang mampu bertahan hidup dengan kurang dari satu dolar per hari.

Li berpendapat mencampuri kehidupan masyarakat menjadi penting ketika mereka tak lagi punya akses terhadap alat produksi ataupun upah sebagai dua syarat untuk menghasilkan kondisi agar bisa melanjutkan hidup.

Jika kelompok yang tergolong surplus population itu mampu bertahan hidup, itu bukan karena mereka telah menjadi pekerja upahan melainkan karena biopolitics yang bekerja untuk memastikan keberlanjutan hidup mereka. Dan, kekuatan sosial seperti apa yang mampu melakukan hal itu?

Gagal-sambung dalam Transisi Agraria

Tania Li memulai kajian dengan menelusuri cara-cara penempatan surplus population ini dalam konteks transisi agraria dengan meramu pemikiran Karl Marx hingga teorisasi terbaru yang disumbang oleh, antara lain, Jan Breman, Henry Bernstein, Michael Watts, Jason Read, Akram-Lodhi, dan Cris Kay.

Li kemudian menyimpulkan bahwa sejumlah gagal-sambung bisa terjadi antara usaha pemilik modal untuk memutus ikatan petani dengan tanahnya dan usaha memasukkan petani sebagai cadangan tenaga kerja untuk industri. Gagal sambung ini bisa berakibat fatal bagi rakyat yang kemudian menjadi surplus population itu.

Namun, terbitnya laporan Bank Dunia pada 2008 yang berjudul “Agriculture for Development” seolah menyatakan bahwa surplus population bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.

Li menyayangkan pendapat Bank Dunia.

Ia mengkritik Bank Dunia hanya menggunakan narasi linear. Ini pendekatan yang mengasumsikan fenomena transisi agraria berjalan linear dan sama di semua tempat. Artinya, fenomena yang terjadi dan yang berlangsung di semua tempat adalah perubahan dari pertanian ke perindustrian, dari desa menjadi kota, dari petani menjadi petani pengusaha.

Apa yang membuat Li kecewa adalah bahwa laporan itu tidak secara detil membicarakan usaha untuk mensejahterakan orang-orang yang telanjur tercabut dari akarnya. Seolah ratusan juta penduduk desa diasumsikan akan menemukan caranya sendiri di jalur transisi.

Dalam tulisan ini, Li menyebut ada narasi tandingan lain untuk menjelaskan fenomena transisi agraria. Narasi yang terinspirasi Marx ini menghubungkan proses pengusiran penduduk desa dengan munculnya kapitalisme yang disebabkan tiga hal yaitu: penyerobotan tanah dan sumber daya lain untuk menciptakan modal awal, penciptaan kaum proletar, dan pembentukan cadangan buruh.

Cadangan buruh diperlukan sebagai simpanan tenaga kerja yang bisa dimanfaatkan sewaktu-waktu jika diperlukan dengan upah yang rendah. Oleh karena itu, mereka yang dijadikan sebagai cadangan buruh dijaga supaya tetap hidup.

Sejarah kemudian membuktikan bahwa penciptaan cadangan buruh tak selamanya berfungsi. Pengusiran terhadap orang-orang kulit hitam yang dibuat untuk menciptakan cadangan buruh di Bantustan, Afrika Selatan misalnya, ternyata malah menghasilkan surplus population karena orang-orang itu tidak pernah dipekerjakan dan dibiarkan begitu saja.

Menurut Li, pada 2000-an, terdapat tiga penyebab utama terjadinya penghilangan akses tanah di wilayah pedesaan Asia. Tak satupun terkait dengan prospek daya serap buruh. Pertama, pengambilalihan tanah oleh negara, atau oleh negara yang didukung perusahaan, praktik yang terjadi di China, India, dan Asia Tenggara. Kedua, ketidakmampuan sekelompok petani kecil korban pengusiran untuk melawan sistem pertanian yang didukung subsidi dan tarif yang memihak. Ketiga, penutupan akses di wilayah perbatasan hutan untuk konservasi.

Usulan untuk Memahami Program-program Biopolitics


Proses penghilangan akses tanah yang dikombinasikan dengan rendahnya daya serap buruh, dan sejumlah skenario politik yang memengaruhi seperti pengkotak-kotakan, diskriminasi ras, ataupun stigma penggolongan penduduk menciptakan pola-pola penderitaannya masing-masing.

Sebanyak 700 juta orang di Asia bertahan hidup dengan pendapatan di bawah satu dolar per hari. Namun, bagi mereka yang kehilangan hak kepemilikan atas tanah dan tak punya akses terhadap upah, perlu ada jalan keluar yang lain. Tania Li menyediakan satu bahasan tersendiri soal bagaimana pengalaman gerakan sosial pada 2001 di India memperjuangkan “hak atas pangan” (right to food) menghadapi dan menangani masalah ini.

Li usul untuk memahami program biopolitics sebagai sebuah kombinasi dari berbagai elemen yang bertemu dalam suatu konjungtur tertentu dimana berbagai kekuatan sosial tampil untuk mengartikulasikan dan melembagakan beragam kontradiksi yang berlangsung di suatu wilayah tertentu dalam ruang dan waktu tertentu pula.

Sebagaimana hubungan antara kapital dan buruh yang membuat “pembangunan kapitalis” perlu dikaji sepanjang sejarah, demikian pula halnya dengan program biopolitics yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan.

Meski demikian, program biopolitics yang dimaksud Li bukan seperti yang digagas Foucault yang merujuk pada dasar penciptaan sebuah “pemerintahan.”

Program ini bertujuan untuk melihat bagaimana berbagai kekuatan sosial ikut bekerja. Ini seperti yang ditunjukkan Karl Polanyi dalam Great Transformation (1994) mengenai persekutuan lintas kelas untuk menghadapi kecenderungan perusakan oleh pasar yang dikendalikan oleh dirinya sendiri, ibarat pesawat yang terbang dengan pilot otomatis.

Sayangnya lagi, menurut Li, Polanyi menyimpulkan bahwa “masyarakat secara keseluruhan” memiliki kapasitas untuk menyeimbangkan dirinya sendiri saat menghadapi daya rusak pasar itu. Padahal, kenyataan sejarah tidak membuktikan kebenaran terhadap kesimpulan itu.

Li merujuk Mike Davis dalam Late Victoria Holocaust: El Nino Famines and the Making of the Third World (2002). Dalam buku ini terlihat bahwa kebijakan pembiaran-rakyat-mati di akhir jaman Victoria dibuat dengan perhitungan dan memiliki dasar pemikiran tertentu.

Dalam karyanya yang lain Planet of Slums (2006), Davis bilang kondisi serupa terulang lagi. Program penyesuaian struktural (structural adjustment program) pada 1980an – 1990an dengan sengaja melempar penduduk pedesaan negara-negara Dunia Selatan untuk memenuhi kebutuhan pasar industri di kota-kota sembari mengetatkan biaya kesejahteraan sosial. Kebijakan “pembiaran mati” yang menjadi pilihan utama saat itu kemudian dihadapi oleh gerakan tandingan seperti jaring pengaman sosial, skema-skema padat karya, dan Millenium Development Goal.


Bagi mereka yang punya pemahaman atas apa yang pernah terjadi di negara-negara Selatan pada masa kolonial, bisa melihat bahwa ini bukan hal yang sama sekali baru. Ia mirip seperti saat rezim kolonial yang memiliki cita-cita perlindungan sekaligus kebutuhan mencari keuntungan, stabilitas, dan agenda-agenda lainnya. Ugh, bagaimana memahami kontradiksi ini?

Li menulis, pendekatan yang bisa digunakan untuk memahami adalah dengan melihat bagaimana kontradiksi itu dipertahankan melalui praktik-praktik kompromi yang membuat kita pada akhirnya mampu melakukan penyangkalan (Moose 2008, Watts 2009). Atau kita bisa mendekatinya dengan pendekatan nasib buruk: bahwa penghilangan hak kepemilikan itu nyata sementara perlindungan sosial sekedar satu pembicaraan. Atau lagi, perlindungan itu nyata tapi minimal: swalayan dan mencegah terjadinya pemberontakan (Cowen dan Shenton 1996, Peck dan Tickell 2002).

Li sendiri memiliki pendekatan lain seperti yang sudah dituliskannya dalam The Will to Improve (2007). Ia berpendapat bahwa kaum telantar atau surplus population itu perlu membuat cita-cita hidup dalam bahasa mereka sendiri, sembari mengenali apa saja kontradiksi-kontradiksi yang membuat mereka lekas gagal.

Dalam perspektif ini, lanjut Li, tidak ada master plan. Program biopolitics hanya sebuah perkumpulan yang mampu mengajak seperangkat kekuatan sosial untuk bekerjasama, entah sekadar untuk memecah belah maupun menyatukannya kembali.

Pendeknya, program biopolitics ini bisa mengambil bentuk tertentu yang khas dalam menghadapi kontradiksi-kontradiksi yang sedang dihadapi dalam konteks pembangunan kapitalis dan pembentukan negara. Ia bisa berjalan dengan baik karena kondisi yang memungkinkannya tersedia. Biarpun pada kesempatan lain, program ini bisa jadi merosot tampilannya, atau bahkan bubar, karena kondisi yang menghidupkannya tidak lagi tersedia.*

Tambahan Informasi Terkait

Mau mendengarkan ceramah Tania Li mengenai topik ini secara langsung? Silakan klik di sini. Ini adalah ceramah Tania Li saat menjadi keynote lecture dalam salah satu sesi dari CCIG (the Center for Citizenship, Identities and Governance) Forum 10, pada 2 Februari 2010 lalu.

Jika berminat untuk memiliki artikel Tania Li ini dalam versi pdf, silakan kirim permohonan ke pengelola studi agraria dotkom melalui email: studiagraria@blogspot.com

Untuk merayakan ulang tahunnya yang ke 40, jurnal Antipode memberikan akses gratis kepada siapa saja untuk mengakses 40 key articles yang pernah diterbitkan sepanjang 1969-2009. Silakan klik di sini untuk mengunggah semua artikel tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar