Anda sudah selesai membaca sebuah karya tentang studi agraria? Tuliskan kembali ringkasan bacaan Anda dan kirimkan ke : studiagraria@gmail.com. Kami akan memuatnya di situs ini. Dan, mari kita membicarakannya.

Minggu, 25 Juli 2010

Tania Li 2009 “To Make Live or Let Die? Rural Dispossession and the Protection of the Surplus Population”, Antipode 41(s1): 66-93.



Penyumbang naskah: Elisabet Tata & Noer Fauzi Rachman

Tulisan Tania Li ini adalah salah satu tulisan yang dipublikasikan dalam rangka perayaan ulang tahun ke 40 jurnal Antipode pada 2009 lalu. Ini jurnal akademis yang membahas isu-isu geografi manusia. Di sepanjang tahun itu, sejumlah ilmuwan sosial kritis dari berbagai lintas disiplin ilmu – umumnya kritis terhadap pembangunan kapitalis – diundang menulis beragam tema aktual menggunakan pendekatan baru.

Di sini Tania Li mengajak kita melihat akibat kapitalisme di berbagai wilayah pedesaan di Asia. Juga menyimak pilihan politik yang diambil pemerintah untuk menyikapinya.

Menurut Li, perkembangan kapitalisme bukan suatu perjalanan yang dirancang dengan master-plan yang sudah jadi. Li menganjurkan agar kita melihat situasi ekonomi politik yang sedang berlangsung sebagai sesuatu yang perlu dianalisis baik dalam kontek ketidaksamaan ruang (spatial) dan waktu (temporal) dalam konjungtur (conjuncture) tertentu dimana pemutusan hubungan antara modal dan buruh, berbagai kontradiksi ataupun kejanggalan muncul dan dilembagakan.

Pada intinya, melalui tulisan ini, sebenarnya Li tengah berupaya mencari jalan untuk mewujudkan keadilan sosial dengan mentransformasikan kapitalisme melalui pengamatan dan keterlibatan di lapangan dalam konjungtur tertentu.

Li berangkat dari adanya kenyataan dua kekuatan baru di masa kini yang “menyerang” wilayah pedesaan di Asia. Mereka adalah: (i) hilangnya akses rakyat pedesaan atas tanah di suatu wilayah akibat penutupan akses (enclosure) baik oleh proyek atau badan usaha industri ataupun kegiatan konservasi milik pemerintah atau swasta, dan (ii) rendahnya daya serap tenaga kerja lokal oleh industri yang dibangun di sekitarnya.

Bukannya menjadi cadangan tenaga kerja, mereka yang terlempar dari usaha pertanian karena tidak terserap industri kemudian menjadi apa yang disebut Karl Marx dalam Das Capital Volume 1 sebagai relative surplus population. Mereka menjadi pengangguran yang terlempar dari pertanian, tak sanggup masuk ke lapisan tenaga kerja industrial, lalu terlunta-lunta di pedesaan dan perkotaan. Menjadi kaum telantar.

Lantas, mampukah kaum telantar itu bertahan hidup? Siapa yang bertanggung jawab untuk menanggung hidup mereka? Mengapa mereka perlu menjalankan kewajiban menanggung hidup kaum telantar itu?

Rangkaian pertanyaan itulah yang menggoda Li untuk mencari alat konseptual yang memadai untuk menjelaskannya.

Biopolitics, politik yang mengatur kehidupan orang banyak


Untuk mendiskusikan pertanyaan tadi, Tania Li memulai dengan tinjauan atas sumbangan Michael Foucault yang memperkenalkan konsep “biopolitics” - politik-mengatur-kehidupan-orang-banyak - dalam negara modern.

Di Eropa, konsep itu mulanya dilakukan para pejabat dan lembaga-lembaga pemerintahan untuk mencampuri kehidupan satu orang, beberapa orang, atau semua penduduk dari berbagai golongan dalam urusan kesehatan dan kesejahteraan. Dalam perjalanan waktu, kita menyaksikan bahwa semua negara modern dimana pun mengusahakan, mengharuskan, dan membenarkan adanya kekuasaan pemerintah untuk menjalankan biopolitics ini.

Sayangnya, menurut Li, Foucault tidak menyebut dalam kondisi seperti apa dan kapan sebaiknya konsep itu dilaksanakan. Foucault juga tak banyak cerita soal adanya skenario politik pembiaran mati. Seperti misalnya, mengapa pemerintah memilih untuk tidak campur tangan ketika mereka mampu, atau mengapa pemerintah memilih untuk mempertahankan kehidupan lapisan masyarakat tertentu dan membiarkan yang lain mati?

Di masa kini, pilihan untuk menjalankan skenario pembiaran mati tidak dilakukan secara kasat mata. Ia menjadi kekerasan diam-diam dengan cara membiarkan sejumlah orang hidup singkat dalam kondisi serba kekurangan. Di negara-negara Asia, indikasinya bisa dibaca dari berapa angka harapan hidup dan berapa orang yang mampu bertahan hidup dengan kurang dari satu dolar per hari.

Li berpendapat mencampuri kehidupan masyarakat menjadi penting ketika mereka tak lagi punya akses terhadap alat produksi ataupun upah sebagai dua syarat untuk menghasilkan kondisi agar bisa melanjutkan hidup.

Jika kelompok yang tergolong surplus population itu mampu bertahan hidup, itu bukan karena mereka telah menjadi pekerja upahan melainkan karena biopolitics yang bekerja untuk memastikan keberlanjutan hidup mereka. Dan, kekuatan sosial seperti apa yang mampu melakukan hal itu?

Gagal-sambung dalam Transisi Agraria

Tania Li memulai kajian dengan menelusuri cara-cara penempatan surplus population ini dalam konteks transisi agraria dengan meramu pemikiran Karl Marx hingga teorisasi terbaru yang disumbang oleh, antara lain, Jan Breman, Henry Bernstein, Michael Watts, Jason Read, Akram-Lodhi, dan Cris Kay.

Li kemudian menyimpulkan bahwa sejumlah gagal-sambung bisa terjadi antara usaha pemilik modal untuk memutus ikatan petani dengan tanahnya dan usaha memasukkan petani sebagai cadangan tenaga kerja untuk industri. Gagal sambung ini bisa berakibat fatal bagi rakyat yang kemudian menjadi surplus population itu.

Namun, terbitnya laporan Bank Dunia pada 2008 yang berjudul “Agriculture for Development” seolah menyatakan bahwa surplus population bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.

Li menyayangkan pendapat Bank Dunia.

Ia mengkritik Bank Dunia hanya menggunakan narasi linear. Ini pendekatan yang mengasumsikan fenomena transisi agraria berjalan linear dan sama di semua tempat. Artinya, fenomena yang terjadi dan yang berlangsung di semua tempat adalah perubahan dari pertanian ke perindustrian, dari desa menjadi kota, dari petani menjadi petani pengusaha.

Apa yang membuat Li kecewa adalah bahwa laporan itu tidak secara detil membicarakan usaha untuk mensejahterakan orang-orang yang telanjur tercabut dari akarnya. Seolah ratusan juta penduduk desa diasumsikan akan menemukan caranya sendiri di jalur transisi.

Dalam tulisan ini, Li menyebut ada narasi tandingan lain untuk menjelaskan fenomena transisi agraria. Narasi yang terinspirasi Marx ini menghubungkan proses pengusiran penduduk desa dengan munculnya kapitalisme yang disebabkan tiga hal yaitu: penyerobotan tanah dan sumber daya lain untuk menciptakan modal awal, penciptaan kaum proletar, dan pembentukan cadangan buruh.

Cadangan buruh diperlukan sebagai simpanan tenaga kerja yang bisa dimanfaatkan sewaktu-waktu jika diperlukan dengan upah yang rendah. Oleh karena itu, mereka yang dijadikan sebagai cadangan buruh dijaga supaya tetap hidup.

Sejarah kemudian membuktikan bahwa penciptaan cadangan buruh tak selamanya berfungsi. Pengusiran terhadap orang-orang kulit hitam yang dibuat untuk menciptakan cadangan buruh di Bantustan, Afrika Selatan misalnya, ternyata malah menghasilkan surplus population karena orang-orang itu tidak pernah dipekerjakan dan dibiarkan begitu saja.

Menurut Li, pada 2000-an, terdapat tiga penyebab utama terjadinya penghilangan akses tanah di wilayah pedesaan Asia. Tak satupun terkait dengan prospek daya serap buruh. Pertama, pengambilalihan tanah oleh negara, atau oleh negara yang didukung perusahaan, praktik yang terjadi di China, India, dan Asia Tenggara. Kedua, ketidakmampuan sekelompok petani kecil korban pengusiran untuk melawan sistem pertanian yang didukung subsidi dan tarif yang memihak. Ketiga, penutupan akses di wilayah perbatasan hutan untuk konservasi.

Usulan untuk Memahami Program-program Biopolitics


Proses penghilangan akses tanah yang dikombinasikan dengan rendahnya daya serap buruh, dan sejumlah skenario politik yang memengaruhi seperti pengkotak-kotakan, diskriminasi ras, ataupun stigma penggolongan penduduk menciptakan pola-pola penderitaannya masing-masing.

Sebanyak 700 juta orang di Asia bertahan hidup dengan pendapatan di bawah satu dolar per hari. Namun, bagi mereka yang kehilangan hak kepemilikan atas tanah dan tak punya akses terhadap upah, perlu ada jalan keluar yang lain. Tania Li menyediakan satu bahasan tersendiri soal bagaimana pengalaman gerakan sosial pada 2001 di India memperjuangkan “hak atas pangan” (right to food) menghadapi dan menangani masalah ini.

Li usul untuk memahami program biopolitics sebagai sebuah kombinasi dari berbagai elemen yang bertemu dalam suatu konjungtur tertentu dimana berbagai kekuatan sosial tampil untuk mengartikulasikan dan melembagakan beragam kontradiksi yang berlangsung di suatu wilayah tertentu dalam ruang dan waktu tertentu pula.

Sebagaimana hubungan antara kapital dan buruh yang membuat “pembangunan kapitalis” perlu dikaji sepanjang sejarah, demikian pula halnya dengan program biopolitics yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan.

Meski demikian, program biopolitics yang dimaksud Li bukan seperti yang digagas Foucault yang merujuk pada dasar penciptaan sebuah “pemerintahan.”

Program ini bertujuan untuk melihat bagaimana berbagai kekuatan sosial ikut bekerja. Ini seperti yang ditunjukkan Karl Polanyi dalam Great Transformation (1994) mengenai persekutuan lintas kelas untuk menghadapi kecenderungan perusakan oleh pasar yang dikendalikan oleh dirinya sendiri, ibarat pesawat yang terbang dengan pilot otomatis.

Sayangnya lagi, menurut Li, Polanyi menyimpulkan bahwa “masyarakat secara keseluruhan” memiliki kapasitas untuk menyeimbangkan dirinya sendiri saat menghadapi daya rusak pasar itu. Padahal, kenyataan sejarah tidak membuktikan kebenaran terhadap kesimpulan itu.

Li merujuk Mike Davis dalam Late Victoria Holocaust: El Nino Famines and the Making of the Third World (2002). Dalam buku ini terlihat bahwa kebijakan pembiaran-rakyat-mati di akhir jaman Victoria dibuat dengan perhitungan dan memiliki dasar pemikiran tertentu.

Dalam karyanya yang lain Planet of Slums (2006), Davis bilang kondisi serupa terulang lagi. Program penyesuaian struktural (structural adjustment program) pada 1980an – 1990an dengan sengaja melempar penduduk pedesaan negara-negara Dunia Selatan untuk memenuhi kebutuhan pasar industri di kota-kota sembari mengetatkan biaya kesejahteraan sosial. Kebijakan “pembiaran mati” yang menjadi pilihan utama saat itu kemudian dihadapi oleh gerakan tandingan seperti jaring pengaman sosial, skema-skema padat karya, dan Millenium Development Goal.


Bagi mereka yang punya pemahaman atas apa yang pernah terjadi di negara-negara Selatan pada masa kolonial, bisa melihat bahwa ini bukan hal yang sama sekali baru. Ia mirip seperti saat rezim kolonial yang memiliki cita-cita perlindungan sekaligus kebutuhan mencari keuntungan, stabilitas, dan agenda-agenda lainnya. Ugh, bagaimana memahami kontradiksi ini?

Li menulis, pendekatan yang bisa digunakan untuk memahami adalah dengan melihat bagaimana kontradiksi itu dipertahankan melalui praktik-praktik kompromi yang membuat kita pada akhirnya mampu melakukan penyangkalan (Moose 2008, Watts 2009). Atau kita bisa mendekatinya dengan pendekatan nasib buruk: bahwa penghilangan hak kepemilikan itu nyata sementara perlindungan sosial sekedar satu pembicaraan. Atau lagi, perlindungan itu nyata tapi minimal: swalayan dan mencegah terjadinya pemberontakan (Cowen dan Shenton 1996, Peck dan Tickell 2002).

Li sendiri memiliki pendekatan lain seperti yang sudah dituliskannya dalam The Will to Improve (2007). Ia berpendapat bahwa kaum telantar atau surplus population itu perlu membuat cita-cita hidup dalam bahasa mereka sendiri, sembari mengenali apa saja kontradiksi-kontradiksi yang membuat mereka lekas gagal.

Dalam perspektif ini, lanjut Li, tidak ada master plan. Program biopolitics hanya sebuah perkumpulan yang mampu mengajak seperangkat kekuatan sosial untuk bekerjasama, entah sekadar untuk memecah belah maupun menyatukannya kembali.

Pendeknya, program biopolitics ini bisa mengambil bentuk tertentu yang khas dalam menghadapi kontradiksi-kontradiksi yang sedang dihadapi dalam konteks pembangunan kapitalis dan pembentukan negara. Ia bisa berjalan dengan baik karena kondisi yang memungkinkannya tersedia. Biarpun pada kesempatan lain, program ini bisa jadi merosot tampilannya, atau bahkan bubar, karena kondisi yang menghidupkannya tidak lagi tersedia.*

Tambahan Informasi Terkait

Mau mendengarkan ceramah Tania Li mengenai topik ini secara langsung? Silakan klik di sini. Ini adalah ceramah Tania Li saat menjadi keynote lecture dalam salah satu sesi dari CCIG (the Center for Citizenship, Identities and Governance) Forum 10, pada 2 Februari 2010 lalu.

Jika berminat untuk memiliki artikel Tania Li ini dalam versi pdf, silakan kirim permohonan ke pengelola studi agraria dotkom melalui email: studiagraria@blogspot.com

Untuk merayakan ulang tahunnya yang ke 40, jurnal Antipode memberikan akses gratis kepada siapa saja untuk mengakses 40 key articles yang pernah diterbitkan sepanjang 1969-2009. Silakan klik di sini untuk mengunggah semua artikel tersebut.

Senin, 19 Juli 2010

Land Reform in Developing Countries: Property Rights and Property Wrongs

Judul buku: Land Reform in Developing Countries: Property Rights and Property Wrongs
Karya: Michael Lipton
Penerbit: Routledge
Tanggal terbit: 23 Juni 2009
Tebal buku: 384 halaman

Penyumbang Naskah: Noer Fauzi Rachman

Di awal abad 21 ini, agenda penguatan akses rakyat miskin pedesaan pada tanah dan kekayaan alam (land reform/agrarian reforms/reforma agraria) telah kembali menjadi salah satu pokok bahasan terdepan dalam agenda pembangunan berbagai badan internasional, dan sejumlah negara, serta organisasi gerakan sosial di Asia, Afrika dan Amerika Latin hingga negara-negara bekas komunis di Eropa Timur.

Karya baru Michael Lipton ini dikerjakan selama lebih dari duabelas tahun semenjak ia meninggalkan posisi resminya sebagai profesor di Institute of Development Studies (IDS), Sussex University. Saya menduga buku ini akan segera menjadi bahan bacaan utama dan perdebatan dalam studi dan kebijakan pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang. Tentunya, buku ini akan menguatkan agenda reforma agraria itu, khususnya pada badan-badan pembangunan internasional.

Lipton menganggap penting definisi objek karyanya (reforma agraria), dan karenanya dalam lampiran ia membuat uraian khusus perihal definisi reforma agraria yang ia pergunakan (halaman321-330).

Di halaman 328 ia mendefinisikan reforma agraria sebagai “legislation intended and likely to directly redistribute ownership of, claims on, or rights to farmland, and thus to benefit the poor by raising their absolute and relative status, power, and income, compared with likely situations without the legislation”  (peraturan perundang-undangan yang diniatkan dan memungkinkan untuk meredistribusi secara langsung kepemilikan, klaim, atau hak atas tanah pertanian, dan karenanya memberi manfaat bagi kaum miskin dengan meningkatkan status, kekuatan, dan pendapatannya secara relatif maupun absolut, dibandingkan dengan situasi sebelum adanya peraturan tersebut).

Sungguh sulit membuat suatu uraian ringkas yang adil untuk isi buku yang tiap babnya dipenuhi dengan kajian-kajian mendalam atas studi-studi terdahulu, tampilan ekstensif dari data longitudinal, perbandingan antar-negara dan kondisi kontemporer. Di masing-masing bab, Lipton menyajikan argumen-argumennya tersediri.

Berikut adalah uraian isi buku itu, untuk sekedar memberikan gambaran tentang isinya.

Selain pendahuluan dan lampiran, isi buku terdiri dari tujuh bab. Bab 1, dengan judul Goals, membedah apa saja tujuan reforma agraria, siapa yang akan menikmatinya, dan apa saja implikasi-implikasi dari kebijakan reforma agraria; tujuan utamanya berupa pengurangan kemiskinan dan mengatasi ketimpangan yang jomplang, serta hubungannya dengan perjuangan kebebasan; tujuan-tujuan lain yang berkait dengan reforma agraria, seperti peningkatan hasil pertanian, efisiensi dan pertumbuhan, stabilitas lingkungan ekologis dan keberlanjutan, stabilitas politik; tujuan-tujuan pemerintah dan badan donor pembangunan dalam membuat reforma agraria, serta tujuan-tujuan para pihak yang akan diuntungkan.

Bab 2, diberi judul Output, Efficiency and Growth Goals: Beyond the Inverse Relationship. Pertama-tama Lipton mensarikan relevansi debat perihal inverse relationship, yakni hubungan terbalik antara keluaran atau produktivitas pertanian dengan besaran usaha pertanian (farm size). Saya yakin, pembaca akan terpesona dengan bab ini. Kajian yang dibuat oleh Lipton pada bagian ini sangat kaya karena mendasarkan pada data perbandingan lintas waktu dan negara, serta implikasi dari tema-tema dalam inverse-relationship terhadap kebijakan reforma agraria saat ini dan mendatang.

Bab 3, 4, 5 dan 6 berisikan uraian mendetail dari tipe-tipe Reforma Agraria. Bab-bab ini mengkaji ulang pengalaman berbagai negara dalam melaksanakan reforma agraria selama sepanjang setengah abad lebih. Jangan khawatir kesulitan karena Lipton mempermudah pembaca dengan menyajikan tipologinya dan menguraikannya satu persatu tipe itu secara anatomis, historis dan komparatif.

Tipe-tipe itu digolongkan ke dalam reforma agraria klasik, yang dibahas dalam bab 3 dimana pemerintah menetapkan batas maksimum pengusaan tanah pertanian, lalu memaksa penguasa tanah memberikan tanah kelebihannya kepada badan pemerintah yang berwenan untuk meredistribusikannya untuk petani miskin.

Bab 4 menguraikan pengaturan sewa-menyewa (tenancy), legalisasi penguasan tanah (titling), dan apa yang disebut sebagai patrialisation, yakni pembatasan penguasaan tanah komunal yang biasanya dikuasai oleh kelompok-kelompok etnis, kemudian diredistribusikan pemerintah kepada orang miskin di luar kelompok etnis tersebut.

Bab 5 secara khusus mengkaji kolektifisasi dan dekolektifisasi. Perjalanan panjang kebijakan reforma agraria tipe kolektivisasi di negeri-negeri di bawah rejim komunis harus berakhir dengan dekolektifisasi, seperti yang terjadi di negara-negara Eropa Timur, seperti Albania, Rumania, atau Asia Tenggara Vietnam, Laos, dan Kamboja.

Bab 6 yang diberi judul Alternatives, Complements, Diversions, 'New Wave' Land Reform mencakup lima jenis pengaturan untuk mencapai tujuan-tujuan reforma agraria tanpa pengalihan langsung hak-hak atas tanah untuk kaum miskin di pedesaan.

Kelima jenis itu adalah: konsolidasi tanah dan pengaturan pemukiman kembali yang diharapkan dapat meningkatkan produktifitas dan meningkatkan pendapatan serta akses tanah bagi kaum miskin pedesaan; dan tiga yang terakhir adalah pengaturan pajak tanah, peningkatan akses petani pada kredit, pendidikan, teknologi pertanian, dan lainnya; serta yang terakhir adalah peralihan penguasaan tanah melalui mekanisme pasar yang terdesentralisasi dan berdasarkan konsensus antara peminat dan penyedia tanah. Yang terakhir ini terkenal dengan istilah “market-driven land reform” atau yang diistilahkan oleh Lipton sebagai new wafe land reform (NWLR).

Bab 7 diberi judul The Alleged Death of Land Reform. Di bab akhir dari buku ini, sepanjang lima puluh halaman ia mengemukakan kembali argumen-argumen pokok pihak yang anti reforma agraria dan mengemukakan bantahan berdasar penelitian-penelitian empiris yang panjang selama ini.

Adapun argument yang ditinjau kembali oleh Lipton dibagi dua, yakni : (i) Mereka yang menganggap “land reform was always dead, or is dying now”; dan (ii) Mereka yang menganggap “land reform, even if not death, ought to be”.

Untuk kasus yang pertama, Lipton menyebutnya sebagai “the gravediggers’s case" atau mereka menggali kuburan untuk memakamkan reforma agraria. Kepada mereka ini, Lipton menunjukkan suatu liputan terseleksi atas apa yang terjadi di berbagai belahan dunia, negara sedang berkembang di Latin Amerika, Asia Selatan dan Tenggara, Afrika dan Bekas negera-negara Komunis di Eropa Timur.

Kejadian di berbagai negara itu menurut Lipton tidak bisa digunakan untuk mendukung argumen para penggali kubur di atas. Justru sebaliknya lah yang terjadi, “Reforma agraria tidak mati atau sekarat. Banyak yang sedang terjadi; sesuatu sedang berjalan sekarang; banyak lagi yang masih relevan. Secara global, dan khususnya di darah-daerah tertentu, reforma agraria hidup kembali dan berkembang maju, dijalankan sepenuhnya atau diabaikan, menginspirasikan tekanan-tekanan dan program-program baru atau tidur untuk sementara. Reforma agraria memang dapat juga di-nomor-belakang-kan … Tapi reforma agraria, sebagai suatu gagasan pengurangan kemiskinan yang utama untuk situasi ekonomi pertanian yang sangat timpang, tidak lah ‘mati’ hingga situasi ekonominya menjadi tidak demikian timpang, atau semakin tidak bergantung pada usaha pertanian” (halaman 297).

Pada kasus yang kedua, yang disebut sebagai “the opponents’ case” adalah mereka yang menentang reforma agraria. Argumen utamanya: reforma agraria tidak berguna untuk mengatasi ketimpangan pedesaan, kemiskinan dan kemacetan/stagnasi, ada banyak cara selain reforma agraria untuk mengatasinya, seperti misalnya pembangunan infrastruktur, pasar, bibit unggul dsb.

Lipton mendaftar satu per satu rincian argumen detilnya, dan dengan sangat meyakinkan mendudukkan argumen contra-land reform itu. Ia mengkaji apakah memang benar mereka menyerang reforma agraria sebagai resep kebijakan atau menyasar sesuatu yang lain tapi diarahkan ke kebijakan reforma agraria. Bagian ini memang diniatkannya untuk membantah argumen-argumen yang menyatakan bahwa reforma agraria tidak lagi relevan secara sosial, tidak manjur untuk mengatasi kemiskinan, dan karenanya sebagai isu kebijakan dia telah mati.

Di akhir bukunya, Lipton menunjukkan bahwa dii banyak negara berkembang, reforma agraria adalah isu yang hidup, dan sering juga merupakan isu yang membara, dua puluh tahun setelah perang dingin usai. Debat tentang reforma agraria sungguh hidup dan berjalan baik. Dan memang seharusnya demikian.” (halaman 322).

Kalimat itu dengan sengaja ia tampilkan, nampaknya untuk menyempurnakan kalimat bahwa reforma agraria adalah urusan yang belum selesai, land reform is an unfinished business, seperti yang dikemukakan oleh Wolf Ladejinsky – konsultan utama pemerintah Amerika untuk negara-negara yang menjalan reforma agraria di tahun 1960-an dan 1970-an. Kumpulan nasehat Ladejinki dikumpulkan dan diedit oleh Louis J. Walinsky (1977) menjadi Agrarian Reform as Unfinished Business: The Selected Papers of Wolf Ladejinsky.

Namun, Lipton menunjukkan lebih dari itu. Ia berpendapat bahwa  land reform is both ‘unfinished business’ and alive and well.

Di awal abad 21 ini, saat dimana agenda reforma agraria kembali masuk menjadi agenda pembangunan nasional dan internasional, saya berpendapat buku ini wajib dibaca para pemikir pembangunan yang serius. Saya sendiri membaca buku ini dengan penuh antusiasme.

Saya yakin, secara khusus para pembuat kebijakan reforma agraria, para aktivis organisasi non-pemerintah yang mempromosikan reforma agraria, serta para peneliti dan dosen pembangunan pedesaan akan mendapat banyak inspirasi dan pelajaran dari kedalaman, keluasan, perspektif perbandingan dan teori-teori yang disajikan buku ini.

Maka, tak berlebihan bila buku ini mendapakan pujian antara lain dari pemenang hadiah Nobel Ekonomi, Amartya Sen sebagaimana tercantum dalam blurb buku sebagai berikut: “Reforma agraria dapat membuat sumbangan besar bagi pemberantasan kemiskinan, tetapi sayangnya hal ini tidak banyak dicoba secara efektif di berbagai wilayah dunia. Cerita demikian itu harus diakhiri, dan dalam buku yang penting ini seorang ekonom pembangunan terkemuka menyajikan pada kita mengapa (harus dilakukan) dan bagaimana (melakukannya).”

Untuk mengenal Michael Lipton lebih jauh, silakan klik disini.

Michael Lipton, Sang Penganjur Reforma Agraria

Penyumbang naskah: Noer Fauzi Rachman

Siapakah yang tidak mengenal Michael Lipton? Lipton lahir tahun 1937 di London, Inggris. Karir terakhirnya sebagai professor riset pada Institute of Development Studies, University of Sussex, khususnya pada Unit Penelitian Kemiskinan (Poverty Research Unit) yang ia dirikan. Kaliber, pengaruh dan kemashurannya melebihi disiplin ekonomi pembangunan, tempat ia berangkat.

David Simon, penulis buku Fifty Key Thinkers on Development (2006) memasukkan Michael Lipton dalam daftar limapuluh Pemikir Pembangunan terkemuka di dunia.

John Harris yang menulis entri mengenai Lipton dalam buku itu menguraikan perjalanan karir intelektualnya semenjak menjadi murid Paul Streeten, membantu Gunnar Myrdal menuliskan draf bagian apendiks 10 mengenai iklim, menyiapkan analisis yang intensif mengenai data-data akunting nasional dari negara-negara Asia Selatan, dan analisis perbandingan mengenai pembangunan Asia Selatan yang kemudian menghasilkan buku yang penting Why Poor People Stay Poor: Urban Bias and World Development (1977), hingga menjadi penganjur land reform (atau agrarian reform, reforma agraria) dan pengkritik revolusi hijau.

Setelah memeriksa karya-karya utamanya, Harris menyimpulkan bahwa di sepanjang karirnya baik sebagai peneliti, penulis, maupun konsultan badan-badan pembangunan internasional, Lipton punya keteguhan untuk membela produser pertanian skala kecil dan peran pertanian dalam pembangunan. Dalam hal ini, Lipton sangat dipengaruhi oleh pemikiran Alexander Chayanov, seorang ekonom dan sosiolog agraria dan pedesaan dari Rusia.

Salah satu argumen utama yang dikedepankan Lipton, dan yang terinspirasi oleh pemikiran Chayanov (1888–1937) adalah prinsip inverse relationship between productivity and farm size. Pada pokoknya, ia menyatakan bahwa unit produksi pertanian skala kecil jauh lebih efisien – perbandingan hasil panen per satuan wilayah – dibandingkan unit produksi pertanian skala besar.

Belum lama ini prinsip tersebut dikemas dan ditampilkan kembali dengan bahan-bahan penelitian kontemporer oleh Keith Griffin, Azizur Rahman Khan and Amy Ickowitz. Di bawah pengaruh Lipton, mereka bertiga menulis artikel yang terkenal yaitu Poverty and the Distribution of Land dalam Journal of Agrarian Change No. 2(3): 279-330. Artikel ini mendapatkan apresiasi dan kritik yang serius dari kalangan Marxis dalam Journal of Agrarian Change 2004 No.4 (1&2). Mereka bertiga kemudian menanggapi kritik-kritik tersebut dalam karya In Defence of Neo-Classical Neo-Populism, Journal of Agrarian Change 2004 No. 4(3):361–386.

Sumbangan lain dari Lipton yang banyak mendapat perhatian kalangan akademis dan pembuat kebijakan adalah konsep bias kota (urban bias), yakni ide bahwa kebijakan pembangunan di negara-negara berkembang mengutamakan produksi dan harga bahan makanan murah dibuat dalam rangka melayani kepentingan-kepentingan penduduk kota. Kebijakan ini pada gilirannya akan mendukung bekerjanya kapitalisme industri, namun ia berjalan dengan pengorbanan para petani kecil dan pekerja pertanian lainnya yang miskin.

Pengaruh Lipton dan sarjana neo-populis lainnya bisa dilihat dalam sebuah laporan pembangunan yang sangat terkenal di kalangan badan-badan internasional yakni Rural Poverty Report 2001: The Challenge of Ending Rural Poverty, yang diterbitkan oleh IFAD (International Fund for Agricultural Development).

Laporan tersebut menganjurkan keunggulan dari pertanian skala kecil (small-farm/smallholder) yang dapat diandalkan dalam upaya peningkatan produktifitas, dan karenanya mereka menganjurkan untuk meredistribusikan tanah-tanah tidak produktif, baik yang dikuasai oleh negara, tuan tanah, atau pengusaha perkebunan skala besar  bagi para petani melalui kebijakan reforma agraria sebagai strategi yang handal untuk pemberantasan kemiskinan.

Karya utama Lipton sebelumnya mengenai reforma agraria adalah (i) "Towards a Theory of Land Reform", dalam D. Lehmann (Ed.) Agrarian Reform and Agrarian Reformism (Cambridge: Cambridge University Press, 1974); dan (ii) “Land reform as commenced business: the evidence against stopping” yang dimuat dalam jurnal World Development No. 21/1993.

Dalam karyanya “Towards a Theory of Land Reform”, Lipton berangkat dengan suatu kepercayaan bahwa reforma agraria adalah “jalan utama yang perlu ditempuh menuju pemerataan dalam kehidupan pedesaan dengan menganggap bahwa tanah adalah sumber daya utama yang terbatas dan karenanya merupakan sumber utama pula dalam ketidaksamaan dan ketimpangan kekuasaan di pedesaan” (Lipton 1974:271).

Di sini pula Lipton mendefinisikan reforma agraria yang “mencakup (1) pengambilalihan tanah secara paksa, yang sering kali (a)oleh negara, (b)dari pemilik tanah luas, dan (c)dengan kompensasi sebagian; dan (2) penggarapan tanah pertanian tersebut dengan cara sedemikian rupa untuk memperluas keuntungan dari hubungan baru manusia pedesaan dengan tanah dibanding sebelum pengambilalihan tanah tersebut. Negara dapat memberikan, menjual atau menyewakan tanah tersebut untuk penggarapan individual (distributivist reform) atau tanah-tanah itu dikelompokkan secara bersatu dan pemanfaatannya dilakukan secara bersama melalui koperasi, kolektif, maupun usaha pertanian negara (collectivist reform)” (Lipton 1974:270).

Reforma agraria yang memang merupakan suatu kebijakan pemerataan, setidaknya diniatkan demikian,dapat saja meningkatkan memacu pertumbuhan, tapi pertumbuhan bukanlah motivasi utama dari dijalankan kebijakan reforma agraria. Motivasi utamanya adalah untuk mengurangi kemiskinan melalui mengurangan ketimpangan, meskipun tidak niscaya menolong mereka yang paling miskin, atau semua orang miskin di pedesaan.

Dalam karya berikutnya, "Land Reform as Commenced Business: The Evidence against Stopping”, Lipton mendebat argumen-argumen para sarjana yang merendahkan pentingnya reforma agraria sebagai suatu jalan untuk meningkatkan pendapatan dan memberdayakan kaum miskin pedesaan. Bagi Lipton, reforma agraria adalah urusan yang baru saja dimulai, yang sama sekali tidak relevan untuk dihentikan.

Memang, dalam karya-karya terdahulunya Lipton belum mempertimbangkan kemudahan akses orang miskin di pedesaan pada sumber pendapatan dari kota. Tapi dalam karya barunya Reform in Developing Countries: Property Rights and Property Wrongs (2009), Lipton menjawab bahwa situasi ketimpangan kekayaan yang mencolok di pedesaan yang dilandasi oleh ketimpangan penguasaan tanah, sama sekali tidak berarti hilangnya reforma agraria sebagai prioritas kebijakan pembangunan pedesaan. Urbanisasi tidaklah menghilangkan andil yang menentukan dari pekerjaan pertanian skala kecil dalam menyangga kehidupan kaum miskin pedesaan.

Membaca karya barunya ini, kita akan menikmati karya puncak dari seorang Guru, penganjur reforma agraria ternama di dunia.