Anda sudah selesai membaca sebuah karya tentang studi agraria? Tuliskan kembali ringkasan bacaan Anda dan kirimkan ke : studiagraria@gmail.com. Kami akan memuatnya di situs ini. Dan, mari kita membicarakannya.

Selasa, 24 Maret 2020


Noer Fauzi Rachman


Petani, Berlanjut-hidup dalam Kemelut


Penulis                           :  Jan Douwe van der Ploegh
Judul Buku                    :  Petani dan Seni Bertani, Maklumat Chayanovian
Judul Asli                       :  Peasants and The Art of Farming:  A Chayanovian Manifesto
Penerjemah                  :  Ciptaning Larastiti
Penyunting Ahli            :  Ben White dan Laksmi A. Savitri
Perjawahan Isi              :  Damar N. Sosodoro
Ilustrasi Sampul            :  Andi Bhatara dan 
                                           Giovanni Dessy Austriningrum
Penerbit                        :   Insist Press, bekerjasama dengan Inter-Cruch Organization for 
                                           Development Cooperation (ICCO), Institute of Social Studies, dan 
                                           Initiatives in Critical Agrarian Studies (ICAS)
Jumlah Halaman          :   226 + xxiv halaman


           Sejarawan penulis seri buku sejarah dunia modern, Eric Hobsbawm dalam bukunya the Age of Extremes: A History of the World, 1914-1991 menuliskan observasi penting mengenai apa yang disebutnya sebagai the death of peasantry (saya terjemahkan menjadi: lenyapnya kaum petani) sebagai gejala perubahan sosial pembeda dengan yang masa lampau dan yang berlangsung paling dramatis dan berakibat luas dari abad ke-20 lalu (Hobsbawm 1994:289, 415). Seabad sebelumnya, Karl Marx penulis buku paling terkenal Das Kapital. Kritik der politischen Ökonomie (edisi bahasa Inggerisnya terbit 1867) telah terlebih dahulu menunjukkan bahwa pembentukan modal untuk per-usaha-an kapitalis pada pertama kalinya dimulai dengan pemutusan paksa hubungan kepemilikan para petani dengan tanahnya (Marx 1867: 874).
Di permulaan abad ke-21 ini, kita menyaksikan proses pelenyapan kaum tani petani itu terus berlangsung akibat ekspansi sirkuit produksi komoditas global secara kapitalis, dan segala sesuatu operasinya pada tingkat hulu,  perluasan bekerjanya korporasi dan mekanisme pasar dalam pengadaan sarana produksi pertanian, dan pemerintah bekerja secara bias kota atau urban bias, istilah dari Michael Lipton (1977). Konsentrasi penguasaan tanah-tanah oleh perusahaan-perusahaan dan warga kota, konversi tanah pertanian menjadi non-pertanian, dan migrasi merupakan kenyataan yang menyertai modifikasi penurunan minat bertani para anak-anak petani, termasuk melalui sekolah. Lebih dari sekedar meninggalkan pertanian, sekolah mendorong anak-anak muridnya bermotivasi untuk tidak lagi berkenan hidup di desa, dan pindah menjadi warga kota-kota, atau setidaknya berkebudayaan kota walau tinggal di desa.
Kita menyaksikan bagaimana gerakan-gerakan pasar (utamanya melalui komodifikasi tenaga kerja, uang dan alam, seperti dianalisis Karl Polanyi, dalam karyanya The Great Transformation, the Political and Economic Origin of Our Time 1944) telah melahirkan perlawanan masyarakat, termasuk berupa kesadaran kritis yang bangkit dan bermuara protes-protes kaum petani. Selain itu, terdapat kecenderungan pembentukan kembali petani dalam pertanian keluarga (re-peasantization) di Asia dan Amerika Latin, dan juga yang menarik, adalah di Eropa dan Amerika Utara. seiring proses industrialisasi pertanian yang mengkonsentrasikan usaha pertanian dalam skala raksasa, intensifikasi, spesialisasi dan artificial-isasi dan disaktivasi pertanian, yang berakibat pada akhirnya  pengurangan hingga penghapusan kegiatan-kegiatan pertanian tertentu. 
Teka-teki ini menjadi masalah yang penting sebagai pertanyaan penggerak penelitian: apa yang membuat petani dalam pertanian-pertanian keluarga ini tetap terus bisa melanjutkan hidup, dan menolak mati bahkan membentuk gerakan tandingan, termasuk dengan memperbanyak diri, dalam konteks semakin membesar dan kuatnya kekuatan utama yang bisa mematikan mereka. 
Di tengah konteks demikian lah, Jan Douwe van der Ploeg menerbitkan karyanya Peasants and The Art of Farming, A Chayanovian Manifesto  (2013), dan diterjemahkan menjadi Petani dan Seni Bertani, Maklumat Chayanovian (Yogyakarta: Insist Press 2019). Karya ini sebaiknya dibaca beriringan dengan The New Peasantries: Struggles for Autonomy and Sustainability in an Era of Empire and Globalization.  Keduanya menegaskan pentingnya kita merujuk ke karya-karya klasik dari Alexander Chayanov, terutama The Theory of Peasant Economy (1966/1925, Chayanov telah mengembangkan pendekatan, teori dan metodologi untuk analisa mengenai karakteristik ekonomi petani, yang akan tetap relevan dimanapun dan kapanpun kita berhadapan dengan bentuk-bentuk produksi keluarga petani. Para penganut dan pengembang pemikiran Chayanovian di Indonesia antara lain, Julius Herman BoekeGerard Juliaan Vink, Kaslan Tohir, Sajogyo, S.M.P. Tjondronegoro, Gunawan Wiradi, Amri Marzali, hingga Francis Wahono.   
Siapakah sekarang yang membaca buku Chayanov, dan menggunakan pendekatan Chayanovian untuk memahami keberlanjutan hidup dari suatu sistem agraria  pertanian keluarga? Buku Petani dan Seni Bertani ini menguraian secara ringkas dan padat teori ekonomi pertanian keluarga dari Chayanov, dan bagaimana relevansinya di saat ini.  Chayanov benar-benar berhasil menunjukkan bahwa usaha pertanian rakyat (peasant farm) hadir dan berlanjut hidup dalam suatu ekonomi yang didominasi oleh hubungan-hubungan sosial kapitalistik. Keberlanjutan hidupnya bergantung pada andilnya sebagai suatu bentuk produksi barang dagangan yang khusus dalam sistem perekonomi kapitalis. Dalam dominant-subordinate relations itulah perlu diselidiki secara khusus bagaimana petani dan cara produksi pertanian rakyat dapat berlanjut hidup, bahkan terpelihara secara struktural.
Hidup menjadi bagian yang penting sistem kapitalisme bukanlah sesuatu yang menyenangkan bagi petani. Sebagian petani berjuang untuk melanjutkan hidup pertanian rakyat dalam menghadapi ancaman nyata dari cara produksi kapitalis yang meluaskan diri dengan cara melenyapkan cara produksi pra-kapitalis dalam logika creative destruction sebagaimana dijelaskan oleh David Harvey dalam artikelnya “Neoliberalism and Creative Destruction” (2003). Sebagian petani yang lain mengikuti jalur mengubah pertanian rakyatnya menjadi pertanian komersial, seperti yang dipromosikan besar-besara oleh  pemerintah, yang memiliki kekhususan wewenang baik sebagai pembuat peraturan, pengambil dan penentu alokasi anggaran negara, dan kekuatan birokrasinya, hingga perusahaan-perusahaan negara.
Pertanian keluarga sendiri tentu bukanlah unit produksi kapitalis. Dalam unit kerja pertanian keluarga, para petani yang bekerja bukanlah tenaga kerja upahan. Pertanian rakyat bekerja dalam cara yang benar-benar berbeda dengan cara bagaimana perusahaan kapitalis dikelola, yang berdasar hubungan kerja sosial modal-tenaga kerja. Perhatikanlah, misalnya sebagai petty commodity producer, jual beli barang nya secara umum berada dalam kisaran harga yang jauh lebih murah dibanding harga yang barang yang diproduksi dan diedarkan perusahaan kapitalis yang badan-badan usahanya mempergunakan modal dari hutang bank. Resiko harga jual murah ini ditanggung secara keseluruhan.  Struktur internal yang khusus dari pertanian keluarga inilah yang bisa membuat mereka bekerja ketika perusahaan kapitalis tidak bisa. Baik dengan menjual dengan harga murah itu, memperpanjang jam kerja anggota keluarga, mengambil bahan mentah secara gratis dari layanan alam, dan sebagainnya. Dalam kalimat Chayanov (1966: 89), “The peasant farm continues to produce where capitalist farms stop,” dan  mereka memiliki keunggulan bisa terus hidup dalam posisi berkompetisi-tapi- tersubordinasi.
Buku Petani dan Seni Bertani, Maklumat Chayanovian ini pertama terbit dari versi bahasa Inggris tahun 2013, dan merupakan buku kedua dalam seri “Kajian Petani dan Perubahan Agraria”. Buku pertamanya, Henry Bernstein, Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria juga telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Insist Press 2015. Tiap-tiap buku dalam seri ini ini, seperti dijelaskan dalam pengantar seri buku ini, bermaksud menjawab pertanyaan terkini meliputi apa saja isu dan perdebatan terkini dalam suatu topik, bagaimana posisi tersebut muncul dan berkembang dari waktu ke waktu, bagaimana kecenderungan yang mungkin terjadi, apa saja rujukan kunci, dan last but not least, mengapa penting bagi para pekerja ornop, aktivis gerakan, pekerja pembangunan dan lembaga donor, mahasiswa, akademisi , peneliti dan dan ahli-ahli pembuat kebijakan perlu melibatkan diri secara kritis dengan topik-topik ini. 
 Buku yang ringkas dan padat (226 halaman), ini bagus untuk pemula yang mulai belajar suatu pemikiran agraria. Para pembaca yang sudah mahfum dengan pemikiran agraria  akan segera mengetahui bahwa buku ini adalah buku yang penting dan serius, namun enak dan ringan dibacanya. Buku ini layak menjadi pegangan para pemikir, pemimpin dan penggerak rakyat yang bekerja langsung secara konkrit untuk kemudian menemukan cara-cara baru yang mumpuni mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan itu. Juga untuk mereka mereka yang rajin berkampanye tentang hak-hak petani, kedaulatan pangan, dan reforma agrarian, serta para pelajar dan dosen di perguruan tinggi.  Saya sampaikan selamat dan terima kasih pada Redaksi Kajian Petani dan Perubahan Agraria dan Insist Press telah menghasilkan karya yang penting ini, dengan sajian yang apik dan berkualitas bagus. 
Terima kasih untuk kerja kordinator penerbitan dan editorial yang cakap dari Penerbit Insist Press. Pilihan huruf, mutu tata letak, perwajahan isi dan ilustrasi sampul buku ini membuat pembaca merasa nyaman. Glosarium di akhir buku dan anjuran bacaan dalam Daftar Pustaka pun sangat membantu. Kita menantikan penerbit ini mengeluarkan buku-buku selanjutnya dari seri Kajian Petani dan Perubahan Agraria ini.
Apakah buku berisikan “ide besar dalam buku kecil” seperti buku ini dapat dibuat untuk kajian pemikiran-pemikiran agraria (di) Indonesia? Prakarsa seperti itu penting agar pada gilirannya bisa dibuatkan peta perjalanan pemikiran agraria Indonesia, dan para pelaku studi agraria yang semakin membanyak ini pun dapat meletakkan sumbangan studi yang dilakukannya sebagai kelanjutan dari para pendahulunya. Karya Ben White (2005) “Between Apologia and Critical Discourse, Agrarian Transitions and Scholarly Engagement in Indonesia”, sesungguhnya merupakan rangsangan, yang perlu dilanjutkan. Status pengetahuan dari studi-studi agraria Indonesia perlu ditingkatkan dengan menghadirkan pemikiran para tokohnya, dan diletakkan dalam hubungan satu sama lain.
Siapakah yang terpanggil dan mumpuni mengerjakannya?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar