Ini adalah bagian kedua dari wawancara Joss Wibisono dari Radio Nederland Wereldomroep dengan Prof. Jan Breman. Wawancara ini diambil dari laman RNW. (Pengelola)
PREANGER STELSEL DAN ASAL USUL APARTHEID
Orang Belanda selalu membanggakan kolonialismenya di Indonesia sebagai penjajahan yang tidak langsung, karena melewati penguasa setempat. Dengan demikian tradisi politik lokal tidak dirobah, sesuatu yang, konon, berbeda dengan kolonialisme Prancis atau Inggris.
Tapi menurut profesor Jan Breman, kolonialisme yang melibatkan penguasa setempat itu ternyata membuat rakyat juga makin menderita, karena harus menanggung penjajahan bertingkat dua. Lebih dari itu, dalam buku terbarunya Koloniaal profijt van onvrije arbeid artinya "keuntungan kolonial dari buruh yang tertindas", Jan Breman juga menunjukkan betapa kolonialisme yang terwujud dalam Preanger Stelsel merupakan cikal bakal sistem apartheid yang kemudian berkembang di Afrika Selatan.
Jan Breman [JB]: Bagi saya itu bukannya lebih berat atau kurang berat. Kalau bangsawan setempat sampai dilibatkan dalam pemerintahan kolonial, maka bagi saya itu merupakan wujud keinginan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang murah. Karena biaya melibatkan bangsawan setempat itu tidak dipikul oleh penguasa kolonial, melainkan oleh masyarakat tani yang dikuasai. Rakyatlah yang harus menanggung biaya pemerintahan para bangsawan itu.
Kikir dan hemat
Demikian pula penerapan sistem pemerintahan pedesaan, dengan penunjukan kepala desa dan penguasa pedesaan lainnya, penguasa kolonial tidak membayar mereka sepeserpun. Itu semua harus ditanggung oleh rakyat pedesaan. Mereka harus menyediakan tanah, harus melakukan wajib kerja dalam berbagai bentuk. Dan itu tetap wajib dilakukan rakyat pedesaan walaupun kemudian Indonesia sudah merdeka. Pemerintah pedesaan tidak mendapat gaji.
Hal ini sebenarnya sudah dipertimbangkan masak-masak di zaman kolonial. Waktu itu sudah dipikirkan, apakah tidak sebaiknya menyingkirkan penguasa lokal. Tetapi kemudian dibantah karena kalau penguasa kolonial langsung menguasai pedesaan, maka itu akan butuh biaya banyak. Dan sikap Belanda ini tetap diteruskan walaupun VOC sudah bangkrut, pada intinya adalah setinggi mungkin keuntungan, serendah mungkin ongkos.
Radio Nederland [RNW]: Kikir dan hemat kolonial?
JB: Ya, seperti dikatakan Gubernur Jenderal Baud, kenapa harus membayar lebih banyak kalau kita bisa memperolehnya dengan biaya murah. Waktu itu, di pertengahan Abad 19, Baud harus menghadapi beberapa pembangkang yang menuntut supaya upah petani yang menghasilkan komoditi Tanam Paksa dinaikkan, supaya pendapatan mereka meningkat. Dia ditekan supaya meningkatkan upah itu. Itulah sikap khas penguasa kolonial Belanda.
RNW: Apa dampaknya bagi rakyat Pasundan?
Apartheid
JB: Itu sudah saya ungkapkan dalam buku ini, dan itu juga kesimpulan saya, yang terjadi adalah perbudakan, penindasan dan keadaan yang tidak mungkin dirubah lagi. Mereka dihimpit oleh penguasa setempat dan penguasa kolonial. Penguasa kolonial menutup wilayah tempat tinggal mereka. Pasundan ditutup sampai jauh di abad 19.
Warga Pasundan hanya boleh berada di dua tempat: desanya atau kebun kopi. Mereka tidak boleh ke tempat lain. Kalau ingin ke tempat lain, maka seseorang harus punya pas untuk bepergian. Pertama dia harus mengurusnya ke kepala desa, kemudian juga ke kantor residen untuk minta izin apakah boleh pergi ke tempat lain, untuk urusan keluarga atau urusan pekerjaan. Ini jelas sistem apartheid, seperti yang kemudian kita kenal di Afrika Selatan. Ketidakbebasan yang dialami warga Pasundan sangatlah tinggi.
RNW: Bagaimana ini bisa terjadi? Di wilayah lain banyak suku bangsa, orang Arab, orang Tionghoa dan seterusnya. Bagaimana mungkin orang Tionghoa tidak ada di Pasundan?
JB: Diberlakukan larangan, bukan hanya terhadap orang Tionghoa tapi juga terhadap orang Eropa lain untuk datang ke wilayah itu. Ketika Jalan Raya Pos dibangun oleh Daendels pada awal abad 19, mereka yang ingin melalui jalan itu harus punya pas yang dikeluarkan oleh penguasa kolonial. Warga Tionghoa tidak boleh masuk Pasundan. Dengan kata lain wilayah itu ditutup.
Ada beberapa alasan kenapa wilayah itu ditutup. Pertama, untuk menghindari penyelundupan, terutama penyelundupan kopi. Kopi biasanya diselundupkan keluar dan dijual dengan harga yang lebih mahal di wilayah pesisir. Alasan kedua adalah bahwa warga Pasundan adalah orang-orang yang sederhana. Mereka tidak punya banyak kebutuhan, mau menerima apa saja, dan penurut. Sikap seperti itu harus tetap dijaga, sehingga mereka tidak boleh berhubungan dengan dunia luar. Alasan ketiga adalah penguasa kolonial merasa harus berhati-hati menghadapi perlawanan atau protes. Dan dengan menutup wilayah itu semua ini berupaya dihindari.
RNW: Tapi toh terjadi juga perlawanan itu.
Perlawanan dan kekerasan
JB: Tentu saja. Saya mencurahkan banyak perhatian pada perlawanan ini. Karena bagi saya sangat luar biasa membaca pelbagai pendapat yang sudah terbit mengenai cultuurstelsel. Mereka merasa kaget karena menurut mereka tidak ada perlawanan. Saya menemukan banyak terjadi perlawanan. Dan terhadap perlawanan itu dilakukan tindakan kekerasan yang luar biasa. Salah seorang penulis sejarah Pasundan menyatakan di samping kopi terlihat rotan. Rotan itu sering dipakai, termasuk bentuk-bentuk hukuman lain. Jadi kalau tidak mentaati peratuaran perusahaan dan penguasa maka rakyat akan dihukum.
Kedua, sebenarnya terjadi banyak sabotase, banyak penyelewengan, orang lari dan saya jelaskan bagaimana terjadinya. Itu tidak bisa diabaikan. Dan menurut saya itulah alasannya kenapa akhirnya Tanam Paksa dicabut. Rakyat tidak mau lagi, mereka tidak mau lagi menuruti instruksi atasan.
Yang jelas konsumsi kopi di dunia sangat meningkat. Dunia mulai mengenal kopi pada abad 18, kemudian mulai berkembang. Dan terlihat kebutuhan kopi makin meningkat, karena ekspornya juga meningkat. Karena itu rakyat makin diperas untuk menghasilkan kopi sebanyak mungkin. Penguasa kolonial akhirnya mendirikan NHM, perusahaan yang mengurus lelang produk-produk Tanam Paksa seperti kopi atau nila. Amsterdam menjadi pusat lelang kopi yang dijual ke benua lain seperti Amerika atau ke negara-negara lain di Eropa.
RNW: Tentang penulisan sejarah. Dengan buku ini Anda berupaya menulis kembali sejarah kolonialisme Belanda. Mengapa ini merupakan ambisi Anda?
Visi Indonesia
JB: Bukan karena saya ingin bersikap lain dari yang selama ini sudah dilakukan oleh sesama ilmuwan. Tetapi karena ingin memberi peluang kepada pandangan yang berkembang dalam masyarakat Indonesia tentang apa yang terjadi pada zaman kolonial.
Saya berupaya memperoleh kesempatan sehingga visi Indonesia ini bisa memberi gambaran lain tentang masa lampau dari yang selama ini sudah dilakukan oleh pandangan Belanda. Itulah saripati buku saya. Karena itu saya bisa mengerti seruan teman saya Sediono Tjondronegoro yang ingin supaya edisi bahasa Indonesia buku ini juga terbit.
Saya memang orang Belanda. Tapi itu tidak berarti bahwa orang Belanda selalu harus membela pandangan kolonial. Sebaliknya tidaklah selalu benar bahwa sejarawan Indonesia selalu anti kolonialisme.
RNW: Mengapa Anda anggap penting untuk menunjukkan sisi Indonesia itu bagi publik Belanda?
JB: Itu tidak saya lakukan karena saya ingin datang dengan suara lain. Bukan begitu caranya kalau orang ingin mendalami ilmu pengetahuan. Saya ingin melakukannya karena ingin mengkoreksi pandangan sepihak yang ada di Belanda.
Dalam menekuni kolonialisme orang Belanda selalu datang dari atas ke bawah. Selain itu saya juga ingin merangsang penulisan sejarah dengan cara yang lain, misalnya dari bawah ke atas dan dari dalam keluar. Itulah dasar argumen saya dalam buku ini.
RNW: Jadi menurut anda penulisan sejarah Belanda tentang kolonialisme selalu dari atas ke bawah?
JB: Ya.
RNW: Dan itu bukan penulisan sejarah yang bagus?
JB: Dari atas ke bawah tidaklah selalu buruk atau salah. Cara demikian ini juga perlu. Tapi kalau hanya penulisan dari atas ke bawah, maka orang akan berpikir, ini ada yang kurang, dan itu dimensi yang juga sangat penting. Itulah dampaknya bagi masyarakat. Bagaimana para petani yang sampai beberapa generasi diperbudak dalam Tanam Paksa itu menyikapi sistem ini? Menjawab pertanyaan itu, memberi peluang bagi sisi mereka menurut saya adalah penting.
RNW: Kalau saya seorang yang ingin tahu sisi Indonesianya, maka saya akan mencarinya pada sejarah Indonesia, bukan pada sejarah Belanda.
Tersurat dan tersirat
JB: Tentu saja, dan di sini akan kita jumpai kekosongan. Karena banyak sumber yang kita gunakan untuk menafsirkan sejarah itu berasal dari aparat kolonial. Tidak banyak petani, untuk bicara terus terang, yang punya kesempatan untuk menuliskan pendapat dan pikiran mereka dengan jelas dan menyimpannya untuk generasi berikut.
Jadi kita harus memanfaatkan sumber-sumber yang sudah ada. Dan banyak sumber, termasuk yang saya gunakan, menunjukkan sudut pandang sepihak itu. Itu menyebabkan kita harus, katakanlah, membaca tidak hanya apa yang tersurat, tapi juga apa yang tersirat. Selain itu kita juga harus mencari sumber-sumber yang tampil dengan suara lain, suara membangkang yang lain dari sejarah arus utama.
RNW: Di sini Anda kemudian menemukan pendapat bahwa kalau petani Belanda di Propinsi Zeeland dipaksa menanam dan hasilnya dibeli dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar maka mereka pasti akan marah menolak. Sementara petani Pasundan dianggap selalu menurut, tapi ternyata mereka berontak juga?
JB: Iya, benar itu. Para penulis Belanda sendiri sebenarnya juga ada yang tidak berpendapat demikian. Mereka menentang gagasan bahwa warga Pasundan mau saja dikuasai. Cara petani ini berhubungan dengan para menak, bangsawan setempat, juga sangat asertif. Mereka tidak tunduk atau menyerah saja, seperti yang digambarkan dalam sejarah kolonial.
RNW: Karena itu Anda merasa perlu adanya koreksi?
JB: Ya, tapi bukan koreksi asal koreksi, atau koreksi karena hanya ingin mengeluarkan pendapat lain. Tapi untuk menunjukkan bahwa sumber-sumber itu banyak yang hanya bersifat sepihak.
RNW: Laporan-laporan yang mengeluarkan pandangan lain, seperti yang ditulis oleh Van Rees atau dalam buku Anda yang lain, seperti yang ditulis oleh Remrhev, laporan-laporan semacam itu selalu ada. Mengapa laporan semacam itu tidak ditindaklanjuti?
JB: Jangan tanya pada saya, karena saya sendiri menekuni laporan-laporan itu. Dan saya melihat ada semacam keengganan yang kemudian menghalangi tampilnya pendapat-pendapat lain. Dan adalah tugas seorang sejarawan, bukan hanya sejarawan Indonesia, untuk juga awas pada hal-hal semacam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar