Restu Achmaliadi dan Noer Fauzi Rachman
Versi awal naskah ini pernah dimuat di di dalam Jurnal Wacana edisi 28 Tahun 2012, halaman 207-216
Judul : Kopi, Adat, dan Modal: Teritorialisasi dan Identitas Adatdi Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah.
Judul Asli : Cofee, Custom, and Capital: Territorialization and Adat Identity in Central Sulawesi’s Lore Lindu National Park
Penulis : Claudia Francesca D’Andrea,
Penerjemah : Budi Prawitasari
Penyunting : Noer Fauzi Rachman
Penerbit : Tanah Air Beta, Yogyakarta
Tahun Terbit : 2003
Tebal : 270 halaman + xxxvi
Perjuangan orang Katu untuk mendapatkan kembali hak-haknya atas tanah pasca reformasi 1998 sangatlah terkenal di kalangan para aktivis gerakan agraria, lingkungan hidup, dan peneliti. Perjuangan orang Katu untuk bisa tetap tinggal dan hidup di tanah adatnya menjadi inspirasi berbagai pihak yang memperjuangkan hak-hak agraria rakyat dan gerakan lingkungan hidup yang menghargai tata cara tradisional dalam memanfaatkan sumber daya alam. Surat Pernyataan Kepala Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) No. 35/VI-BTNLL.1/1999 pada garis besarnya mengakui hak adat orang Katu. Pihak Taman Nasional memperbolehkan orang Katu tinggal pada areal seluas 1.178 hektar dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengelolaan kawasan konservasi seluas 229.000 hektar itu.
Salah satu buku yang membahas perjuangan orang Katu adalah Kopi, Adat, dan Modal: Teritorialisasi dan Identitas Adatdi Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah, yang berasal dari disertasi Claudia Francesca D’Andrea, seorang sarjana ekologi politik dari University of California, Berkeley (AS). Buku ini secara umum menceritakan tentang dinamika pengakuan keberadaan orang Katu dalam BTNLL, serta hubungannya dengan berbagai wacana nasional-internasional tentang identitas adat, konservasi modern, dan teritorialisasi. Secara umum buku ini sangat menarik, khususnya untuk para aktivis agraria Indonesia; lebih-lebih yang bekerja di Sulawesi Tengah perlu membacanya dengan seksama. Dalam resensi ini kami hanya menyoroti dan memberikan penekanan pada butir-butir tertentu dalam buku ini yang kami anggap sangat menarik, termasuk memberi makna yang lebih luas terhadap butir-butir dimaksud.
Momentum Reformasi dan Euforia Masyarakat Adat
Buku ini mengulas tentang bagaimana momentum Reformasi 1998 sebagai momentum yang mendukung menguatnya isu masyarakat adat di ranah publik Indonesia. Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) bisa terselenggara dengan gegap gempita pada Maret 1999 merupakan buah momentum reformasi. Keberanian Kepala BTNLL Ir Banjar Yulianto Laban, MM, mengeluarkan Surat Pernyataan No. 35/VI-BTNLL.1/1999 tentang pengakuan keberadaan orang Katu di dalam BTNLL juga merupakan buah dari momentum reformasi dan menguatnya wacara masyarakat adat di kancah nasional.
Akan tetapi terminologi masyarakat adat, bagaimanapun, merupakan terminologi yang masih terus diperdebatkan oleh para ahli, khususnya para ahli antropologi. Di satu pihak ada ahli yang melihat berbagai keterbatasan apabila menggunakan terminologi masyarakat adat digunakan untuk mendukung perjuangan para petani marjinal. Ada juga ahli yang tetap melihat ketidakcocokan terminologi masyarakat adat untuk konteks Indonesia. Selain itu cukup banyak pihak yang mempercayai, khususnya para aktivis pendukungnya, bahwa masyarakat adat yang penuh kearifan merupakan kunci keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam, termasuk hutan, yang selama ini menjadi gantungan hidupnya.
Kutipan pendapat E.P. Thompson (1993) tentang adat, dalam pembuka Bab 2 buku ini, sangatlah menarik:
“Memang, sebagian ’adat’ adalah penemuan baru, dan benar-benar merupakan klaim atas ’hak’ yang baru... adat merupakan retorika legitimasi bagi hampir semua pengguna, praktik, atau hak yang dituntut. Karenanya, adat yang tidak terkodifikasi –atau bahkan yang terkodifikasi—senantiasa tidak pasti... Sebab itu, jauh dari kepastian yang tersirat pada kata ”tradisi”, adat merupakan kancah perubahan dan pertarungan, sebuah arena dimana masing-masing kepentingan yang berseteru membuat klaim-klaim yang berbenturan.”
Jadi, adat adalah bukan sesuatu yang beku, stereotype dan pasti, akan tetapi selalu penuh dengan klaim-klaim baru yang berbenturan. Dia adalah suatu bentuk retorika legitimasi, yakni retorika dari kaum yang tertindas dalam perjuangan agraria mereka!
Buku ini dengan rinci dan baik sekali menggambarkan bagaimana orang Katu secara strategis memanfaatkan isu “masyarakat adat” untuk mendukung perjuangan mendapatkan pengakuan kembali hak-haknya atas tanah. Apa yang dilakukan orang Katu dalam memberi makna kata “masyarakat adat” ternyata sangat berbeda dengan berbagai terminologi masyarakat adat, atau berbeda dengan makna masyarakat adat yang selama ini dengan klise dipahami oleh publik, yakni berupa tata nilai feodal, atau kental dengan kekunoan, atau keterbelakangan; bahkan juga berbeda dengan pemahaman para ahli antropologi, atau bahkan berbeda dengan idealitas masyarakat adat yang sering diimpikan oleh para aktivis.
Bagi para petani seperti orang Katu, istilah masyarakat adat telah diisi dengan makna baru serta kebanggaan dan kepentingan simbolik baru. Meskipun ada upaya kuat negara untuk mendepolitisasi dan melebih-lebihkan makna adat, proses-proses baru ini membantu para petani Katu menangkap dan menghidupkan istilah ini dalam cara-cara baru. Para petani Katu memanfaatkan identitas masyarakat adat untuk memperjuangkan haknya atas tanah, baik haknya sebagai masyarakat adat yang merupakan bagian dari warganegara Indonesia maupun secara aktif menandingi paham konservasi modern yang akan menghilangkan hak-hak dasar orang Katu atas tanah adatnya.
Pertarungan Wacana dan Teritorialisasi
Teritorialisasi umumnya didefinisikan sebagai proses dimana negara modern mendefinisikan dan menerapkan otoritas, tidak hanya atas perbatasan nasional, melainkan juga atas orang dan sumber daya di dalam wilayah nasional (Vandergeest dan Peluso 1995). Pertarungan wacana dan proses teritorialisasi selalu berlangsung pada suatu bentang alam di mana berbagai kepentingan hadir dan menghadirkan diri untuk selalu bertarung.
Katu, sebuah desa kecil di Sulawesi Tengah, bisa menjadi cermin pertarungan wacana dan praktik teritorialisasi yang terus berlangsung. Pertengahan abad XIX misionaris Kristen mulai memasuki pegunungan tengah Sulawesi. Pemerintah kolonial Belanda, memang mengkonstruksikan “penakhlukan” daerah pegunungan Sulawesi dengan pengerahan tenaga-tenaga misionaris; dan tidak menggunakan kekuatan militer sebagaimana di Jawa atau Sumatera. Para misionaris inilah yang mulai mengkonstruksikan pencatatan dan penggolongan penduduk berdasarkan bahasa dan etnisitas. Sementara itu daerah pesisir Sulawesi tetap dibiarkan di bawah pengaruh Islam, sebagaimana telah berlangsung sebelumnya.
Sementara itu wacana tentang adanya hukum adat yang berlaku di Nusantara didengungkan oleh Van Vollenhoven dan para pendukungnya. Van Vollenhoven menggolong-golongkan Nusantara menjadi berbagai kelompok hukum adat. Konsekuensinya adalah bahwa suatu wilayah hukum adat dibayangkan sebagai suatu wilayah yang homogen dimana suatu hukum adat bisa berlaku dengan ideal. Wacana pro dan kontra terhadap hukum adat terus berlangsung. Berbagai penelitian yang lebih rinci tentang etnisitas dan bahasa juga terus berlangsung di Nusantara. Wacana ini turut menjadi bagian teritorialisasi ruang dengan berbagai makna dan akibat yang nyata di lapangan.
Pemerintah kolonial Belanda, secara formal, memasuki pegunungan tengah Sulawesi sekitar permulaan abad XX. Beberapa langkah teritorialisasi pemerintah kolonial ini antara lain memindahkan berbagai kelompok penduduk ke tempat-tempat yang lebih mudah dikontrol dimana orang Katu juga menjadi korban relokasi awal kebijakan kolonial ini, semisal menarik pajak untuk komoditi tertentu, memetakan hutan damar yang menjadi sumber pajak kolonial.
Proses teritorialisasi versi negara ini, awalnya oleh pemerintah kolonial Belanda seperti terpapar di atas, terus berlangsung setelah Kemerdekaan (1945). Wilayah tengah Sulawesi, termasuk Katu di dalamnya, dikelompokan menjadi berbagai tipe kawasan hutan negara, tanpa mempedulikan keberadaan manusia dan pemukiman yang ada di dalamnya. Kelompok-kelompok pemukiman diadministrasikan menjadi bentuk-bentuk desa, tanpa mempedulikan kelembagaan lokal yang telah ada dan berkembang dalam masyarakat. Masih banyak lagi jenis tindakan-tindakan teritorialisasi yang pada intinya adalah kontrol negara terhadap penduduk dan sumber daya.
Sejak diresmikannya Taman Nasional Yellow Stone (1873) di Amerika Serikat, ilmu konservasi modern terus berkembang. Secara umum tujuan dari konservasi adalah menyediakan suatu bentang alam tertentu yang digunakan untuk melestarikan hewan-hewan dan atau aneka tumbuhan dan atau ekosistem yang rentan dan dianggap akan punah. Paham konservasi, sangat jelas, tidak menyertakan manusia di dalamnya. Sulawesi bagian tengah, khususnya Katu, tidak lepas dari pengaruh paham konservasi modern, baik nasional maupun internasional. Penetapan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) pada 1993 tidak lepas dari pengaruh kuat konsep dan terapan ilmu konservasi modern. Pengukuhan TNLL, yang diikuti oleh rencana program relokasi Orang Katu dengan menggunakan dana Asia Development Bank (ADB) pada hakikatnya merupakan kerjasama antara negara dan agen-agen konservasi internasional.
Paham dan konsep konservasi modern merupakan bentuk teritorialisasi tersendiri, yang harus diakui, memerlukan suatu teritori “yang dianggap kosong” untuk keutamaan kepentingan kelestarian hewan dan atau tumbuhan tertentu; dan menomorduakan kepentingan kelompok manusia, kalaupun ada, dalam suatu rencana teritori konservasi. Cukup banyak kelompok-kelompok manusia, termasuk di Indonesia, yang menjadi “korban” paham dan konsep teritorialisasi konservasi modern. Peta sebagai produk teritorialisasi paham konservasi modern memiliki akibat-akibat nyata di lapangan.
Persepsi Orang Katu
Bagaimana orang Katu menghadapi aneka konsep dan praktik teritorialisasi yang menimpa wilayah hidupnya ? Ternyata orang Katu bukan kelompok masyarakat yang pasif dan menerima begitu saja ragam efek teritorialisasi yang terjadi di wilayah hidupnya. Orang Katu aktif melawan dan memberikan argumen logis terhadap aneka teritorialisasi ini, khususnya aplikasi teritorialisasi negara dan konservasi modern.
Orang Katu, kemudian membuat teritorialisasi dan klaim atas wilayah hidupnya. Dengan memanfaatkan momentum merebaknya tuntutan masyarakat adat pasca reformasi, orang Katu mengidentifikasikan diri sebagai masyarakat adat dan berusaha mengkonstruksikan kembali gambaran klaim wilayah hidupnya; meskipun di internal orang Katu tidak sehomogen apa yang dibayangkan oleh para aktivis dan peneliti antropologi. Dibantu oleh para aktivis agraria, Orang Katu menggambarkan peta teritorialisasi wilayah hidupnya dan menjadikannya sumber klaim. Peta ini dilengkapi dengan dokumentasi konstruksi sejarah orang Katu dan dokumentasi tata cara pemanfaatan sum berdaya alam versi orang Katu.
Jadi, orang Katu membuat teritorialisasinya sendiri; meng-counter teritorialisasi versi lain, baik versi negara maupun agen-agen konservasi internasional, yang dikenakan pada wilayah hidupnya. Teritorialisasi versi orang Katu inilah yang digunakan sebagai argumen untuk menolak rencana relokasi pemukiman orang Katu yang akan dibiayai oleh ADB, yang sejatinya merupakan kompromi teritorialisasi versi negara dan versi agen konservasi internasional. Orang Katu, sendiri, aktif mendebat dan menolak rencana pemerintah dan ADB ini.
Keaktifan orang Katu berargumen dan menolak relokasi yang “dikawal” negara dan agen-agen konservasi internasional bukan hanya merupakan wacana lokal dan berimplikasi di wilayah Katu saja. Gaung dari argumentasi orang Katu ini turut mewarnai wacana nasional, bahkan internasional, tentang konservasi, masyarakat adat, dan argumen teritorialisasi “baru” ala masyarakat adat. Apa yang dilakukan oleh orang Katu menjadi inspirasi baru banyak pihak dalam berhubungan dengan kawasan konservasi, baik yang menentang maupun yang berkompromi dengan paham konservasi modern.
Orang Katu sudah sejak lama digolongkan sebagai masyarakat yang marjinal, lokasi hidupnya terpencil, kampungnya dianggap tanah negara, oleh tetangga-tetangga kampungnya dianggap terbelakang, hingga beberapa kali dipaksa relokasi. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh orang Katu sama sekali berbeda dengan berbagai stereotype tentang kelompok masyarakat marjinal: lemah, rentan terhadap ancaman pihak lain, perlu “ditolong”, harus diberdayakan, dan seterusnya. Orang Katu ternyata mampu membuat teritorialisasi alternatif tersendiri, menandingi berbagai narasi teritorialisasi yang lain. Orang Katu mampu berargumen dengan apik melawan pihak-pihak yang meremehkan teritorialisasi alternatif itu. Orang Katu, dengan dukungan sedikit, mampu melawan dan menggagalkan program relokasi paksa atas Desa Katu, yang sejatinya merupakan dominasi teritorialisasi negara dan paham konservasi modern.
Apa yang dilakukan oleh orang Katu, berargumen mempertahankan hak-haknya atas tanah, merupakan proses advokasi yang sangat kuat. Proses dokumentasi yang kuat dan detail (peta partisipatori, dokumentasi sejarah, dokumentasi pemanfaatan sumber daya, dokumentasi inventory sumber daya) dijadikan alas untuk proses advokasi. Kasus Katu membuktikan bahwa dokumentasi yang kuat merupakan alat yang ampuh dalam melakukan proses advokasi. Kasus Katu juga merupakan contoh proses advokasi kuat yang menunjukkan sinergi, baik antara para pendukung dan Orang Katu sendiri.Kasus Katu juga menunjukkan bahwa advokasi yang kuat memerlukan keaktifan dari kelompok masyarakat sendiri. Advokasi bukan hanya sekedar blaming kasus yang dilakukan para aktivis, yang seringkali cuma sibuk tanpa focus yang jelas. Advokasi yang serius memerlukan keaktifan dan peran utama kelompok masyarakat sendiri, sementara para aktivis hanya sekedar mendukung.
Revitalisasi dan Adaptasi Nilai-nilai Adat
Telah dipaparkan di atas bahwa orang Katu memanfaatkan momentum meggemanya wacana masyarakat adat untuk revitalisasi dirinya sendiri, sekaligus menjadi pijakan dalam berargumen dan menolak upaya-upaya relokasi paksa orang Katu dari wilayah hidupnya. Petani-petani Katu mampu meletakkan batas-batas baru, tidak hanya sekitar teritori mereka, tapi juga seputar identitas adat dan rasa memiliki tempat tersebut. Inilah batas-batas dimana sesuatu yang lain mulai terkuak dan menguat. Rasa diri menjadi “masyarakat adat” menjadikan orang Katu memiliki kesadaran kolektif yang sangat kuat, sangat berbeda dengan rasa menjadi “petani” yang telah menjadi profesinya sehari-hari.
Masyarakat adat, secara klise, sering dipersepsikan atau dibayangkan sebagai masyarakat yang statis, dianggap agak kuno, memiliki pranata yang cenderung feodal, merupakan kelompok yang khas, hidup di sekitar hutan yang agak terpencil, rentan terhadap program pembangunan, dan seterusnya. Atau, di kalangan aktivis, masyarakat adat diromantiskan sebagai sangat tergantung dan arif dengan lingkungan sekitarnya, memiliki wilayah adat yang pasti, memiliki asal-usul leluhur yang jelas, memiliki sistem governance yang sudah teruji turun-temurun, mampu mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, dan lain-lain. Apa yang terjadi dan dialami oleh orang Katu agak berbeda dengan berbagai gambaran itu.
Orang Katu menggunakan istilah masyarakat adat untuk merevitalisasi diri dan mengkonstruksikan kembali klaim-klaim mereka atas ruang di sekitarnya. Petani-petani Katu membangun klaim-klaim identitas adat dalam berbagai keterlibatan strategis dimana mereka menggunakan suatu adat yang telah diperbaharui secara konseptual. Petani-petani ini menggunakan identitas kultural yang ditafsirkan kembali untuk mengembangkan kesempatan-kesempatan baru dalam arena wacana teritorialisasi dan ekonomi politik. Ini adalah hal yang tidak lumrah karena hal ini bertentangan dengan asumsi-asumsi tentang adat yang diasosiasikan dengan praktik-praktik pra-kapitalis; menunjukkan gagalnya mitos-mitos usang tentang adat.
Masyarakat adat sering diasumsikan mempraktikkan model ekonomi pra-kapitalis; sangat sedikit berhubungan dengan pasar, belum ada stratifikasi kelas dan kerja yang jelas, dan lain-lain. Apa yang terjadi di Katu sungguh berbeda. Bukannya menurunkan ritme ekonomi, setelah “pengakuan” keberadaan Katu tahun 1999, para petani Katu bahkan meningkatkan kegiatan-kegiatan ekonomi pertaniannya. Penanaman padi sawah digalakkan. Komoditi coklat diperkenalkan dan dibudidayakan secara intensif. Komoditi kopi yang pada mulanya hanya ditanam sekedarnya, kemudian diintensifkan budidayanya. Dengan lebih terkontrol, pemanfaatan rotan dilakukan dengan lebih intensif. Pertimbangan utama intensifikasi kopi dan coklat adalah, bahwa kopi dan coklat merupakan komoditi yang strategis di pasar. Para petani Katu berargumen bahwa mereka selama ini sering diusir dari wilayah hidupnya dan dianggap terbelakang oleh pihak lain dikarenakan kemiskinan mereka. Karena itu penguatan ekonomi diperlukan sebagai bagian memperkuat posisi tawar mereka sebagai masyarakat adat.
Adat juga diasumsikan memiliki pranata atau aturan-aturan yang baku. Bahkan di tempat tertentu ada upaya untuk melakukan kodifikasi hukum adat. Di Katu, perihal aturan dan pranata, berlangsung berbeda. Justru, dengan “pengakuan” atas Katu banyak hal-hal baru yang diatur. Perluasan usaha pertanian – padi sawah, coklat, kopi, rotan – juga merupakan bagian aturan yang disepakati bersama. Aturan-aturan tentang penggembalaan ternak diperbarui. Aturan-aturan tentang pembagian kerja juga berubah dengan dinamis. Bahkan, orang Katu menetapkan areal tertentu sebagai “areal konservasi ala Katu” dengan berbagai aturan yang mengikat orang Katu terhadap areal ini. Tentu saja, model konservasi ala Katu ini jauh berbeda dengan teritorialisasi konservasi modern yang telah digambarkan di depan.
Model pemanfaatan sumber daya merupakan bagian pengetahuan orang Katu yang didokumentasikan dan kemudian menjadi bahan argumen teritorialisasi ala Katu. Salah satu bagian dalam model pemanfaatan sumber daya ini meliputi pola perladangan dan pertanian di Katu. Di dalam pola perladangan ini, secara implisit, termaktub aturan tenurial orang Katu. Akan tetapi, berdasarkan wawancara penulis buku ini dengan penduduk Katu, terdapat variasi persepsi terhadap pengaturan tentang hak dan tata cara pemanfaatan tanah. Jadi, dalam aturan-aturan “adat” yang sangat penting – tentang tanah – pun bukan merupakan sesuatu yang pasti; terdapat dinamika tersendiri. Masih soal tanah, orang Katu sangat taat membayar pajak tanah. Mereka berargumen bahwa pajak merupakan salah satu cara memperkuat klaim hak atas tanah.
Upaya-upaya orang Katu untuk merevitalisasi diri, bahkan dengan membuat berbagai aturan baru, merupakan sebuah proses. Apa yang terjadi di Katu saat ini, merupakan permulaan proses panjang yang masih akan terus berlangsung. Pranata yang sudah ada, bahkan juga aturan-aturan baru, yang telah disepakati itu tidak mudah begitu saja mengikat seluruh petani di Katu. Terdapat berbagai perjalanan dinamis menegakkan peraturan-peraturan itu. Aturan untuk mengikat dan mengandangkan kerbau milik, misalnya, mengalami suatu proses dan kejadian-kejadian agar benar-benar menjadi pegangan para petani Katu. Praktik pengumpulan rotan juga mengalami proses yang dinamis untuk kemudian menjadi kesepakatan-kesepakatan baru.
Sangatlah jelas bahwa “pengakuan” orang Katu sebagai masyarakat adat yang menjadi bagian TNLL hanya merupakan sebuah permulaan. Orang Katu mewarnai pengakuan ini dengan merevitalisasi berbagai aspek, bahkan mereka membuat hal-hal baru yang diargumentasikan sebagai bagian untuk menguatkan identitas sebagai masyarakat adat. Para aktivis idealis yang meromantiskan bahwa masyarakat adat masih menerapkan ekonomi pra-kapitalis, memiliki sistem governance yang teruji, memiliki wilayah adat yang jelas, memiliki pranata adat yang dengan teguh dijalankan, dan lain-lain, haruslah berlapang dada dan mengakui realitas yang dinamis dari apa yang disebut masyarakat adat itu. Para petani Katu, yang menyatakan diri sebagai masyarakat adat, mempunyai tata cara, praktik, dan interpretasi tersendiri terhadap apa itu yang disebut “masyarakat adat.”
Masyarakat adat Katu melakukan adaptasi dan proses yang dinamis terhadap apa itu yang disebut ‘adat’. Orientasi ekonomi, tata cara bertani, proses kelembagaan, bahkan asal usul penduduknya pun, melewati proses yang dinamis dan ujian yang berulang untuk benar-benar menjadi acuan pranata di Katu. Akan tetapi semua proses dinamis ini tetap dengan rasa yang sama bahwa mereka adalah orang Katu.
Penutup
Meskipun sangat banyak pernik detail isi buku ini yang bisa menjadi kekhususan dari perjuangan orang Katu, kami melihat ada empat hal sangat menarik dari uraian D’Andrea ini yang dapat kami tarik sebagai sumber pelajaran.
Pertama, pertarungan wacana narasi di tingkat lokal, nasional, dan internasional, sebagai teritorialisasi politik selalu terjadi dalam suatu bentang alam, dalam hal ini Katu dan sekitarnya sebagai contoh kasus. Pertarungan ini pada hakikatnya memperebutkan sumber daya dan ruang sosial pada bentang alam itu.
Kedua, orang Katu tidaklah pasif dan menerima begitu saja pertarungan wacana dan teritorialisasi yang tentunya akan menimbulkan akibat-kibat nyata, baik pada sumber daya maupun ruang sosial di sekitarnya. Orang Katu memilih bertarung aktif, bersiasat dengan “adat”, membuat teritorialisasi tandingan, serta menolak teritorialisasi lain dan akibat-akibat yang akan kemudian ditimbulkan. Sikap orang Katu sungguh berbeda dengan asumsi kondisi masyarakat adat yang dicitrakan marjinal, rentan, terpinggirkan, perlu “dibantu”, dan seterusnya.
Ketiga, “pengakuan” bahwa orang Katu merupakan “masyarakat adat” yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Balai Taman Nasional Lore Lindu merupakan awal dari proses dinamis dan peneguhan ‘adat’ di Katu. Orang Katu terus melakukan revitalisasi diri pada berbagai aspek kehidupan, membuat orientasi baru, membuat aturan-aturan baru, serta secara dinamis menguji berbagai proses peneguhan berbagai tata nilai yang disepakati.
Keempat, kasus Katu merupakan contoh proses advokasi yang kuat. Orang Katu, didukung oleh para aktivis agraria, bersinergi aktif memperjuangkan teritorialisasi ala orang Katu. Ini merupakan contoh yang tepat tentang pentingnya dokumentasi yang baik dan lengkap (peta partisipatif, konstruksi adat orang Katu, model pengelolaan sumber daya alam, inventory sumberdaya alam) dalam proses advokasi. Proses advokasi Katu juga memanfaatkan sarana dan media yang digarap dengan serius: poster, terbitan kertas posisi, seminar, bahkan demonstrasi.
Secara keseluruhan karya D’Andrea ini bisa menjadi contoh bagi kerja analitik atas suatu gerakan sosial dilakukan. Alat-alat analitiknya sungguh bekerja-keras, tekun dan sungguh-sungguh untuk menjelaskan teka-teki yang dipikirkannya. Beliau, dengan rinci, mengamati kejadian-kejadian di Katu, dan kemudian dengan jernih menghubungkannya dengan teori atau wacana nasional-internasional. Buku ini patut segera diterbitkan sehingga bisa dibaca oleh banyak pihak, seperti akademisi, aktivis agraria, aktivis lingkungan, pengambil kebijakan, atau bahkan masyarakat luas, yang ingin memahami suatu contoh pertarungan teori, wacana, politik, bahkan realitas sehari-hari, yang bercermin pada kejadian-kejadian yang terjadi pada suatu lokus bentang alam khas, yakni Katu.
Satu pertanyaan pokok, apakah kasus keberhasilan perjuangan orang Katu mempertahankan tanah adatnya ini adalah suatu keistimewaan yang tidak dapat diulang di tempat lain oleh orang lain dengan perjuangan yang lain pula? Atau, bagaimana membuat pelajaran orang Katu menginspirasi perjuangan agraria lainnya? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat menarik untuk didiskusikan.
Daftar Pustaka
Thompson, Edward. P. (1993). Customs in Common: Studies in Traditional Popular Culture. New York, The New Press.
Vandergeest, Peter dan Nancy L. Peluso. 1995. "Territorialization and State Power in Thailand." Theory and Society24(3): 385-426.